Mohon tunggu...
Agus Jaya Putra
Agus Jaya Putra Mohon Tunggu... -

Peneliti yang tidak terlalu muda yang gemar memusingkan diri dengan gejala-gejala sosial, hukum, dan politik di Bangsa Tercinta.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Puluhan Triliun untuk 100 Hari??

28 Januari 2010   07:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:13 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Genap sudah pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II berusia 100 hari. Hari-hari yang tentunya tidak bisa dibilang mudah bagi para menteri kabinet, partai koalisi, apalagi bagi Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Begitu keras badai kritik menerpa, bahkan tak jarang fitnah dan caci maki menimpa. Namun itulah resiko bagi Negara yang dikatakan oleh Hillary Clinton sebagai Negara Demokratis terbesar ke 3 didunia. Gelombang Unjuk rasa pun menjadi santapan sehari-hari. Dengan berbagai tuntutan para demonstran ambil bagian dalam pembelajaran demokrasi.

[caption id="attachment_63151" align="aligncenter" width="285" caption="http://bandung.detik.com/images/content/2009/03/04/486/demo_kammi_insert.jpg"][/caption]

Tapi, 100 Hari hanyalah 100 Hari. 100 hari tidak bisa dikatakan sebagai representasi yang akan terjadi 5 Tahun kepemimpinan KIB II. Ahh jadi tergelitik saya untuk bertanya, apakah para demonstran tahu apa yang menjadi program 100 hari pemerintah? Kalau ya bersyukurlah saya. Sebab kalau tidak, lalu apa yang menjadi dasar bagi mereka berteriak sedemikian rupa sehingga etika sekedar legenda?

Ahh, lagi-lagi saya tergelitik untuk berfikiran bahwa ternyata Presiden pun memiliki masa Probation juga. Apabila dalam masa probation tidak dapat dikatakan laik, maka kontrak tidak akan diperpanjang. Alias, cukup sampai disini kebersamaan kita. Lalu untuk apa kita menghabiskan Triliunan Rupiah ketika PEMILU hanya untuk sebuah pemerintahan yang berumur 100 Hari? Bayangkan, berapa besar dana yang dikeluarkan oleh rakyat demi sebuah proses Legitimasi penyelenggara Negara? Dan kini sebuah proses delegitimasi sedang berjalan. Mengatasnamakan rakyat, menggugat pemerintah yang di klaim bejat.

Kemudian terbersit lagi di pikiran saya. Sebenarnya, berapa tahunkah yang diamanatkan untuk seorang Presiden? Sepanjang saya membaca dan menelaah UUD hasil amandemen maupun UUD 1945, kok saya tidak bisa menemukan kata-kata 100 Hari disitu? Ahh, mungkin saya yang khilaf, bodoh penafsiran, atau..?

Dalam sebuah pemerintahan diperlukan adanya stabilitas, konsentrasi, kesungguhan, hati nurani, dan kejujuran. Mengenai hati nurani, kejujuran, dan kesungguhan rasanya tak pantaslah diri ini menilai. Akan menjadi sangat subjektif nanti, pasalnya tidak ada tolak ukur yang eksak untuk masalah ini. Tapi mengenai stabilitas dan konsentrasi, hal itu hanya bisa diraih dengan bantuan semua pihak. Bantuan seluruh anak bangsa yang bertujuan satu, Membangun Bangsa. Bayangkan iklim kerja yang seperti apa yang mereka alami sekarang? Instabilitas politik, kritik tanpa etika, sampai fitnah merajalela.

[caption id="attachment_63152" align="aligncenter" width="300" caption="http://www.dpr.go.id/images/newsphoto/PROGRAM_100_HARI_MENTERI_KELAUTAN_37.jpg"][/caption]

Belum lagi kalau dikaitkan dengan kasus yang selama ini membuat gerah istana, membuat lelah masyarakat, dan memusingkan penegak hukum. Ya, apalagi selain kasus Bank Century. Penyelidikan yang dilakukan oleh Panitia Khusus Hak Angket Bank Century bentukan Rapat Paripurna DPR dinilai lebih kental muatan politiknya dari pada hukum. Pembunuhan karakter secara masiv dilakukan terhadap pejabat-pejabat Negara yang dipanggil sebagai “saksi”. Apa akibatnya? Semakin terang benderangkah kasus ini? Ahh rasanya semakin gelap saja kalau kita lihat dari kaca mata hukum.

[caption id="attachment_63155" align="aligncenter" width="300" caption="http://www.rakyatmerdeka.co.id/images/foto/normal/288914-12171215122009b@foto-dalam-4."][/caption]

Malahan, kasus ini rupanya mnimbulkan trauma yang cukup dalam bagi para Pejabat Negara di level pengambil kebijakan. Ini nyata, bayangkan untuk sebuah keputusan yang menjadi rutinitas kini mereka harus berulang kali memikirkan dampak dan akibatnya. Memang tidak ada salahnya menjadi lebih teliti, namun kondisi kadang tidak mengijinkan untuk berleluasa dalam waktu untuk sebuah pengambilan keputusan. Tak jarang, keadaan tertentu menyebabkan seorang pengambil kebijakan untuk mempercepat proses pengambilan kebijakan. Ahh, saying kini mereka selalu diliputi perasaan khawatir. Khawatir akan kriminalisasi dan juga khawatir akan di”adili” oleh para politikus. Terang saja mereka lebih memilih diadili oleh Badan Peradilan, setidaknya di sebuah penyidikan, sampai pembacaan Putusan, seorang tersangka, terdakwa dan terpidana diperkenankan bahkan diharuskan oleh Undang-undang untuk menggunakan jasa Penasihat Hukum. Tapi di “sidang” Pansus? Jangankan pengacara, menoleh sedikit dibentak, seperti yang dialami oleh saudara Marsilam Simanjuntak ketika di”periksa” oleh Pansus.

Ahh, ini hanya sekedar celoteh tak bermutu dari seorang anak bangsa yang khawatir.

Salam Keadilan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun