Mohon tunggu...
Joyo Senggol
Joyo Senggol Mohon Tunggu... -

PAUD 1977 SD INPRES 1978 WAJIB SEKOLAH 9 TAHUN 1984 KEJAR PAKET A 1987

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerbur 121906, Merpati Itu Kehilangan Pasangannya

5 Oktober 2013   00:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:59 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh : Tri Ramidjo

Pangat, ya Pangat nama pemuda itu. Dia berasal dari desa Wonoenggal, Jawa Tengah. Tubuhnya tinggi kekar dan pandai olahraga bela-diri. Sejak tahun 65 dia diciduk dan berpindah-pindah dari satu tempat tahanan ke tempat tahanan lainnya akhirnya sampai juga ke Pulau Buru dan berkumpul bersama kami di barak 1 Unit 15 Indrapura. Di desanya dia adalah seorang pemuda muslim yang santun dan tekun tetapi selama dalam tahanan merubah kepercayaannya menjadi nasrani. Dia sangat takut mendengar suara adzan Allahu Akbar dan dia membayangkan, bahwa dengan diiringi seruan itulah dengan tenangnya algojo-algojo berpakaian serba hitam memotong leher para korban orba Suharto.
Sebenarnya aku ingin mendengar ceritanya lebih banyak tapi dia selalu mengelak dengan alasan tak perlu menanam dendam. “Dendam itu akan membakar diri sendiri dan aku yakin Tuhan itu maha adil. Siapa yang menanam dia pulalah yang akan menuainya kelak”, katanya.
”Ya, tapi kalau kita menanam kelapa, belum tentu kita yang akan ngunduh kelapanya. Kelapa itu umurnya lama. Di Digul ayahku menanam kelapa dan sampai pembuangan Digul bubar dan dievakuasi ke Australia, ayahku belum ngicipi kelapa muda yang ditanamnya.” Kataku.
Pangat teman sebarakku itu hanya tertawa.

Tugas temanku Pangat itu setiap hari masuk ke hutan menderes pohon aren untuk mendapatkan gula. Dia bersama salah seorang teman sebarak mengolah legen hasil deresan pohon aren itu untuk dijadikan gula merah (gula aren) yang manis gurih. Gula inilah yang dapat kami nikmati dan ini pun tidak dapat kami nikmati setiap hari. Hasil menderes legen gula aren ini tidak bisa mendapat jumlah yang banyak sekaligus. Jadi hasil deresan berhari-hari baru bisa memenuhi jumlah untuk warga sebarak yang jumlahnya 50 orang. Pangat temanku ini memelihara seekor anjing betina berwarna coklat. Tentu ini bukan khusus milik pribadi Pangat teman kami itu tapi adalah milik bersama warga barak 1.
Tapi anjing ini lebih tutut dan menurut kepada mas Pangat, sebab dia yang memberinya makan setiap hari dan mengajaknya pergi ke hutan menderes pohon aren.
Di barak kami bukan hanya anjing yang kami pelihara tapi juga babi dan di belakang barak kami memelihara ikan mujahir di dalam empang-empang yang airnya kami peroleh dari atas bukit dengan menyalurkannya mempergunakan pipa-pipa bambu. Ayam juga kami pelihara tetapi dengan jumlah peliharaan ayam saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan protein hewani yang setiap hari harus bekerja keras bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup kami para tapol, tetapi juga memenuhi kebutuhan-kebutuhan antek-antek orba yang menjaga ketat kami.
Jadi orang tak perlu heran kalau kami para tapol Buru makan tikus, ular, kadal dan sebagainya. Ya, bolehlah kalau kami para tapol dikatakan sangat sadis, tapi sesadis-sadis kami, kami tidak pernah makan darah yang mengalir yang hukumnya haram seperti yang disebutkan dalam Surat ke 6 Alqur’an Surat Al anaam ayat 145.
Siapakah yang memakan darah yang mengalir? Tentu saja tidak lain adalah kaum kapitalis yang mempekerjakan kaum buruh yang darahnya mengalir dalam tubuhnya tetapi hasil tenaga kerjanya dimiliki kaum kapitalis. Inilah sebenarnya arti nyata dari istilah memakan darah yang mengalir.
Itu menurut keterangan ayahku pak Ramidjo yang telah tiada. Beliau hafal dan mengerti Alqur’an yang selalu menganjurkan para santrinya untuk selalu berbuat baik, membaca do’a iftitah yang khusuk waktu shalat dan berwudhu yang benar sebelum shalat.
Maaf, bukan maksudku untuk menuliskan soal-soal agama Islam. Pengetahuanku terlalu sedikit dan sepotong kuku-ireng pun tidak ada.

Dari hari kehari hidup di pulau Buru ini makin terasa mapan. Mapan bagi orang seperti kami yang tidak punya pilihan lain selain mendekam terus dalam tahanan.
Hasil pertanian kami tambah meningkat dan bersamaan dengan hasil panen yang meningkat, hasill yang dirampas penguasa pun makin banyak. Hasil penggergajian papan meranti, minyak kayu putih, hasil kerajinan tangan, lukisan dan tentu saja hasil pertanian sangat memberi keuntungan yang besar bagi para penguasa unit. Cerita tentang ini tertulis lengkap dalam buku pak Pramudia Ananta Toer “NYANYI SUNYI SEORANG BISU” yang terdiri dari dua jilid.

Aku kembali pada awal judul ceritaku.
Di unit IV Savanajaya sudah bermukim keluarga-keluarga tapol yang menyusul atau disusulkan oleh penguasa. Suasana di Savanajaya memang agak sedikit lain tetapi status tapol ya, tetap tapol. Sebab Buru bukanlah seperti Tanah Merah-Digul.
Digul memang tempat pengasingan orang-orang pergerakan yang menentang pemerintah kolonial Belanda. Tapi kehidupan masyarakat Digul tak ubahnya seperti orang hidup di suatu desa kecil di Kalimantan misalnya dan bahkan masyarakat Digul adalah masyarakat yang guyup rukun. Anak-anak orang buangan digul adalah anak-anak yang sangat mengerti tata pergaulan sopan. Tidak ada anak Digul yang melempari buah jambu yang masih pentil atau memetik buah jeruk yang belum matang. Tanaman buah-buahan orang lain pun tidak pernah diganggu anak-anak Digul. Kalau ada buah nangka yang besar dan sudah hampir matang, misalnya pohon nangka milik oom Oesman di ujung Kampung B. Kami anak Digul (aku dan beberapa teman – Yati, Supad, Darmo, Bedjo, Sadjad dan Watiyem) datang ke rumah oom Oesman.
Di antara kami Yati yang jadi juru bicara : “Oom Oesman, buah nangka oom besar-besar dan ada 5 yang hampir matang. Bolehkah kami minta satu oom.?”
Oom Oesman yang tubuhnya putih seperti orang Jepang itu (putih karena tak mau keluar rumah, halaman rumahnya jembrung penuh rumput liar, pokoknya menyendiri tak mau berkomunikasi dengan orang lain dan sangat anti pada peraturan pemerintah kolonial Belanda) menemui kami dan mengajak kami melihat pohon nangkanya di sebelah rumah,
“Ya benar, nangka-nangka ini sudah boleh dipetik. Mari kita petik dan kita bagi-bagi. Yang besar ini dibagi empat dan tolong antarkan ke rumah keluarga oom A, B, C, dll. Buah nangka ini milik kita bersama jadi oom tidak akan memakannya sendirian. Dan siapa yang mau makan nangka begitu besar senbdirian. Emangnya oom mau jadi Buto Ijo.” Kata oom Oesman.
Nah begitulah sedikit gambaran keadaan masyarakat Digul yang jauh sekali bedanya dengan tahanan Pulau Buru di Savanajaya tempat pemukiman para keluarga tapol.
Wah, aku menyimpang dari jalur ceritaku semula ya. Maaf, maklum aku memang baru belajar menulis cerita dan belum bisa menyusun urutan cerita yang baik. Ya biarlah nanti tentu ada teman yang mau membantu mengedit jalan ceritaku ini.
Sekarang aku kembali ke cerita merpati, ya.

Begini kisahnya.
Di Savanajaya, di antara keluarga anak-anak tapol ada yang memelihara merpati yang dibawa dari Jawa. Merpati-merpati peliharaan ini berkembang biak. Ada yang coklat, putih, hitam dll. Kita semua tahu burung merpati itu menjadi symbol perdamaian bukan? Aku lupa cerita merpati yang jadi symbol perdamaian itu. Siapa ya, yang melukis merpati itu ? Pablo Picaso? Di Madrid - Spanyol? Entah aku sudah pikun tak ingat lagi.

Mas Pangat suatu hari korve ke Savanajaya.
Melihat burung-burung merpati berterbangan bekejar-kejaran teringatlah dia akan kampungnya di mana dia juga memelihara merpati. Dia teringat akan merpati posnya yang bisa mengantarkan surat dari jarak yang sangat jauh. Timbullah keinginannya untuk memelihara merpati, lalu dimintanya sepasang merpati muda jantan dan betina.
Dengan perasaan gembira mas Pangat pulang ke unit 15 dengan membawa dua ekor (sepasang) merpati di dalam sangkar bambu.

Keesokan harinya mas Pangat sambil bersiul-siul kecil membuatkan rumah-rumahan (bekupon) untuk merpatinya. Setelah selesai didirikannya sangkar itu dengan sebuah tiang yang cukup kokoh di belakang dapur barak satu.
Kedua (sepasang) merpati itu dimasukkannya ke dalam ‘rumah’ baru itu, seperti sepasang pengantin baru memasuki kamar barunya. Tentu saja di dalam sangkar itu sudah dilengkapi padi-padian dan jagung dan mas Pangat tidak lupa menyediakan air minum untuk kedua ekor merpati itu.
Setelah seminggu lamanya di kurung seperti tapol dalam tahanan RTC Salemba, kedua ekor merpati itu dikelurkan dari sangkarnya. Hanya bedanya dengan tapol di Salemba, kedua ekor merpati itu mendapat jatah makan dan minum sekenyangnya sedangkan tapol di Salemba ompreng nasinya hanya seperempat isinya itupun nasi campur gabah dan pasir dan untuk memakannya harus dilimbang dulu dengan air supaya pasirnya mengendap dan gabahnya dipilihi satu-persatu dan nantinya gabah itu dikupas dipisahkan dari kulitnya dan setelah terkumpul banyak dimasukkan muk (cangkir aluminium) dicor air panas dan ditutup rapat, maka jadilah nasi yang pera dan bisa menangsel perut yang lapar. Aduh enaknya nasi cor air panas yang bisa dimakan tanpa bercampur pasir. Anda ingin coba? Jadi tahanan orba Suharto dulu, Mau? Enak lho digebuki itu, seperti dipijati pakai bulldozer, hahahaha.
E, aku jadi lupa, bagaimana merpati tadi ya?
Semula merpati itu berkejar-kejaran sekeliling rumahnya di luar sangkar. Tapi kemudian terbang ke atas atap barak dan masih terbang berkejar-kejaran. Setelah capek mereka berhenti di wuwungan atap barak. Sepasang merpati itu bertengger berdampingan memperhatikan kami penghuni barak satu yang sedang memperhatikannya juga.
Merpati betina itu seakan-akan berkata kepada pasangannya. “Lihat. Para tapol itu semua cowok, ya. Tak ada ‘seekor’ pun ceweknya? Apa mereka itu pasangan-pasangan homo, ya?”
“Hush, jangan ngawur. Mereka-mereka itu ‘aikokusha’ (bahasa Jepang AI = cinta KOKU = negeri SHA =orang – pencinta-pecinta tanah air atau patriot.” Kata merpati jantan.
“Apa? Patriot dan pembela Rakyat? Aku sering dengar sumpah itu yang ducapkan oleh baju-baju hijau prajurit yang gagah-gagah dari ABRI. Kalau ABRI itu benar, patriot Indonesia, yang mereka sering ucapkan dalam upacara-upacara. Mereka mengucapkan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Aku hafal sapta marga dan sumpah prajurit walaupun aku hanya burung merpati,” kata si betina.

SAPTA MARGA

1. KAMI WARGA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA YANG BERSENDIKAN PANCASILA.

2. KAMI PATRIOT INDONESIA PENDUKUNG SERTA PEMBELA IDEOLOGI NEGARA YANG BERTANGGUNG JAWAB DAN TIDAK MENGENAL MENYERAH.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun