Telah habis kata-kata untuk mengungkapkan betapa sayangnya dia padaku. Meski tak selalu terucap, namun kasihnya laksana udara yang tak pernah berkurang, meski jutaan orang menghirupnya setiap saat. Dialah Ibuku. Wanita tegar, yang kini mulai menapak usia senja, namun tetap kuat menghadapi berbagai ujian hidup.
Aku lahir pada 37 tahun yang lalu. Dan selama rentang masa itu, selama aku menjadi putranya, hanya cinta dan kasih sayang yang dia curahkan. Begitu nyata, begitu terasa. Tak pernah terbersit sebesar zarrah pun untuk meragukan ketulusannya. Bersyukur, Allah memberikan anugerah, menakdirkan aku terlahir melalui rahimnya, dan merasakan lembut belaiannya.
Bagiku, dia wanita hebat. Dengan berbagai rintangan yang menghalangi jalan hidupnya, dia tetap bertahan dan berdiri kokoh. Berasal dari keluarga sederhana, dan ditinggal Kakek sejak masih kelas 2 SD, tak menyurutkan semangat untuk terus mengejar cita-citanya menjadi seorang guru, meski kemudian harus meninggalkan rumah dan menempuh pendidikan di luar kota. Pada masanya tentu bukan hal yang mudah. Aku kerap mendengar cerita itu langsung dari mulutnya atau saudara-saudara juga tetangga.
Di saat itulah, dia bertemu Bapak, seorang lelaki gagah dan bertanggungjawab, Â yang berhasil mencuri hatinya. Rupanya, perbedaan suku dan kuatnya kepercayaan terhadap adat istiadat, menjadi alasan terkuat bagi Emak (Nenek dari Bapak) untuk tidak merestui hubungan mereka. Penolakan yang frontal, seolah tak membuka sedikitpun kesempatan untuk mereka bersatu.
Namun, keduanya tak mau menyerah! Dan dengan kekuatan cintanya mampu membuktikan bahwa hasrat mereka begitu tulus. Emak pun sedikit luluh, restu pun diberikan. Atas izin Allah, akhirnya mereka menikah. Tapi itu bukan akhir dari semuanya, sikap Emak yang keras, kerap melahirkan keputusan-keputusan yang dirasa sulit. Dan, Ibu tetap bersabar atas segala hal yang diterimanya.
Saat aku dalam kandungan, Ibu mendapat surat tugas, untuk mengabdi di sebuah sekolah dasar di desa terpencil di daerah Pandeglang -- Banten. Dengan tegas, Bapak menolak, karena beliau (yang juga guru) tidak mau berpisah dengan Ibu. Pilihan yang sulit memang, namun dengan musyawarah yang alot, akhirnya Ibu berangkat memenuhi panggilan jiwanya.
Di daerah asing, yang jauh dari suami dan juga keluarga, dalam keadaan berbadan dua, Ibu tetap semangat menjalankan tugasnya. Banyak kisah yang Ibu alami di sana. Dan beruntung, dia diangkat anak oleh keluarga kepala desa. Mereka begitu sayang kepada Ibu. Hingga diakhir masa tugas, mereka merasa sedih, saat harus melepas Ibu kembali ke kampung halamannya, dan bertugas di sini. Saat itu aku sudah batita.
Ibu bersama Bapak, ditugaskan di sebuah sekolah di daerah pedalaman. Tepatnya daerah perbukitan di pinggir hutan jati milik pemerintah. Namun, akses transportasi yang sulit, kebutuhan air bersih yang terbatas, dan terkadang masih ada binatang buas yang melipir ke teras rumah, tetap tidak menyurutkan semangatnya untuk mengabdi.Â
Ibu bukan hanya menjadi guru di sekolah, tapi juga membaur dengan masyarakat, bersama rekan-rekannya menjadi pelopor perubahan. Ah, jika ingat masa-masa itu, aku merasa bangga padanya.
Saat aku sudah duduk di kelas 3 SD, Ibu dan Bapak kembali dipindahtugaskan. Tidak lagi di pedalaman, namun sedikit agak ramai, karena di tepi jalan provinsi. Mungkin, hadiah atas kesabarannya selama ini. Bapak dan Ibu membangun rumah untuk kami tinggali.
Di rumah itu aku tumbuh, dan menghabiskan masa kecil hingga remaja. Saat aku sudah lulus kuliah, Bapak dipanggil Yang Maha Kuasa. Tinggallah Ibu sendiri menjalani peran sebagai Ibu sekaligus Bapak, bagiku dan seorang adik yang masih duduk di bangku kuliah.Â