Mohon tunggu...
Asaf Yo
Asaf Yo Mohon Tunggu... Guru - mencoba menjadi cahaya

berbagi dan mencari pengetahuan. youtube: asaf yo dan instagram: asafgurusosial

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Review "Pulau Plastik", Masalah Lingkungan Akut yang Perlu Kita Perhatikan

9 Juli 2021   09:40 Diperbarui: 10 Juli 2021   12:03 1282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film Pulau Plastik. (sumber: Visinema Pictures via kompas.com)

Kali ini saya akan mereview film documenter berjudul Pulau Plastik. Film ini sebenarnya lama banget walau sama sama di tahun 2021 cuma baru sempat membuat tulisan sekarang, hehehe. 

Hari pertama film ini diputar di bioskop langsung aku tonton karena takut sepi. Maklum, film dokumenter itu kan pangsa pasarnya terbatas, jadi lebih baik langsung nonton film di hari pertama supaya kalau tutup layar, sudah menontonnya. 

Cukup kaget juga Visinema Picture membawa film dokumenter seperti ini untuk dibawa ke layar bioskop padahal peluangnya kecil bisa menggaet banyak penonton. Itu dari kacamata pribadi lho, hehehehe

Saya tertarik nonton film ini karena mengangkat tema lingkungan sih. Begitu ada promo, saya langsung putuskan, saya akan menonton. 

Sebagai seorang pendidik yang selalu ngoceh masalah lingkungan kepada anak didik, maka penting bagi saya, untuk melihat dalam skala yang lebih luas, tidak hanya dari yang saya tahu saja. 

Apalagi masalah plastik sepertinya menjadi masalah paling akut di Indonesia kalau buat saya. Selalu melihat plastik dimana-mana dan berpikir bagaimana cara mengatasinya ya?

Film dibuka dengan banyaknya sampah plastik yang terdampar di pantai Bali, begitu banyak sedotan plastik yang ada di pantai. 

Kemudian dilakukan uji coba membenamkan plastik (yang katanya bioplastik) di dalam laut, dan ditunggu bberapa bulan kemudian, untuk kemudian hasilnya diketahui di akhir film saat membuka Kembali tempat yang berisi plastik-plastik tadi).

tribunnews.com
tribunnews.com

Ada penyelam yang berenang di laut yang didalam laut tersebut banyak sampah plastik mengambang dimana-mana. Termasuk didalamnya ada contoh penyu yang didalam hidungnya ada sedotan yang panjang.

Film ini mengisahkan tiga tokoh yang berjuang dengan masalah lingkungan, yaitu Gede Robi seorang vokalis band di Bali, Prigi Arisandi seorang biologis di Jawa Timur, dan Tiza, pengacara di Jakarta. 

Jadi, (seingat saya, hehehehe) Gede Robi ini ingin terlibat dalam semacam pawai lingkungan di Jakarta. Dia naik truk dari Bali sampai Jakarta. Sebelum ke Jakarta, dia singgah ke Surabaya dan bertemu dengan Prigi Arisandi, seorang biologis dan juga penjaga sungai di Jawa Timur.

Disana banyak dibahas mengenai dampak plastik dan yang saya garis bawahi (karena itu yang saya ingat, heheheh). Pertama adalah adanya produk plastik ramah lingkungan. 

Plastik ramah lingkungan yang terbuat dari tanaman, tidak sepenuhnya berasal dari tanaman, melainkan masih ada kandungan plastiknya berapa persen yang itu tetap berbahaya bagi lingkungan. 

Istilahnya adalah mikro plastik. Mikro plastik ini ada dimana mana, mulai dari tubuh ikan, tambak garam, bahkan termasuk di dalam tubuh manusia.

Loh, kok bisa?

Jadi di dalam tubuh ikan itu ada banyak mikro plastik, dan dengan uji lab tinja manusia (dalam hal ini adalah tinja milik Gede, hahaha, lucu kala dia memberikan tinja yang cukup banyak di botol sampel, padahal yang dibutuhkan hanya sedikit), dan di dalam tinja itu ditemukan mikro plastik. 

Artinya, mikro plastik juga ada di dalam tubuh manusia tanpa kita sadari, karena hewan-hewan yang kita konsumsi, misalnya ikan, itu sendiri juga memakan mikro plastik anpa mereka sadari.

Kedua, sampah yang ada di sekitar kita bisa jadi bukan kita yang menghasilkan namun orang lain yang tinggalnya jauh dari kita. Hal ini dibahas pada saat Tiza dan kelompoknya melakukan bersih-bersih di Kepulauan Seribu. 

Banyak sekali sampah plastik yang terdampar di pantai tersebut, namun mustahil itu plastik yang dihasilkan oleh penduduk Kep. Seribu, pasti dari tempat lain, dan itu adalah Jakarta. Arus air laut membawa sampah-sampah yang dibuang di sungai tadi mengapung dan terdampar di Kepulauan Seribu.

Selain itu ada kasus bagaimana negara maju, tidak mau melakukan daur ulang sampah plastiknya sendiri dan membuang sampah mereka ke negara berkembang seperti Indonesia. 

Mereka menutupi sampah plastik itu dengan kertas dan dianggap menjual kertas bekas (intinya begitu aku lupa nih) padahal di dalam tumpukan kertas kertas ini terdapat plastik dalam jumlah yang besar dan sengaja dibuang ke Indonesia. Impor Sampah plastik secara terselubung ini terjadi di Surabaya. 

Pabrik/ perusahaan (apa ya istilahnya , lupa aku) yang mendatangkan impor ini cukup tertutup dalam memberikan data, namun diketahui kala plastik-plastiknya dibuang keluar. 

Ada yang memanfaatkan juga sih, namun dengan dipilih-pilih, untuk bahan bakar pembuatan tahu yang banyak di area tersebut. Tapi tetap saja, hal itu mengakibatkan polusi udara yang besar dan racun yang tersebar kemana-mana.

Melihat film ini, semakin menguatkan diri bahwa penanganan plastik memang sangat susah dan membutuhkan dana yang cukup besar. Jika negara besar saja tidak mau atau enggan mengolah sampah plastik ini , apalagi negara berkembang? Namun, berhenti menggunakan plastik apakah itu mungkin?

Film yang disutradari oleh Dandhy Laksono dan Rahung Nasution ini focus pada bahaya plastik dan anjuran untuk tidak menggunakan plastik dalam kehidupan sehari-hari. 

Dalam batas-batas tertentu saja setuju dengan itu, namun anti dengan Plastik adalah sesuatu yang bisa dibilang mustahil. Menyarankan untuk selalu makan di rumah, atau membawa makanan di rumah, ok, tapi dengan selalu melakukan itu tiap hari? 

Sepertinya mustahil. Menggunakan tas kain untuk berbelanja, tapi selalu ingat menggunakan tas kain? Sepertinya itu susah.

Saya pribadi sangat sering menolak penggunaan tas plastik untuk pembelian tertentu di swalayan dan sebisa mungkin saya masukkan ke dalam tas. 

Tapi ada saat-saat tertentu dimana memang saya butuh tas plastik, missal karena lupa bawa atau belanja yang terlalu banyak atau apapun. Saya lebih realistis bahwa yang bisa saya lakukan dan saya sarankan ke masyarakat adalah mengurangi penggunaan plastik dalam kehidupan sehari-hari.

Saya melihat sungai-sungai yang menjadi contoh film ini (kebetulan yang menjadi contoh adalah sungai sungai di sekitar Surabaya, tempat saya tinggal). Begitu bnyak sampah, termasuk diantaranya popok bayi. 

Banyak yang memiliki keyakinan bahwa popok bayi lebih baik tidak dibakar karena ada mitos-mitos tertentu. Lebih baik popok bayi dibuang ke sungai, padahal popok bayi ini sukar untuk hancur di alam, akibatnya justru menjadi sampah di sungai itu. 

Tahu sendiri kan, kalau terlalu banyak sampah,otomatis akan mengendap ke dasar sungai atau menutupi aliran sungai. Dalam jangka panjang bisa menyebabkan terjadinya banjir.

Terlepas dari berbagai pertanyaan dalam diri saya akan masalah lingkungan, film ini sangat saya rekomendasikan bagi masyarakat agar masyarakat semakin peduli dengan kondisi lingkungan dan semakin sedikit menggunakan plastik dalam kehidupan sehari-hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun