Mohon tunggu...
Jakarta Property Institute
Jakarta Property Institute Mohon Tunggu... Lainnya - Non Profit Organization

Lembaga non profit yang memiliki misi untuk membuat Jakarta lebih layak huni, dan meningkatkan pertumbuhan sektor properti di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Money

Empat Hal yang Harus Dipertimbangkan Jakarta Soal Kebijakan Perumahan

21 Oktober 2021   10:44 Diperbarui: 21 Oktober 2021   10:46 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Jakarta masih akan menarik banyak orang untuk bekerja dan menetap. Kondisi ini juga patut menjadi acuan bagi Pemerintah DKI Jakarta untuk menetapkan kebijakan perumahan yang nantinya bisa menampung para pendatang ini.
Jumlah angkatan kerja Indonesia akan bertambah 8,69 juta orang hingga 2021. Pada Mei 2021 jumlahnya  mencapai 139,81 juta orang  dan meningkat  menjadi 148,5 juta pada 2025. Jumlah yang patut menjadi perhatian pemerintah terkait kebijakan perumahannya, terutama di Jakarta yang merupakan tujuan favorit para pekerja muda.

Setidaknya, ada empat faktor yang perlu dipertimbangkan pemerintah untuk merumuskan kebijakan perumahan tersebut. Ketiganya adalah:

1. Jakarta akan selalu mendapat tambahan penduduk baru

Jakarta dengan aneka fasilitas dan infrastuktur yang memudahkannya akan tetap menjadi magnet urbanisasi. PBB, melalui Department of Economic and Social Affairs Population Dynamics, menyatakan 56% penduduk Indonesia tinggal di kota pada 2020. Pada 2050 nanti, jumlahnya meningkat menjadi 73%. Artinya, semakin banyak orang yang akan tinggal di kota dan kebutuhan hunian juga akan meningkat.

2. Kaum muda membutuhkan pilihan jenis hunian yang variatif

Bicara tentang kaum muda (Millenials dan Gen Z) berarti bicara tentang kata kunci: cepat, simpel, fleksibel, dan lokasi strategis.

Kaum muda menyukai semua hal yang serba cepat dan simpel. Banyak pula yang mengutamakan untuk merasakan pengalaman ketimbang simbol pencapaian seperti memiliki rumah sebagai aset.

Pola pikir kaum muda saat ini juga sudah berubah dari yang orang tua mereka pahami. Kepemilikan rumah bukan lagi pencapaian utama utama dan satu-satunya cita-cita. Banyak dari mereka yang memilih mencari sebanyak mungkin pengalaman dengan berpindah tempat kerja, berpindah tempat tinggal, dan sekolah ke luar negeri.

Variasi hunian patut mempertimbangkan gaya hidup kaum muda mulai dari luasnya, lokasi, hingga status kepemilikan. Hunian dengan status hak milik menuntut pemiliknya untuk menetap dalam jangka waktu yang lama. Padahal, banyak orang muda saat ini yang memilih nomaden dan bekerja dengan berpindah
kota.

Itu sebabnya, penyediaan hunian dengan status hak sewa dengan masa sewa yang fleksibel sudah selayaknya mulai diperhitungkan pemerintah.

3. Menambah suplai hunian berarti pemanfaatan ruang yang optimal

Luas lahan di Jakarta tak mungkin bertambah. Keterbatasan itu membuat harga rumah tapak terus naik dan tak terjangkau. Optimalisasi pemanfaatan ruang berupa pembangunan hunian vertikal mutlak dilakukan. Intervensi pemerintah berupa penyediaan hunian vertikal perlu dibangun di banyak lokasi. Adapun pembangunannya bisa dilakukan dengan berbagai cara mulai dari murni dikerjakan pemerintah hingga bekerja sama dengan pihak swasta.

Banyak dari lahan pemerintah di Jakarta yang tidak maksimal pemanfaatannya. Pasar, misalnya, hanya berfungsi sebagai pasar. Padahal, di lahan yang sama itu bisa dibangun hunian vertikal di bagian atas pasar. Kerja sama pemerintah dengan pengembang bisa mewujudkan hunian untuk kaum muda.

4. Membuat fasilitas pinjaman perbankan bisa diakses lebih banyak masyarakat

Intervensi dari pemerintah berupa kebijakan finansial yang atraktif untuk skema kepemilikan rumah sangat diperlukan terutama bagi kaum milenial. Menurunkan suku bunga pinjaman untuk segmen Kredit Kepemilikan Rumah adalah salah satunya. Sebab, suku bunga dasar kreditnya tergolong tinggi dan membuat kaum muda semakin kesulitan berpartisipasi di pasar properti. Tenor kredit yang memanjang dan pembayaran uang muka yang ringan juga memperbesar kesempatan masyarakat ikut serta di pasar properti.

Ketiga cara tersebut sudah diterapkan pada barang konsumsi. Cara yang sama juga bisa diterapkan pada pasar properti. Lantaran nilai transaksinya yang sudah pasti besar, maka peran dan keterlibatan pemerintah melalui kebijakan finansial mutlak diperlukan di pasar properti.

Jakarta tidak mungkin membatasi pendatang. Jakarta menarik banyak bakat dan keterampilan untuk berdatangan. Berkumpulnya sumber daya tersebut juga akan menguntungkan kota ini. Sudah selayaknya kota juga menyediakan hunian yang terjangkau bagi warganya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun