Di jaman now, dunia digital bukan hanya sekedar gaya hidup, tapi sudah benar-benar merupakan kebutuhan. Kalau dulu, kebutuhan primer hanya terdiri dari sandang, pangan dan papan, mungkin sekarang sudah harus ditambah dengan kuota. Buktinya, kita bisa melihat dengan mudah, bagaimana seseorang akan merasa panik, saat mengetahui paket data pada perangkat pintarnya sudah limit, ya... macam emak-emak yang kehabisan beras saja. Haha.
Mau gimana lagi? Sekarang ini kita memang sudah memasuki era digital, di mana hampir semua aspek kehidupan sudah berada di ujung telunjuk. Semua informasi pun dapat diakses dengan mudah. Mungkin, inilah yang dinamakan zaman moderen, hampir semua peralatan sudah menggunakan teknologi mutakhir.
Dari masa ke masa, peradaban manusia memang semakin maju. Saya yang lahir tahun 1980-an, sungguh merasa bersyukur, bisa menyaksikan dan mengalami sendiri lonjakan kemajuan teknologi tersebut. Saya ingat betul, dulu, PLN belum masuk ke kampung saya. Dan, untuk bisa menonton siaran televisi, haruslah menggunakan aki (accumulator) 12 volt, yang apabila dayanya sudah menipis, layar televisi akan mulai menciut semakin kecil dan lama-lama mati. Itu pun belum ada televisi berwarna seperti sekarang, apalagi layar datar. Namun begitu, kami sangat bahagia, karena biasanya aktivitas menonton dilakukan ramai-ramai. Kadang sambil liwetan, atau bakar jagung/singkong.
Tahun 1997, sekitar kelas dua SMA, barulah saya mengenal komputer. Saya sempat ikut kursus mengetik dan diperkenalkan dengan program WS, DOS, Excel dan Lotus. Saat itu, bisa pegang komputer saja, sudah menjadi suatu kebanggaan. Haha. Apalagi kalau berhasil membuat sampul buku, dengan nama sendiri, menggunakan jenis huruf yang unik. Kalau tidak salah, belum ada printer warna, karena masih menggunakan dot matrix. Tapi, memang merasa sudah kekinian, pada masanya.
Pas kuliah tingkat dua, sekitar tahun 2000-an, barulah mengenal internet. Itu pun belum ada perambah web, semacam mozilla, chrome, dll. Kami masih pakai internet explorer, yang saat itu kecepatan aksesnya bisa cukup untuk nyeduh kopi sambil main kartu, hehe. Tapi, kami tetep bahagia kok, rasanya seru aja, bisa berselancar, menjelajah dunia hanya dari sebuah layar. Untuk sosial media, paling banter hanya friendster, situs chating MIRC, miling-list, atau blogspot.Â
Dan semua itu bisa kita nikmati dari sebuah kotak ajaib yang tersedia dalam sebuah ruang kecil, yang dipetak-petak, dalam bangunan yang disebut warnet (warung internet). Dan, kadang kami harus antri lho, karena memang peminatnya banyak sekali. Ah, masa itu menjadi bagian yang indah bagi saya. Hihi, sedikit nostalgia, gak apa-apa ya...
Lalu masuk era seluler. Bentuk dan fitur handphone tempo doeleoe, pas awal-awal keluar, sangat jauuuuhhh dibanding smart phone masa kini. Hanya bisa untuk mengirim dan menerima panggilan dan sms, itu saja. Itu pun dengan kapasitas karakter yang dibatasi. Tidak ada emoticon, tidak bisa merubah bentuk huruf, apalagi pesan suara. Tapi, kami tetap bahagia, kok. Karena, kami saksi sejarah cikal-bakal lahirnya teknologi telepon genggam.
Dan, di saat ini, semua kecanggihan itu seolah saling terkait satu sama lain, yang semuanya bisa diakses dari satu alat saja. Kita menyebutnya smart phone, atau telepon pintar. Sekarang kegunaan telepon genggam bukan hanya untuk panggilan, sms, petunjuk waktu dan kalkulator saja. Tapi, bisa untuk hal-hal yang (dulu) mungkin tidak terpikir. Transaksi perbankan misalnya, pengecekan cctv, streaming video, siaran langsung, panggilan video, dan banyak lagi. Kehidupan manusia semakin dimudahkan saja.
Namun, untuk bisa menikmati semua kemudahan itu, pastikan kuota data internet tersedia. Karena memang itulah bahan bakarnya. Secanggih apapun smart phone, model dan type paling baru sekalipun, kalau tidak memiliki paket data, ya... tidak bisa bermanfaat lebih. Gak akan ada tanda-tanda kehidupannya, hehe.
Nah, bicara soal paket data atau kuota internet, saya punya pengalaman yang cukup berliku, hingga akhirnya berani ambil keputusan sebagai the really last. Yakin deh, tidak akan pindah ke lain provider. Trust me.
Gini-gini, kalau dulu, sebelum tersedia akses internet di hand phone, untuk bisa mencari informasi lewat google, saya harus antri di warnet, karena memang di rumah tidak memiliki sambungan internet. Masih susah, kan? Dan yang pasti, biayanya tidak murah, ditambah memang lokasi rumah yang tidak termasuk kategori kota, menyebabkan sulitnya dijangkau sinyal. Ah, kalau inget masa itu, suka senyum-senyum sendiri. Untuk bisa ngirim atau nerima sms, harus lari ke atas bukit di belakang rumah, siapa tahu ada gelombang nyangkut, hehe.