Pendidikan idealnya harus bisa membuat manusia menjadi seorang yang mumpuni. Harus kita akui. Makin ke sini persekolahan kita kerap mengabaikan pentingnya keterdidikan anak didiknya: pengetahuan; keahlian; dan life balance. Kombinasi ketiga hal tadi sudah hampir tidak berjalan lagi dalam dunia pendidikan kita. Kalaupun ada masih sedikit sekali. Kualitas manusianya -baik kompetensi maupun afeksi- sudah tak jadi keutamaan. Hasilnya sudah kita saksikan: generasi yang frustasi dan gelisah. Masih ingat dengan Ryan Tumiwa, atau kasus pembunuhan dosen oleh mahasiswanya minggu lalu? Itu hanya sebagian contoh saja. Lalu berikutnya apa?
Kemanusiaan
Sejenak kita renungkan. Sudahkah pendidikan menggugah rasa kemanusiaan kita? Mari melihat lebih jauh lagi. Kurikulum mewajibkan kita menguasai semua mata ajar yang diberikan. Dan kalau pendidiknya tidak sabar, maka kita segera diminta melakukannya dalam tempo sesingkat-singkatnya. Itu baru satu mata ajar; belum ditambah yang lain. Apalagi kalau semua materi yang seharusnya diajarkan secara berkala ditimpakan menjadi satu semester saja. Memiliki sebuah keahlian saja butuh waktu berbulan-bulan; kadang bertahun-tahun.
Lantas apa dampaknya? Pertama, anak-anak didik kita kesulitan menjelajahi dunia baru. Ya. Mereka sulit melihat opportunity dan wisdom yang seringkali tidak disadari ada di sekitarnya. Mengapa demikian? Karena hampir seluruh waktu di habiskan untuk sekolah saja, sehingga kurang eksplorasi. Kedua, anak didik hanya akan mengejar ijazah dan transkrip nilai yang jadi komponen utama dan semata evaluasi akhir sekolah. Ketiga, waktu luang yang ada digunakan untuk menganggur atau keasyikan sendiri saja, tidak produktif dan meaningful untuk sesama.
Inilah yang luput dari perhatian kita. Pendidikan kita sepertinya telah mematikan rasa humanis kita. Kita jadi hanya peduli dan terlalu fokus pada diri sendiri, yang kemudian menghasilkan pemimpin yang serakah dan egois. Tanpa memedulikan dampak dari perbuatannya terhadap sekitar. Come on! Kita tidak bisa lagi hidup bak berada dalam isolasi. Kita adalah ciptaan masyarakat. Kita harus tinggal di dalamnya, tumbuh bersamanya, dan bekerja demi kesejahteraannya.
Manusia yang Merdeka
Tantangan utama pendidik saat ini ialah mendidik anak-anak kita jadi manusia yang merdeka. Merdeka batinnya, merdeka pikirannya, dan merdeka tenaganya. Manusia yang tidak merdeka akan sulit membuka pikirannya. Ia menyimpan terlalu banyak tanya dalam diri, yang jawabnya tak bisa ia temukan. Sehingga sulit sekali menerima perbedaan perspektif dan terus belajar memperbarui diri. Sebaliknya ia sangat arogan dan terlalu self-centered. Bahkan ada yang begitu iri dan dengki akan keberhasilan orang lain. Anda bisa temui orang seperti ini di mana-mana: birokrasi, hukum, kampus, swasta, dan (mungkin) orang terdekat anda. Nyata! Sudah memakan jiwa dalam jumlah sangat besar. Ini membuat manusia kesulitan menemukan panggilan orisinil yang datang dari dalam jiwanya.
Penulis jadi teringat percakapan dengan salah seorang mentor, Raldi Artono. “Kita ini sebetulnya terlalu di konkon sama orang tua. Jadi kita selama ini hanya ikut orang tua. Sementara kita sendiri belum tentu bahagia dengan apa yang kita kerjakan sekarang.” Ya. Persis seperti orang tua yang begitu getolnya menginginkan anak-anak melanjutkan usahanya. Juga orang tua yang terlalu mendorong anaknya menjadi yang diinginkan demi terpenuhinya apa yang ia tidak bisa capai di masa lampau.
Sementara waktu terus berjalan, bagaimana anak didik kita mengisi hidupnya? Sebagian dari anak-anak yang di konkon itu mengisinya dengan rutinitas belaka, sebagian lagi menghabiskannya sambil berdiam dalam galau dibayangi rasa cemas akan masa depan. Itulah yang membuat sebagian mahasiswa kita drop-out, berhenti tengah jalan, tidak menamatkan S1-nya. Jadi bukan cuma mental kejuangan saja persoalannya. Para pendidik juga perlu memberikan dukungan moril kepada anak didiknya yang tengah mengalami pergolakan hidup agar bisa melaluinya. Sebab kita tidak bisa memaksakan gagasan kita pada anak. Maka benar adanya yang ditulis Kahlil Gibran:
“Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri. Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu. Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu. Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu. Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh tapi bukan jiwa mereka. Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok, yang tak penah dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpi. Engkau bisa menjadi seperti mereka, tapi jangan coba menjadikan mereka sepertimu. Karena hidup tidak berjalan mundur dan tidak pula berada di masa lalu.”
Harus Kita Perjuangkan
Ada pepatah yang mengatakan begini: “One is a hero in words and a zero in action.” Memang. Sebagian besar kita baru bisa sebatas berwacana saja. Tetapi tindakan nyata? Masih kerap kita temui dosen yang suka “baper”, padahal ia seorang pengajar mata kuliah karakter. Atau guru yang mengajarkan kita peduli sesama tapi malah terpancing ikut tertawa mendengarkan ejekan pada seorang yang dianggap aneh oleh teman-temannya. Ingatlah bahwa karakter bukan diajarkan dengan teori; tetapi lewat teladan, dengan contoh nyata.
Muara dari pendidikan adalah karakter, dan muara dari pengetahuan adalah kasih. Ya. Saatnya kita bergerak, mentransformasi pendidikan kita dengan motto ini: right thinking, right speaking, right acting. Detik ini juga harus kita perjuangkan. Kelak bangsa ini akan lebih sejahtera di masa mendatang. Niscaya kita jadi sangat produktif, hidup berdampingan dengan penuh kedamaian. Dan kita semua akan selamat.
Juan Karnadi
Fakultas Teknik
Universitas Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H