Industri properti adalah urat nadi perekonomian Jakarta. Dalam penyediaan ruang, hal itu memicu efek berganda yang berdampak pada 171 sektor di seluruh rantai nilai, dari sektor konstruksi, jasa perbankan, ritel hingga telekomunikasi. Pada tahun 2019, meski sedang mengalami penurunan, industri properti dan konstruksi berkontribusi signifikan terhadap perekonomian Jakarta: 17% terhadap PDB; 28% dari investasi asing langsung, menurut statistik resmi. Industri properti dan konstruksi mempekerjakan 6% tenaga kerja Jakarta. Ditambah dengan industri ritel, akomodasi, dan restoran --- yang semuanya berlangsung didalam bangunan properti--- totalnya menjadi 36% tenaga kerja.
Mengingat perannya yang besar, intervensi Pemerintah DKI Jakarta sangatlah dibutuhkan. Jika diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar, perekonomian bakal pulih dengan sangat lambat. Contohnya sudah terjadi setelah krisis keuangan tahun 1998. Jakarta menunggu selama tiga tahun hingga adanya pembangunan besar terjadi: Cilandak Town Square. Itupun terlambat tiga tahun! Banyak investor yang telanjur mencari di tempat lain. Masalah keterjangkauan sudah dialami warga, pandemi menambah beban mereka dan memberi lebih banyak alasan untuk melarikan diri dari Jakarta.
Pemilik properti sangat mengapresiasi Pemerintah DKI Jakarta atas diskon PBB pada tahun 2020. Namun faktanya, kenaikan NJOP tetap di luar keterjangkauan; pemilik properti sedang menghadapi ketidakpastian sekarang dan di tahun 2021 dibayangi pengangguran massal. Merosotnya pendapatan pemilik toko, juru masak, pelayan, kasir, penjaga keamanan, sipir parkir, tukang kebun, insinyur, pembersih dan pengelola gedung akan membuat mereka tanpa jaring pengaman dan kehilangan semangat. Penangguhan pembayaran PBB dapat menyelamatkan para pekerja keras itu. Ini darurat. Mari kita bantu mereka bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H