[caption caption="(sumber gambar: isupariwisata.com)"][/caption]Pagi itu hari Minggu, 10 April 2016 kira-kira jam 10.30, wartawan dan reporter tidak terlalu padat seperti yang terjadi di gedung KPK hari ini. Ya! Hari ini Ahok kabarnya akan diperiksa KPK perihal Rumah Sakit Sumber Waras. Namun demikian, sesungguhnya kejadian di Bandung memiliki bobot yang sama.
Dan kesamaannya adalah ini menyentuh Krisis Kebangsaan! Pagi itu, sejumlah ormas tiba-tiba melakukan boikot terhadap kegiatan peresmian rumah ibadah oleh Walikota Bandung, Ridwan Kamil, yang berada di Bandung Timur.
Saya tidak akan mengulas hal-hal yang berkaitan dengan ijin dan hal lain, walaupun dari beberapa media dan sumber terpercaya menyatakan bahwa ijin dan hal lain sudah keluar bahkan sudah diverifikasi oleh pemerintah. Namun saya mencoba merefleksi kejadian tersebut dengan krisis kebangsaan yang sesungguhnya hampir mirip dengan kasus Ahok.
Kita harus setuju bahwa Isu korupsi tidak lebih berat atau lebih ringan daripada isu Pluralisme. Keduanya hal yang sama. Ini menyangkut nilai-nilai kebangsaan yang kita anut. Kebenaran tidak akan berjalan tanpa penegakkan hukum. Dan penegakkan hukum haruslah memiliki semangat ber-keadilan sosial. Sebagai anak bangsa, kiranya tulisan ini memberikan sumbangsih pemikiran.
1. Prinsip “Cermin”
Cermin adalah alat untuk dapat melihat diri sendiri. Dengan cermin kita bisa tahu apa-apa saja yang terlihat sudah baik atau kurang. Cermin memberitahukan kita apa yang seharusnya kita perbuat setelah kita melihat benda di dalamnya. Ya! Cermin adalah alat untuk merefleksi diri. Namun ironisnya, banyak orang yang melihat dirinya sendiri di dalam cermin, dan setelah memperhatikan, kemudian melihat sesuatu yang kurang baik, namun orang tersebut tidak melakukan apa-apa. Orang-orang seperti ini seakan sedang ‘mentoleransi’ hal-hal buruk dalam dirinya dan membiarkan orang lain melihatnya. Ini adalah sebuah kebodohan!
[caption caption="(sumber gambar: ihdimages.com)"]
Kejadian penutupan rumah ibadah dan kasus yang membelit Ahok sebenarnya serupa. Banyak orang yang tidak menggunakan cermin untuk melihat dirinya sendiri terlebih dahulu. Saya setuju. Warga gereja pun sudah semestinya bercermin. Terlepas dari tanda tangan warga yang sudah terkumpul, tetapi tidak ada salahnya untuk bertanya pada diri.
Apakah sekiranya yang kurang baik dalam diri kita. Dari beberapa pengalaman yang saya pernah temui. Ada kasus unjuk rasa yang menolak sebuah gereja, bukan semata-mata karena ‘ketakutan’ warganya berpindah agama (ini pikiran yang sangat konyol), tetapi lebih kepada tradisi/kebiasaan yang dianut oleh warga gereja tersebut.
Sebagai contoh: beberapa gereja menggunakan alat musik dengan suara yang sangat keras saat beribadah, atau gereja-gereja yang cukup sering melakukan kegiatan-kegiatan hingga larut malam. Atau juga beberapa gereja yang dipakai sekaligus sebagai tempat pesta adat. Sebagai orang yang lahir di gereja seperti ini tentu tidak asing buat saya untuk mengetahuinya.
Ya! Kadang kita terlalu sembrono saat membuang tulang-tulang atau sampah-sampah makanan dari daging yang dianggap ‘haram’ bagi beberapa kepercayaan lain. Hal-hal ini tentu menjadi refleksi. Mereka mungkin bukan melarang orang beribadah, tetapi mereka takut tradisi dan kebiasaan tersebut kemudian akan menganggu mereka.