Mohon tunggu...
Joy Manik
Joy Manik Mohon Tunggu... Mentor -

Seorang suami dari satu istri dan dua anak. Seorang mentor yang menyenangi buku dan musik. Seorang manusia yang berdosa sejak dalam kandungan. Dipilih oleh Allah sebelum dunia dijadikan. Ditebus oleh Kristus. Dan hidup dalam pemeliharaan Roh Kudus! - - 'i do what i think. and i think what i believe'

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Gugat Pengemudi Lamborghini: ‘Ketika Opini Publik Menjadi Pengadilan Jalanan!’

1 Desember 2015   11:29 Diperbarui: 3 Desember 2015   16:25 66003
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari itu kami di mobil bersama-sama. Saya menyetir dan ibu saya berada samping. Setibanya di tempat parkir, tiba-tiba seorang pemuda dengan anting di telinga dan hidung serta penuh dengan tattoo, berjalan menghampiri mobil kami. Sontak ibu saya berkata: ‘ayo Joy cepat tutup jendela. Pintu udah dikunci khan?’. Saya melihat ibu dan tersenyum. Kemudian membuka pintu dan turun dari mobil. Ibu saya mencoba menarik tangan saya. Dan saya berkata: ‘tenang mom, ini bang ucok (bukan nama sebenarnya)!, teman saya!’. Bang ucok melihat kedalam mobil dan menyapa ibu saya.

(sumber gambar: liputan6)


Apa yang sebagian besar orang pikirkan ketika melihat orang berwajah seram, ber’tatto’, anting di hidung dan telinga? Ya! Sebagian orang (mungkin sebagian besar orang) akan menjauhi dan ber’fikir’ negatif. Mengapa? Karena tentu ada sebagian peristiwa negatif – katakanlah aksi kejahatan dan lainnya – melibatkan orang-orang dengan model orang seperti demikian.
Inilah yang kemudian disebut dengan persepsi. Seorang psikolog ternama pernah menggali dan melakukan sebuah riset. Dalam penemuannya ia mengatakan bahwa persepsi adalah sebuah sensasi khusus yang memberikan impuls kepada syaraf melalui indera yang menangkap, mengolah dan kemudian menetapkan suatu nilai yang menjadi dasar berfikir. (Donald Ratcliff, Ph.D).

Persepsi ini bagi beberapa orang dapat bersifat mutlak. Artinya mereka tidak lagi mau membuka peluang untuk menerima nilai yang berbeda. Biasanya kita sebut dengan orang yang selalu berfikiran negatif. Atau picik.
Persepsi ini terbangun melalui 4 faktor utama:
1. Pengalaman masa lalu (Boring, 1930)
2. Situasi (Geiwitz, 1976)
3. Nilai yang dipegang (Brunner dan Goodsman, 1947)
4. Harapan (contoh oleh riset Sherif, 1937 tentang efek otokinetik).


Berdasarkan ilmu pengetahuan inilah saya mencoba untuk menggali kisah yang terjadi di jalan manyar kertoarjo, Surabaya. Sebuah mobil supercepat dan mewah menyeruduk kios susu di pinggir jalan. Tidak untuk membela siapapun, namun ada baiknya kita perlu mereview ulang apa yang terjadi.
Media sosial, media massa yang berkembang tanpa sadar meng’konfirmasi’ persepsi alam bawah sadar kita. Awalnya saya pun mengalami hal yang sama. Maka dalam tulisan saya sebelumnya, seakan sedang ‘menyalahkan’ sang pengemudi mobil Lamborghini (sekali lagi, saya tidak berfihak manapun). Namun ‘persepsi’ saya sudah bermain lebih dulu. Dengan cepat saya dapat langsung memberi penilaian. Dan mungkin itulah yang sedang terjadi belakangan ini.


1. Pengalaman masa lalu
Kisah Afriani, sang pengemudi avanza yang mabuk dan menabrak banyak orang (bahkan anak-anak) di Tugu Tani, Jakarta masih membekas di benak kita. Betapa marahnya public saat itu. Apalagi saat menyaksikan Afriani seakan tidak merasa bersalah. Lalu kejadian anak Ahmad Dhani. Si Dul, yang dengan mobil supercepat menabrak mobil dari arah berlawanan. Anak Hatta Rajasa, pejabat pemerintah yang menabrak grand max di depannya. Bagaimana dengan Porsche hitam yang menabrak 5 orang yang sedang bersepeda pagi di car free day sudirman Jakarta. (liputan 6). Dan kemudian mobil mewah pengacara kondang, Hotman Paris yang mencium bokong mobil boks di jalan tol hingga supir mobil boks tersebut meninggal dunia. Dan masih banyak peristiwa lainnya.
Kejadian-kejadian di masa lalu ini sedikit banyak membentuk ‘persepsi’. Kita cenderung mengeneralisir segala kejadian yang melibatkan mobil (entah mobil mewah atau bukan) yang menabrak orang dipinggir jalan secara tidak lazim dan dilakukan oleh 'si orang kaya'. Kalau tidak kebut-kebutan ya mabuk! Kalau tidak mabuk, ya kebut-kebutan. Peristiwa yang melibatkan mobil mewah, selalu ada dikaitkan dengan ‘ugal-ugalan’, ‘sok pamer’ atau ‘orang tua yang memanjakan anak’ . Tidak jauh dari itu semua.
Lalu bagaimana dengan pengemudi Lamborghini? Saya pikir kita perlu berhenti sejenak. Menunggu hasil investigasi sebenarnya. Investigasi yang berdasarkan pada fakta dan analisa bukan sekedar sebuah opini.


2. Situasi
Saat itu semua tetangga keluar rumah. Bagaimana tidak? Suara yang keluar dari motor-motor tua adik saya (BSA, BMW, DKW, dll) itu sangat keras. Tetangga lalu berkata: ‘jangan kebut-kebutan disini!’. Tentu adik saya merasa bingung bersama dengan teman-temannya. Yang kebut-kebutan siapa? Memang suara knalpot motor ini (standarnya) memang keras.
Dalam berbagai media kita mendengar dugaan bahwa pengemudi Lamborghini melakukan balap liar. Ini dikuatkan dengan saksi yang melihat bahwa ada dua mobil yang awalnya berkumpul bersama lalu melakukan kebut-kebutan.

Sama seperti kisah suara motor tua adik saya, maka hal yang sama bisa terjadi bukan? Saya pernah mendengar suara mobil-mobil ‘supercar’ ini. Memang sangat keras. Tapi apakah keras sama dengan kencang? Dan kalau kebut-kebutan, pertanyaannya adalah versi siapa?
Perhatikan! Ini bukan mobil biasanya. Orang yang melihat situasi mobil dengan model mobil balap berjalan beriringan bisa dianggap kebut-kebutan atau balapan. tidak hanya itu. Saya tahu betul kondisi jalan di TKP. Jalan itu terlihat ‘mulus’ tetapi sesungguhnya ‘bergelombang’. Untuk mobil yang biasa saya gunakan melewati jalan itu saja terasa ‘bumpy’. Loncat-loncat. Dan bisa saja untuk mobil secanggih itu, mobil kemudian selip dan membuat mobil sulit dikendalikan, bahkan tidak dapat terkendali. Ini juga masuk akal bukan? Walaupun tetap masuk akal juga kalau memang balapan. Sekali lagi. Saya mencoba objektif!
Lagi-lagi kita perlu sungguh-sungguh menemukan fakta kebenarannya. Jangan sampai kejadian masa lalu kita kemudian menempatkan cara berfikir kita tidak lagi objektif dalam situasi yang ada.

Cara pandang saksi bisa sangat relatif. Siapa saksi ini? Bagaimana kompetensinya? Saya bukan bilang saksi yang melihat tidak valid. Bukan! Bukan itu! Penyataan saksi penting sekali, tapi perlu dikonfirmasi dengan fakta lainnya. Ingat! Indera kita terbatas. Indera tidak bisa mutlak menilai motif. Kalimat ‘kebut-kebutan’, ‘balapan’ janganlah menjadi ‘vonis’ yang prematur! Suara yang keras tidak melulu menunjukkan adanya kebut-kebutan. Walaupun kebut-kebutan pun bukan tidak mungkin terjadi.


3. Nilai yang dipegang
Apa maksudnya ‘nilai yang dipegang’?. Brunner dan Goodsman saat melakukan riset menemukan bahwa saat anak-anak miskin diminta untuk menggambarkan sebuah koin, maka mereka cenderung membuat gambar koin yang ‘dibesarkan’. Anak-anak dalam kelas menengah keatas tidak melakukan hal itu. Ini terjadi karena anak-anak miskin cenderung lebih memberikan nilai yang lebih berharga. Dan penghargaan itu diwujudkan dengan menggambar koin lebih besar. Nilai yang dipegang.


Apa yang kita fikirkan ketika mendengar kata ‘lamborghini’, ‘ferrari’, ‘porsche’ dan mobil mewah lainnya? Coba saya membantunya. Apalagi jika dikaitkan dengan seorang bocah atau anak pemuda tanggung sebagai pengemudinya. Sebagian orang (mungkin sebagian besar) di Indonesia akan mangatakan: ‘mobil mewah’ , ‘anak orang kaya’, ‘dimanja’, ‘ pamer’, ‘sok aksi’, ‘sok-sok-an’, ‘borju’, dan lainnya. Itulah nilai yang kita pegang

.
Sama saja ketika kita bicara iPad, iPhone, computer, tab dengan saudara-saudara kita di pelosok papua. Jangankan papua. Seorang anak di sumbergondang – kurang lebih 5 jam dari Surabaya – pernah berkata: ‘kak, kakak pasti uangnya banyak sekali ya!’ sambil memegang buku saya. Mengapa? Karena anak-anak ini untuk makan pun sulit apalagi beli buku. Ini nilai yang ada. Inilah nilai yang dipegang.


Di dunia sudah sering terjadi bahwa orang kaya menindas orang miskin. Banyak orang kaya seperti itu. Dan itu menjadi nilai ‘universal’ yang dipegang. Kalimat-kalimat: ‘mobil mewah’ , ‘anak orang kaya’, ‘dimanja’, ‘ pamer’, ‘sok aksi’, ‘sok-sok-an’, ‘borju’, dan lainnya bisa jadi benar. Ada banyak orang kaya yang seperti itu. Banyak sekali. Tapi banyak bukan berarti semuanya. Benar khan? Banyak anggota DPR yang melanggar. Betul! Tapi pasti ada yang tidak seperti itu. Banyak penjahat bertato, tapi bukan semua orang bertato itu penjahat. Banyak orang kaya yang ugal-ugalan. Betul! Tapi yang ugal-ugalan bukan hanya orang kaya!


4. Harapan
Harapan mempengaruhi persepsi. Kita berharap sesuatu terjadi melalui peristiwa yang ada.

Hari itu saya merenung. Sendirian. Tidak tahu lagi apa yang harus diperbuat. Kesalahan saya tergolong fatal. Menjadi pemakai obat bius sama dengan sampah masyarakat. Pemakai narkoba identik dengan pencuri ulung, penipu handal dan penjahat kambuhan. Ya! Semua karena pilihan yang dibuat. Kemanapun saya pergi, orang-orang mencibir. Mereka berharap saya hilang ditelan bumi. Mereka berharap saya tidak pernah ada. Padahal saya sendiri sebenarnya tidak pernah mau di posisi itu. Saya tidak pernah punya cita-cita bahkan sedikit pun terbersit untuk menjadi penjahat. Tapi adakah orang yang mau mengerti? Tidak!


Itulah harapan orang kala melihat sebuah tindak kejahatan. Atau kejadian yang dianggap jahat. Ya! Nabrak orang yang sedang diam di pinggir jalan itu salah. Apapun alasannya. Sudah pasti salah! Saya setuju! Tapi saya mencoba untuk berdiri di tempat saya dulu berdiri. Apakah dia mau nabrak orang itu? Apakah dia bercita-cita melakukannya? Atau berbangga diri karena berhasil menabrak orang ? Amsal Sulaiman berkata, 'di dalam tertawa pun hati dapat merana dan kesukaan dapat berakhir dengan kedukaan!' Ya! kadang kiita melihat hanya dengan mata kita, tapi tanpa mata hati kita!


Setelah melihat video yang beredar, saya pastikan jawabannya TIDAK! Pengemudi itu sempat menolong korban ke mobil lain untuk dibawa ke rumah sakit. Minimal dia berusaha. Artinya, dia sendiri tidak menginginkan hal itu terjadi. Dan saya yakin semua orang tahu bahwa pengemudi tidak mau kecelakaan itu terjadi.


Namun inilah opini publik. Belum apa-apa kita sudah berharap sang pengemudi ini dihukum seberat-beratnya. Bahkan beberapa orang sudah menghembuskan suara gaduh dan sumbang. ‘Ah! Pasti kasusnya berhenti!’ ‘Ah! Kalo punya uang sih semuanya pasti beres!’ ‘Orang miskin selalu jadi korban orang kaya..!’ dan sebagainya. Ya! Inilah pengadilan jalanan. Opini publik menggiring sebuah harapan. Harapan yang mempengaruhi persepsi dan persepsi yang menggerakan hakim jalanan untuk memukul palu vonis bagi sang penjahat.

Tulisan ini bukan untuk membela siapapun. Tidak ada kepentingan seorang pun yang ingin di kedepankan. Namun demikian, keadilan perlu ditegakan. Korban yang tidak tahu apa-apa pagi itu harus menjadi prioritas utama. Jika terbukti, sang pengemudi perlu menerima konsekwensi atas apa yang telah ia perbuat. Hukum tetap menjadi panglima. Dan bagi kita. Marilah kita menunggu! Berhentilah menjadi hakim jalanan!

'Segala jalan orang adalah bersih menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati! - Ams 16:2

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun