Mohon tunggu...
Euella Thaline
Euella Thaline Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis Tiada Henti

Karena setiap detik yang kita miliki tidak akan pernah kita ulangi lagi. Memilih bijak menggunakan waktu adalah pilihan yang tepat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Stasiun Karet, Prioritas yang Terabaikan

3 Juli 2018   16:26 Diperbarui: 3 Juli 2018   22:22 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Tak akan selamanya seorang ibu mengandung yang membuatnya sangat membutuhkan bangku prioritas itu, tak selamanya mereka tetap menjadi anak-anak sehingga mereka menjadi bagian dari yang mebutuhkan bangku prioritas itu dan tak selamanya kita muda, kelak kita juga akan menua seperti mereka dan butuh prioritas"

Dalam situasi padatnya Ibukota Jakarta, jasa KRL Commuter Line menjadi alternatif pilihan transportasi sebagian besar masyarakat. Selain efisien dari sisi keuangan, menjadi sasaran paling tepat untuk menghindari kemacetan lalu lintas. Sehingga bukan rahasia lagi ketika jasa KRL sangat padat khususnya di waktu-waktu sibuk, jadwal keberangkatan dan kepulangan sebagian masyarakat yang bekerja.

Padatnya peminat jasa KRL membuat para penumpangnya akan selalu berebut untuk mendapatkan posisi duduk. Belum lagi jika jarak perjalanannya relatif jauh, akan sangat melelahkan jika tidak mendapat posisi duduk.

Saya teringat dengan perjalan saya minggu lalu, saya memutuskan menggunakan jasa KRL dengan alasan yang sama, efektif dan efisien.

Hanya ada bangku prioritas yang kosong saat itu. Dan itupun hanya untuk satu penumpang. Biasanya, walaupun bangku tersebut tidak diduduki, karena memang peruntukannya untuk prioritas, saya selalu komitmen untuk tidak mendudukinya. Namun karena kondisi saya masih kurang fit, akhirnya saya duduk.

Biasanya untuk sederetan bangku prioritas, ada 3 penumpang yang bisa duduk. Di samping saya ada seorang ibu dengan anak kecilnya. Di depan saya ada anak remaja dengan ibunya yang masih paruh baya dan seorang mahasiswa.

Sampai di stasiun Karet, ada seorang ibu wanita yang menurut saya sekitar 40-50 tahun, dan berdiri diantara 2 deretan bangku prioritas. Saya berharap anak remaja ataupun mahasiswa di depan saya akan  mengalah untuk memberikan tempat duduknya kepada sang ibu, mengingat bahwa bangku prioritas peruntukannya sudah sangat jelas, "Ibu Hamil, Ibu membawa anak, Lanjut Usia dan Diasbilitas".

Karena tidak ada yang mengalah, akupun berdiri dan mempersilakan si ibu untuk duduk. Dan berdoa dalam hati, semoga kuat berdiri sampai di stasiun yang dituju.

Selanjutnya, seorang ibu dengan 2 orang anaknya yang masih balita masuk dalam KRL dan berdiri diantara deretan bangku prioritas juga. Mungkin sang ibu berharap ada orang yang mengalah untuk memberikan bangku prioritas itu kepadanya dan dua anaknya.

Namun, harapan sang ibu sepertinya sirna, karena si anak remaja dan sang mahasiswa yang saat itu duduk di bangku prioritas asyik dengan gadget di tangannya.

Sangat jelas rasanya di setiap perhentian KRL, awak kereta akan selalu menginformasikan untuk memberikan bangku prioritas sesuai dengan peruntukannya.

Kepedulian masyarakat yang sudah menurun, telinga yang sengaja ditulikan, dan mata yang sengaja dibutakan.

"Bu, duduk saja, ijin kepada mbak-mbaknya. Itu bangku prioritas memang untuk ibu membawa anak kok. Itu hak Ibu". Aku sengaja menyamperi sang ibu dengan volume yang sengaja saya tinggikan dengan harapan sang mahasiswa mendengar.

Tujuanku akhirnya tersampaikan, sang gadis melirik dan dengan berat hati berdiri dari tempat duduknya sehingga sang ibu duduk dengan dua anaknya bisa duduk.

Aku tidak tau apa yang ada di benak sang mahasiswa tentangku. Namun, yang aku tau, aku melakukan yang benar.

Sepanjang perjalanan KRL, tiba-tiba ada seorang wanita hamil yang masuk dari gerbong sebelah. Hamilnya sudah lumayan besar. Dan sepertinya sang ibu sedang mencari tempat duduk. Dia memalingkan penglihatanya ke bangku prioritas di sekelilingnya. Namun, sayangnya sang ibu hamil tidak berbicara, hanya mencoba menggunakan bahasa tubuh dengan harapan ada penumpang yang mengalah.

Mata saya pun tertuju kepada seorang ibu muda berambut pirang dengan high heels dan gadget di tangannya. Matanya menoleh ke ibu hamil namun tidak ada kerendahan hati darinya untuk memberikan tempat duduk buat ibu hamil tersebut.

Saya tak habis pikir masih ada masyarakat  yang tidak memiliki kepedulian sedikitpun kepada orang lain. Kesenangan dan keinginan pribadinya telah membuat hatinya mati rasa.

Akhirnya seorang anak balita yang duduk di bangku prioritas terpaksa harus dipangku oleh ibunya, dan duduk berdempetan demi sang ibu hamil bisa duduk. Dan sang Ibu Muda berambut pirang tadi dengan tidak berdosa melirik dan kembali sibuk dengan gadgetnya.

Saya jadi teringat dengan cerita teman saya yang baru melakukan perjalanan wisata ke Singapura Bulan Juni 2018 kemarin. Dia sangat terkesan dengan budaya mengalah yang sangat tinggi disana. Memberikan tempat duduk bagi yang lebih lemah, antri dan sebagainya.

Selama di Singapura, setiap kali dia masuk kereta, karena dia selalu membawa stroller, pasti akan selalu ada yang nyolek dan menawarkan kursinya. Dan tak sekalipun dia berdiri setiap naik kereta. Dia sangat terkagum-kagum dengan kepdulian masyarakat disana khususnya budaya mengalah.

Sangat berbeda dengan di Indonesia, jangankan sadar untuk mengalah, bahkan sekalipun sudah diingatkan, masih tetap tidak sadar akan hak-hak setiap orang.

Akankah Indonesia berubah lebih baik atau sebaliknya?? Akankah budaya-budaya buruk ini akan tetap diwariskan ke generasi muda kita?

Semuanya dimulai dari diri. Mari mulai dari diri untuk peduli dengan sekitar kita. Mulai perduli dari hal-hal kecil. Karena mustahil akan terjadi hal-hal yang besar jika hal-hal kecil tidak pernah kita kerjakan.

Majulah Indonesiaku

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun