Mohon tunggu...
Just Riepe
Just Riepe Mohon Tunggu... Guru (Honorer) -

I am a simple people (Reading, writing, singing, watching, traveling)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rahasia Gusti

10 Maret 2017   14:17 Diperbarui: 10 Maret 2017   14:29 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: Sindotrijaya

Perut Sati sudah semakin membuncit. Menurut perkiraan Mbah Jumi --dukun bayi yang memeriksa kandungan istrinya-- kelahiran diperkirakan tinggal seminggu lagi. Gimin semakin bingung. Ia tak punya bekal sama sekali. Setidaknya harus mempersiapkan segala sesuatu untuk keperluan Si Jabang Bayi. Domba, harta satu-satunya yang ia miliki telah dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara ia tidak tahu harus mencari pinjaman pada siapa? Karena orangtua, saudara dan tetangga pun sama, mengalami paceklik yang belum berujung.

“Maas... sakiit...” pekik Sati pada suatu hari yang dinantikan, persis sesuai perkiraan.

Wis keroso tho, De? Mas ta’ jemput Mbah Jumi, yo? Tahan...”

Dengan hati masygul, Gimin segera ke rumah sang dukun bayi. Tak lupa mampir ke rumah Simbok untuk mengabari kalau Sati sedang keroso weteng. Untung saja Mbah Jumi tidak sedang menangani pasien lain. Sehingga bisa secepatnya diboyong untuk menolong sang istri.

Meski usia sudah menapak senja, Mbah Jumi masih cekatan membantu persalinan. Gimin dan Simbok, juga para tetangga yang datang mendekat, menunggu di luar kamar dengan was-was sambil terus berharap, moga-moga proses persalinan berjalan lancar.

Serangkaian perjuangan yang berat antara hidup dan mati itu pun harus dilalui.

“Syukurlah ‘Nduk, anakmu wis metu...!” Mbah Jumi berseru. Sati tersenyum lemah.

Gimin menghambur masuk, ingin segera melihat rupa anaknya yang kedua.

“Wedok.” Mbah Jumi berujar. Senyum tuanya menghias wajah. Gimin tak kuasa menahan haru. Diciumnya pipi pucat Sati dengan penuh kasih. Lalu mendekat ke arah Mbah Jumi.

Alhamdulillah...” ucapnya bersyukur. Ditimangnya wajah suci itu. Cantik, seperti ibunya.

“Kok ndak nangis, Mbah?” Ia bertanya gamang. Sejak tadi tak terdengar suara bayi. Sekilas dilihatnya wajah sang istri yang juga menanti sebuah penjelasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun