Bagi kami, sebuah keluarga kecil yang tinggal di Sidoarjo, berwisata bersama-sama ke Pulau Bali adalah suatu impian. Apalagi dapat mengajak serta orang tua dan saudara. Bagaimana tidak? Harga tiket penerbangan pada H-3 libur Lebaran tahun 2018 dengan rute Surabaya-Denpasar berkisar Rp.450.000,00 untuk sekali berangkat. Kalikan dua untuk perjalanan pulang pergi, kemudian kalikan lagi dengan tujuh orang jumlah kami yang akan berangkat. Total biaya untuk pesawat saja sudah menyentuh angka Rp.6,3 juta. Itu belum termasuk transportasi dalam kota, akomodasi hingga biaya konsumsi selama berada di Pulau Dewata.
Akan tetapi, libur hari raya Idul Fitri tahun ini berlangsung cukup lama. Terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja. Bagi saya yang sehari-hari bekerja di sebuah perusahaan milik negara, libur 12 hari adalah kesempatan untuk dihabiskan bersama keluarga. Akan tetapi, kami perlu menyesuaikan jadwal keberangkatan terlebih dahulu.Â
Di antara kami bertujuh, hanya adik saya yang memperoleh jatah libur paling sedikit, yakni tujuh hari. Itu lantaran ia bekerja di sebuah perusahaan swasta.Selain itu, kami juga perlu memperhitungkan arus mudik yang kerap berujung macet di beberapa ruas jalan.
Demi menghemat anggaran, maka kami memutuskan berangkat menggunakan mobil keluarga. Hitungan saya, dibutuhkan sekitar 47 liter untuk menempuh perjalanan dengan jarak tempuh 400 kilometer itu. Memang mobil kami terbilang agak boros. Tapi, tak apalah. Bahkan dengan jenis bahan bakar Pertamax pun, harganya masih jauh lebih murah dibanding tiket penerbangan termurah Surabaya-Bali untuk satu kali perjalanan.
Akomodasi? Kami bersyukur memiliki keluarga berdomisili di Kawasan Badung, yang dengan senang hati menerima kami untuk bermalam di rumahnya. Tak bermaksud oportunis lantaran anggaran yang terbatas. Tetapi, benak kami beranggapan bahwa tinggal di sana justru akan mendekatkan satu anggota keluarga dengan yang lain, memperkenalkan anak-anak saya dengan seluruh keluarga besar di sana, di tengah gencarnya perkembangan teknologi informasi yang lambat laun mampu menafikan pentingnya berinteraksi langsung dengan anggota keluarga.
Sementara untuk konsumsi, kami tetap menyiapkan anggaran untuk makanan dan minuman selama di Bali. Mulai sarapan, makan siang dan makan malam. Kalaupun ada rejeki lantaran keluarga di sana menjamu kami, tentulah kami syukuri. Tetapi kami tak ingin terlalu banyak merepotkan.
Asyiknya Naik Ferry
Keberadaan sarana transportasi laut bagi sebuah negara kepulauan adalah hal penting. Kalaupun terdapat pesawat terbang yang dapat mengangkut penumpang atau barang ke berbagai daerah di Indonesia, tidak semua lapisan masyarakat dapat menikmatinya dikarenakan mahalnya biaya. Belum lagi besarnya nilai investasi untuk membangun bandar udara dan landas pacu yang memadai.
Adanya kapal ferry menjadi solusi atas mahalnya biaya transportasi dan jumlah muatan yang dapat diangkut. Dalam perjalanan kami dari Pelabuhan Ketapang menuju Pelabuhan Gilimanuk, terdapat belasan kendaraan dan puluhan penumpang yang dapat terangkut oleh kapal ferry. Itupun kapasitas kapal belum terisi penuh.
Karena kami menggunakan mobil keluarga, maka biaya yang kami bayarkan adalah Rp.159.000,00 untuk sekali perjalanan menuju Pulau Bali. Waktu tempuhnya pun relatif cepat, yakni kurang lebih 50 menit.Â
Asalkan tidak terjadi kepadatan di dermaga pelabuhan tujuan. Informasi seputar tarif, waktu tempuh maupun jam keberangkatan pun juga dapat diakses melalui web resmi PT Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (Persero) atau ASDP Indonesian Ferry, yaitu http://www.indonesiaferry.co.id. Warganet bahkan juga dapat memesan secara daring tiket kapal ferry dari web tersebut. Â
Kembali lagi ke pengalaman #AsyiknyaNaikFerry. Begitu memasuki lambung kapal, kami dipandu oleh para petugas untuk menempatkan posisi kendaraan dengan benar. Perhitungan mereka cukup cermat. Ruang antarkendaraan diatur sedemikian rupa agar muatan kapal menjadi optimal dan para penumpang di dalam kendaraan tersebut dapat keluar masuk dengan leluasa.
Ruangan untuk penumpang pun relatif nyaman. Kami mendapati sebuah ruangan terisi dengan banyak kursi empuk serta fasilitas pelayanan publik yang cukup standar. Mulai dari televisi, ruang menyusui, mushola, toilet serta pendingin ruangan.
Dalam sebuah kesempatan, saya bahkan mendapati sekelompok muda-mudi ala kids jaman now asyik berswafoto dari berbagai sudut kapal. Mereka mencari spot yang keren untuk bisa dipajang di media sosial dengan menyematkan tagar #AsyiknyaNaikFerry seolah hendak membuat iri para penggemar mereka dengan pengalaman yang mereka dapat di atas kapal ferry.
Tak terasa kapal yang kami tumpangi akan tiba di Pelabuhan Gilimanuk. Terdengar suara pengumuman yang menyarankan agar kami kembali menuju kendaraan masing-masing. Setelah berada di mobil, kami merasakan kapal sedang berolah gerak untuk bersandar di dermaga. Ketika posisi kapal sudah tepat, perlahan pintu pendarat (ramp door) diturunkan. Deru mesin kendaraan mulai menyala-nyala dan bersiap untuk keluar kapal secara bergiliran. Para petugas pun memandu pergerakan kendaraan agar keluar dengan tertib.
Tanpa Rasa Galau
Keinginan kami bertamasya ke Bali dengan menggunakan mobil barangkali akan menjadi impian belaka apabila tidak ada infrastruktur maupun sarana transportasi yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Bali. Tak seperti halnya Pulau Madura yang memiliki Jembatan Suramadu sehingga memudahkan warga Madura maupun Surabaya dan sekitarnya untuk saling mengakses satu sama lain. Kapal ferry menjadi jawaban atas kegalauan kami yang hendak berlibur ke suatu tempat yang termasyur akan pariwisatanya, dengan biaya perjalanan yang relatif murah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H