Gimin melemparkan pandangannya ke tengah areal persawahan yang kerontang, menjelma lapangan gersang dengan garis-garis rekahan tanah yang terbelah-belah. Bahkan jarak rekahannya sudah cukup lebar, sehingga kaki bisa saja terjepit jika terperosok masuk ke dalamnya.
Kemarau ini sudah sedemikian parah. Sudah empat bulan lebih tak pernah turun hujan. Kekeringan bukan hanya melanda lahan pertanian, tapi juga penduduk di pemukiman sudah kesulitan mendapatkan air bersih. Sementara, pasokan dari kecamatan masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat.
Bagi mereka yang mampu, tentu bisa membeli kepada para pengecer yang mulai menjamur untuk menutupi kekurangannya. Tapi bagi dirinya, dan juga penduduk kurang beruntung lainnya, harus rela mengonsumsi air keruh. Itu pun didapat dengan penuh perjuangan, berjalan menyusuri bukit terjal sejauh 1-2 kilometer.
Hmm... Gimin menghela napas, pandangannya dialihkan pada perbukitan dan pegunungan kapur yang menjulang di kejauhan. Begitu gagah, seolah membentengi Kecamatan Karangmojo, tempat ia tinggal sejak lahir, bahkan hingga kini setelah menikah dan menjadi Bapak dari seorang Bocah Kurus, yang sedang berlari-lari kecil di pematang sawah, bersama teman-temannya mengejar layangan putus.
“Sampai kapan penderitaan ini akan berlangsung?” Hatinya berbisik pilu. Ia teringat pada Sati, istrinya yang tengah mengandung anak kedua. Dengan kondisi seperti ini, ia khawatir, makanan yang masuk ke perut istrinya tidak mencukupi pertumbuhan Si Jabang Bayi. Belum lagi untuk persalinan nantinya yang tentu membutuhkan biaya tidak sedikit.
Sebagai buruh tani, yang hanya menggantungkan hidup pada sawah tadah hujan sang pemilik lahan, musim kemarau berarti juga sumber pendapatannya tertutup. Biasanya ia masih bisa menanam palawija, tapi dengan kondisi tanah yang kerontang dan terbelah, tanaman apa yang bisa tumbuh dengan baik?
“Apakah Gusti Allah tidak melasmaring wong cilikkoyokulo?” bisik hatinya lagi, lebih kepada protes. “Sudah sejak dulu kulo berjuang, mencari nafkah untuk kulawargo, tapi selalu saja ndak mencukupi? Duh Gusti...”
Hatinya menjerit. Mempertanyakan keadilan yang dirasa tak pernah berpihak. Ia hanya bisa pasrah menjalani garis hidup yang harus ditapaki. Bukan! Bukan tidak mau merubah nasib, tapi segala upaya yang dicoba selalu berakhir dengan kebuntuan, sekeras apapun ia mengusahakannya.
Kali ini, ia benar-benar ingin Tuhan datang memeluknya. Membuka jalan untuk keluar dari kesengsaraan yang menghimpit. Karena ia sudah tak sanggup lagi berpikir, mencari jalan sendiri.
“Paringi kulo dalan, Gusti...” desisnya pelan. Lantas, matanya mencari-cari sosok kecil yang masih berlarian untuk diajaknya pulang. Di ufuk Barat, mentari sudah hampir tenggelam.
***
Perut Sati sudah semakin membuncit. Menurut perkiraan Mbah Jumi --dukun bayi yang memeriksa kandungan istrinya-- kelahiran diperkirakan tinggal seminggu lagi. Gimin semakin bingung. Ia tak punya bekal sama sekali. Setidaknya harus mempersiapkan segala sesuatu untuk keperluan Si Jabang Bayi. Domba, harta satu-satunya yang ia miliki telah dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara ia tidak tahu harus mencari pinjaman pada siapa? Karena orangtua, saudara dan tetangga pun sama, mengalami paceklik yang belum berujung.
“Maas... sakiit...” pekik Sati pada suatu hari yang dinantikan, persis sesuai perkiraan.
“Wis keroso tho, De? Mas ta’ jemput Mbah Jumi, yo? Tahan...”
Dengan hati masygul, Gimin segera ke rumah sang dukun bayi. Tak lupa mampir ke rumah Simbok untuk mengabari kalau Sati sedang keroso weteng. Untung saja Mbah Jumi tidak sedang menangani pasien lain. Sehingga bisa secepatnya diboyong untuk menolong sang istri.
Meski usia sudah menapak senja, Mbah Jumi masih cekatan membantu persalinan. Gimin dan Simbok, juga para tetangga yang datang mendekat, menunggu di luar kamar dengan was-was sambil terus berharap, moga-moga proses persalinan berjalan lancar.
Serangkaian perjuangan yang berat antara hidup dan mati itu pun harus dilalui.
“Syukurlah ‘Nduk, anakmu wis metu...!” Mbah Jumi berseru. Sati tersenyum lemah.
Gimin menghambur masuk, ingin segera melihat rupa anaknya yang kedua.
“Wedok.” Mbah Jumi berujar. Senyum tuanya menghias wajah. Gimin tak kuasa menahan haru. Diciumnya pipi pucat Sati dengan penuh kasih. Lalu mendekat ke arah Mbah Jumi.
“Alhamdulillah...” ucapnya bersyukur. Ditimangnya wajah suci itu. Cantik, seperti ibunya.
“Kok ndak nangis, Mbah?” Ia bertanya gamang. Sejak tadi tak terdengar suara bayi. Sekilas dilihatnya wajah sang istri yang juga menanti sebuah penjelasan.
Mbah Jumi segera memeriksa. “Sabar yo Nduk, bayimu ra kuat...”
Penjelasan Mbah Jumi terdengar seperti besi panas yang menusuk telinga. Menghantam dada seperti palu godam yang sangat besar. Sesak. Gimin dan Sati hanya saling pandang, lalu menangis berrangkulan.
***
Jasad kecil itu sudah tenang di dalam pusaranya. Bahkan ia tak sanggup untuk sekedar menatap kerasnya kehidupan dunia. Gimin melangkah lunglai. Hatinya berbisik, rahasia apa yang sebenarnya sedang disembunyikan Gusti Allah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H