Dari dulu saya selalu mengamati film film terlaris di tanah air, dan saya sangat bersumber dari situs filmindonesia.or.id yang setiap tahun selalu memuat 10 film dengan jumlah penonton film terbanyak, ada kala jumlah penonton yang luar biasa di tahun tersebut misalnya di tahun 2009 dengan Ketika Cinta Bertasbih, atau penayangan Habibie dan Ainun di tahun 2012. Tapi ada yang perolehan tertinggi tidak mencapai satu juta penonton, misalnyadi tahun 2011 dimana ada Surat Kecil untuk Tuhan yang hanya mendapatkan sekitar 700 ribu penonton saja.
Sejak dulu hingga sekarang saya selalu mengamati film film Indonesia yang mampu menyedot perhatian penonton. Ternyata banyak dari mereka merupakan adaptasi dari novel yang best seller entah novel fiksi atau biografi seseorang, misalnya saja, Tenggelamnya Kapal Van der Wick, Habibie dan Ainun, Laskar pelangi, Negeri 5 menara, Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih,Surat Kecil untuk Tuhan, Mery Riana dan lain lain termasuk akhir tahun 2014 adalah Supernova.
Apakah ada film yang tidak berdasarkan novel? Tentu saja ada banyak juga, misalnya Sang Pencerah, the raid, get merried, comic 8,berbagai film horror semacam tali pocong perawan yang sukses masuk 10 besar film berdasarkan filmindonesia.or.id. belum lagi film pada tahun tahun sebelumnya yang sepertinya lebih berfokus pada judul yang bombastis atau cerita yang banyak memasukkan hal hal yang menjurus seksmenurut saya, semacam XL, DO, Arwah Goyang Karawang.
Selain dari novel, film yang menceritakan sejarah nusantara atau biografi itu sangat besar peluangnya. Tokoh tokoh yang sudah terkenal atau dibuat biografinya semacam merry riana, sukarno, itu sangat besar peluang untuk sukses d pasaran, asalkan dengan moment yang tepat. Kenapa saya mengatakan moment yang tepat? Karena film yang mengangkat tokoh di saat tokoh itu sedang ada di atas dan masih segar bugar saya sangsi bisa sukses. Saya bisa ambil contoh film Jokowi, dan juga Dahlan Iskan. Film ini menceritakan tokoh tokoh disaat mereka masih melaksanakan kewajibannya sebagai pejabat pemerintah, atau dalam rangka ingin ke jenjang yang lebih tinggi, maka siap siap saja akan mendapatkan cibiran karena dianggap sebagai ajang pencitraan dan promosi terselubung untuk dikenal masyarakat.
Misalnya film jokowi, film ini sangat bagus di buat jika saja dibuat kelak saat Jokowi sudah tidak menjadi seorang presiden, begitu juga film tentang dahlan Iskan, bisa sangat menyentuh jika saja dibuat kala Dahlan Iskan tidak sedang kampanye untuk menjadi seorang presiden, dan akhirnya film yang harusnya bisa menjaring penonton malah langsung gagal di pasaran karena moment yang tidak tepat
Hanya saja dari itu semua, saya merasa mungkin lebih aman bagi pemilik modal jika membuat film yang memang berdasar novel best seller. Bayangkan sebuah novel yang mampu cetak 50 ribu copy, pada saat dibuat film, tidak mungkin hanya 50 ribu orang saja, karena satu buku pasti ada lebih dari satu pembaca, katakanlah satu buku yang ada di perpustakaan , entah sekolah atau perpustakaan umum, biasanya akan dibaca minimal lima orang. Kalau 50 ribu dikali 5 orang, maka penonton sudah pasti adalah 250 ribu penonton. Jumlah yang sangat menggiurkan tentu.
Belum lagi kalau film itu mendapatkan promosi yang luar biasa. Tentu saja peluang untuk menjaring lebih banyak penonton juga akan terbuka lebar. Kalau saya jadi pengusaha di bidang perfilman, daripada repot repot membuat naskah film, lebih baik saya mengandalkan novel atau biografi yang sudah best seller, tinggal di olah agar bisa menjadi tontonan yang menarik, karena pangsa pasar sudah jelas.
Memang sih akan ada kelemahan, misalnya harus bayar royalty, dan juga para pembaca akan selalu membandingkan antara yang di film dengan yang di buku, saya masih ingat bagaimana novel tenggelamnya kapal van der wick itu banyak yang mencbir karena tidak sesuai dengan novelnya, atau ada yang mengkritik judulnya tenggelamnya kapal van der wick tapi kok gak ada kehidupan seperti di kapal dimana penonton terjebak dengan film titanic,atau ada yang mengkritik kenapa isinya sama , bukankah sutradara bisa mengembangkan suatu jalan cerita tidak harus sama persis yang ada di novel dan seterusnya. Jadi saat di buat film, maka ada sebagian pembaca yang ingin menonton sama seperti isi bukunya, tapi ada sebagian yang ingin agar dikembangkan tidak harus sama persis. Pro dan kontra yang selalu ada.
Tapi terlepas dari kelemahan itu, mungkin para sineas atau pemilik modal harus selalu menyoroti novel novel apa yang sedang best seller, dan kira kira mampu ditampilkan sebagai sebuah film gak, sehingga bisa kembali modal plus untung tentunya. Dari dulu saya selalu berharap buku tetralogi bumi manusia dan novel anak kos dodol dibuat film, eh sekarang si anak kos dodol udah mau ditayangkan dan karya pramoedya udah mulai dibeli hak cipta untuk dibuat filmnya. Mengingat anak kos dodol sukses membuat saya tertawa, semoga filmnya juga sukses mengocok perut saya. salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H