Mohon tunggu...
Agus Jaya Putra
Agus Jaya Putra Mohon Tunggu... -

Peneliti yang tidak terlalu muda yang gemar memusingkan diri dengan gejala-gejala sosial, hukum, dan politik di Bangsa Tercinta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Jejaring Sosial Vs Hukum

27 Januari 2010   17:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:13 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masa modern identik dengan penerapan teknologi disetiap sendi kehidupan. Baik perusahaan, Negara, sampai pribadi mulai melibatkan teknologi kedalam putaran roda kehidupan/organisasi. Mari kita ambil contoh keterlibatan Internet dalam keseharian. Untuk sebuah perusahaan, Internet sangatlah membantu dalam hal pengiriman pesan, pembelian, bahkan mengadakan rapat mendadak yang bisa di fasilitasi secara langsung tanpa dibatasi oleh jarak. Luar biasa bukan? Lain lagi dengan penggunaan Internet di lingkuppemerintahan. Internet digunakan sebagai sarana bertukar data, komunikasi antar daerah, penghitungan cepat PEMILU dan banyak lagi.

Yang paling istimewa tentu saja penggunaan internet oleh orangperseorangan. Antara internet dengan user telah ditemukan keintiman yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pengejawantahannya dapat berupa e-mailing, chatting, browsing, dan tentunya yang paling menghebohkan adalah penggunaan social networking. Tentu saja semua itu semakin mempermudah segala aktifitas kita..ya tentu saja, karena tidak mungkin sebuah inovasi yang brilian diciptakan untuk sebuah kesulitan, bahkan kehancuran. Lalu, apakah memang demikian? Benarkah Internet khususnya Social Networking hanya berdampak positif bagi peradaban? Saya tergelitik untuk memberikan ulasan tentang pengaruh Social Networking terhadap penegakan hukum. Mungkin agak ngawur, aneh, atau paranoid. Tapi nyatanya ada sebuah ekses dari penggunaan social networking yang perlu dikhawatirkan karena bertentangan dengan sebuah doktrin dasar ilmu hukum.

Katakanlah ini sebuah fenomena, ketika Jejaring Sosial memegang peranan besar dalam kehidupan subjek hukum. Tatanan hukum yang konvensional semakin berubah dengan adanya penyesuaian hukum ruang maya. Atau Cyber Law. Itu salah satu contohnya, bahwa dinamika hukum pun dipaksa untuk mengikuti perubahan peradaban. Tapi itu bukan satu-satunya.

Pada jejaring social khususnya Facebook, dewasa ini kerap ditemukan sebuah group yang mendukung atau menolak kebijakan, mendukung/menghujat personal (subjek hukum), bahkan yang paling mengkhawatirkan adalah penggunaan fasilitas Group untuk mengendarai/mengarahkan opini masyarakat banyak. Ini dengan mudah kita temui pada kasus Bibit-Chandra (1 Juta Facebooker dukung Bibit-Chandra), Kasus Prita Mulyasari (Koin Cinta Untuk Prita, gerakan bebaskan Prita, dll), kasus Aguswandi Tanjung sang Pengecas Handphone (bebaskan Aguswandi Tanjung Sang PengecasHandphone),dan masih banyak kasus lain yang serupa.

Penggiringan opini public yang dilakukan ditengarai guna mempengaruhi para penegak hukum yang merupakan bagian dari Integrated Criminal Justice System. Dan hal ini tidak bisa dikatakan gagal, sebutlah kasus Bibit-Chandra yang dikeluarkan SP3 oleh kejaksaan, yang lucunya, salah satu pertimbangannya adalah sosiologis. Jelas hal ini merupakan blunder bagi para penganut legisme formil, karena memang “sosiologis” tidak ditemukan dalam alasan penerbitan SP3 pada KUHAP. Atau ambil contoh kasus Prita Mulyasari, Pasal 27 ayat 3 yang menjadi musuh bersama para pengguna dunia maya seakan tak berdaya menahan gempuran melalui jejaring sosial atau media. Sayangnya, pembentukan opini yang dilakukan pada kasus ini hanya terbatas pada kausa, bukan substansi perkara. Menurut hemat saya, Hakim bisa memutuskan Prita Mulyasari bebas demi hukum atas alasan Azas Kemanfaatan dan Azas Keadilan walaupun harus menentang azas kepastian hukum. Namun bukan dengan alasan Prita Mulyasari tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 27 ayat 3.

Masyarakat boleh beralasan upaya yang demikian merupakan counter terhadap kelemahan penegak hukum secara institusi maupun secara personal. Namun apabila hal ini kita teruskan, maka kita telah mengobati sebuah penyakit dengan obat yang salah.

Saya tidak memiliki tendensi apapun dengan ulasan saya ini. Hal yang paling saya khawatirkan adalah, ketika independensi badan peradilan/Yudisial menjadi terancam. Ketika hakim tidak dapat lagi menemukan hukum, menafsirkan hukum, dan membuat sebuah Jurisprudensi.

Semoga Matahari Keadilan Senantiasa Menyinari Kita Semua

[caption id="attachment_62689" align="aligncenter" width="300" caption="http://www.poskota.co.id/wp-content/uploads/2009/12/palu-hakim.jpg"][/caption] gambar 1 diambil dari  http://www.facebook.com/group.php?gid=169178211590&ref=search&sid=1171402135.3422163260..1

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun