Mohon tunggu...
Juana Irma
Juana Irma Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

Hobi saya nyanyi

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Hakikat Teori Multiple Inteligences dalam Pembelajaran

13 November 2024   23:00 Diperbarui: 13 November 2024   23:02 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hakikat Teori Multiple Intelligences dalam Pembelajaran

(Howard Gardner)

 

Pengertian Teori Multiple Intelligences
Seorang ahli pendidikan lain dari Harvard University bernama Howard Gardner berpendapat bahwa tidak ada manusia yang tidak cerdas. Paradigma ini menentang teori dikotomi cerdas-tidak cerdas. Gardner juga menentang anggapan “cerdas” dari sisi IQ (intelectual quotion), yang menurutnya hanya mengacu pada tiga jenis kecerdasan, yakni logika-matematik, linguistik, dan spasial. Untuk selanjutnya, Howard Gardner, kemudian memunculkan istilah multiple intelligences. Istilah ini kemudian dikembangkan menjadi teori melalui penelitian yang rumit, melibatkan antropologi, psikologi kognitif, psikologi perkembangan, psikometri, studi biografi, fisiologi hewan, dan neuroanatomi (Armstrong, 1993; Larson, 2001).

Dikotomi anak cerdas dan tidak cerdas, serta pemberian label hiperaktif, gangguan belajar, dan prestasi di bawah kemampuan, mendorong para pendidik untuk mempelajari teori Multiple Intelligences. Setelah menemukan delapan bukti dari teorinya, Gardner meneguhkan kriteria temuannya tentang sembilan kecerdasan dalam multiple intelligences. Howard Gardner (1993; Armstrong, 1993) menyadari bahwa banyak orang bertanya-tanya tentang konsep multiple intelligences. Benarkah musikal, visual-spasial, intrapersonal, dan kinestetik dapat dikategorikan sebagai kecerdasan, dan bukan bakat? Untuk menguatkan temuan dan keyakinannya, Gardner menyusun kriteria tertentu yang harus dipenuhi oleh setiap kategori kecerdasan

Bagi para pendidik dan implikasinya bagi pendidikan, teori multiple intelligences melihat anak sebagai individu yang unik. Pendidik akan melihat bahwa ada berbagai variasi dalam belajar, di mana setiap variasi menimbulkan konsekuensi dalam cara pandang dan evaluasinya. Kecerdasan anak juga didasarkan pada pandangan pokok teori multiple intelligences (Armstrongs, 1993) sebagai berikut:

Setiap anak memiliki kapasitas untuk memiliki sembilan kecerdasan. Kecerdasan-kecerdasan tersebut ada yang dapat sangat berkembang, cukup berkembang, dan kurang berkembang.
Semua anak, pada umumnya, dapat mengembangkan setiap kecerdasan hingga tingkat penguasaan yang memadai apabila ia memperoleh cukup dukungan, pengayaan, dan pengajaran.
Kecerdasan bekerja bersamaan dalam kegiatan sehari-hari. Anak yang menyanyi membutuhkan kecerdasan musikal dan kinestetik.
Anak memiliki berbagai cara untuk menunjukkan kecerdasannya dalam setiap kategori. Anak mungkin tidak begitu pandai meloncat tetapi mampu meronce dengan baik (kecerdasan kinestetik), atau tidak suka bercerita, tetapi cepat memahami apabila diajak berbicara (kecerdasan linguistik).
Temuan kecerdasan menurut paradigma multiple intelligences, telah mengalami perkembangan sejak pertama kali ditemukan. Pada bukunya Frame of The Mind (1983) Howard Gardner pada awalnya menemukan tujuh kecerdasan. Setelah itu, berdasarkan kriteria kecerdasan di atas, Gardner menemukan kecerdasan yang ke-8, yakni naturalis. Dan terakhir Howard Gardner memunculkan adanya kecerdasan yang ke-9, yaitu kecerdasan eksistensial.Menurut Gardner kecerdasan dalam multiple intelligences meliputi kecerdasan verbal-lingustik (cerdas kata), kecerdasan logis-matematis (cerdas angka), kecerdasan visual-spasial (cerdas gambar-warna), kecerdasan musikal (cerdas musik-lagu), kecerdasan kinestetik (cerdas gerak), kecerdasan interpersonal (cerdas sosial), kecerdasan intrapersonal (cerdas diri), kecerdasan naturalis (cerdas alam), kecerdasan eksistensial (cerdas hakikat). Setiap kecerdasan dalam multiple intelligences memiliki indikator tertentu. Kecerdasan majemuk anak diidentifikasi melalui observasi terhadap perilaku, tindakan, kecenderungan bertindak, kepekaan anak terhadap sesuatu, kemampuan yang menonjol, reaksi spontan, sikap, dan kesenangan.

Peran Sekolah Bagi Perkembangan Anak dalam Multiple Intelligences
Problematika pendidikan sekolah di Indonesia mengalami masa-masa penuh dilema. Pendidik hingga saat ini masih menerapkan pendekatan akademik penuh hafalan. Praktik yang sesuai dengan kebutuhan/perkembangan anak belum seluruhnya diterapkan. Keberhasilan belajar anak diukur dari kepatuhan, kemampuan kognitif dan sosial anak. Anak-anak dengan kecerdasan kinestetik, intrapersonal, dan naturalis dianggap sebagai anak-anak yang bermasalah. Beberapa pendidik, bahkan, mengecap mereka sebagai anak yang hiperaktif, kuper, dan jorok. Pandangan ini telah membawa efek yang merugikan bagi anak-anak, terutama bagi perkembangan mereka.

Pendidikan yang berbasis multiple intelligences, berpeluang memberikan pengalaman hidup yang menyenangkan bagi anak dan memantik kecerdasan mereka. Padahal, sebagaimana dikatakan oleh Howard Gardner (Armstrong, 2003) perkembangan kecerdasan ditentukan oleh crystallizing experience dan paralyzing experience. Hal ini menunjukkan pentingnya pengalaman baik yang mengesankan bagi anak, dan betapa berbahayanya pengalaman buruk yang menyakitkan anak. Dengan kata lain, anak-anak yang dididik dengan konsep multiple intelligences akan mendapatkan perlakuan yang adil, memperoleh dukungan yang sangat mungkin menjadi crystallizing experience. Mereka akan memperoleh kesempatan berkembang sehingga setiap indikator dari kecerdasan berkembang optimal, dan muncul dalam bentuk keterampilan yang menakjubkan.

Teori multiple intelligences membuka kemungkinan bagi setiap anak untuk belajar dan mencapai tugas perkembangan. Multiple intelligences menghindarkan anak dari kegagalan tugas perkembangan, seperti rasa rendah diri dan tidak bahagia, rasa ketidaksetujuan dan penolakan sosial, yang akan menyulitkan penguasaan tugas perkembangan baru. Tugas perkembangan akan terganggu jika anak tidak memperoleh kesempatan untuk belajar apa yang diharapkan oleh kelompok sekolah, tidak memperoleh bimbingan dalam belajar, dan tidak memiliki motivasi untuk belajar. Sebaliknya anak akan terdukung oleh lingkungan yang memberikan kesempatan anak untuk belajar, bimbingan belajar dari orang tua dan pendidik, serta motivasi yang kuat untuk belajar (Hurlock, 1997). Hal ini berarti, multiple intelligences memberi kesempatan pada anak untuk mendapatkan dukungan untuk pencapaian tugas perkembangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun