.
Sama saja ketika kita bicara iPad, iPhone, computer, tab dengan saudara-saudara kita di pelosok papua. Jangankan papua. Seorang anak di sumbergondang – kurang lebih 5 jam dari Surabaya – pernah berkata: ‘kak, kakak pasti uangnya banyak sekali ya!’ sambil memegang buku saya. Mengapa? Karena anak-anak ini untuk makan pun sulit apalagi beli buku. Ini nilai yang ada. Inilah nilai yang dipegang.
Di dunia sudah sering terjadi bahwa orang kaya menindas orang miskin. Banyak orang kaya seperti itu. Dan itu menjadi nilai ‘universal’ yang dipegang. Kalimat-kalimat: ‘mobil mewah’ , ‘anak orang kaya’, ‘dimanja’, ‘ pamer’, ‘sok aksi’, ‘sok-sok-an’, ‘borju’, dan lainnya bisa jadi benar. Ada banyak orang kaya yang seperti itu. Banyak sekali. Tapi banyak bukan berarti semuanya. Benar khan? Banyak anggota DPR yang melanggar. Betul! Tapi pasti ada yang tidak seperti itu. Banyak penjahat bertato, tapi bukan semua orang bertato itu penjahat. Banyak orang kaya yang ugal-ugalan. Betul! Tapi yang ugal-ugalan bukan hanya orang kaya!
4. Harapan
Harapan mempengaruhi persepsi. Kita berharap sesuatu terjadi melalui peristiwa yang ada.
Hari itu saya merenung. Sendirian. Tidak tahu lagi apa yang harus diperbuat. Kesalahan saya tergolong fatal. Menjadi pemakai obat bius sama dengan sampah masyarakat. Pemakai narkoba identik dengan pencuri ulung, penipu handal dan penjahat kambuhan. Ya! Semua karena pilihan yang dibuat. Kemanapun saya pergi, orang-orang mencibir. Mereka berharap saya hilang ditelan bumi. Mereka berharap saya tidak pernah ada. Padahal saya sendiri sebenarnya tidak pernah mau di posisi itu. Saya tidak pernah punya cita-cita bahkan sedikit pun terbersit untuk menjadi penjahat. Tapi adakah orang yang mau mengerti? Tidak!
Itulah harapan orang kala melihat sebuah tindak kejahatan. Atau kejadian yang dianggap jahat. Ya! Nabrak orang yang sedang diam di pinggir jalan itu salah. Apapun alasannya. Sudah pasti salah! Saya setuju! Tapi saya mencoba untuk berdiri di tempat saya dulu berdiri. Apakah dia mau nabrak orang itu? Apakah dia bercita-cita melakukannya? Atau berbangga diri karena berhasil menabrak orang ? Amsal Sulaiman berkata, 'di dalam tertawa pun hati dapat merana dan kesukaan dapat berakhir dengan kedukaan!' Ya! kadang kiita melihat hanya dengan mata kita, tapi tanpa mata hati kita!
Setelah melihat video yang beredar, saya pastikan jawabannya TIDAK! Pengemudi itu sempat menolong korban ke mobil lain untuk dibawa ke rumah sakit. Minimal dia berusaha. Artinya, dia sendiri tidak menginginkan hal itu terjadi. Dan saya yakin semua orang tahu bahwa pengemudi tidak mau kecelakaan itu terjadi.
Namun inilah opini publik. Belum apa-apa kita sudah berharap sang pengemudi ini dihukum seberat-beratnya. Bahkan beberapa orang sudah menghembuskan suara gaduh dan sumbang. ‘Ah! Pasti kasusnya berhenti!’ ‘Ah! Kalo punya uang sih semuanya pasti beres!’ ‘Orang miskin selalu jadi korban orang kaya..!’ dan sebagainya. Ya! Inilah pengadilan jalanan. Opini publik menggiring sebuah harapan. Harapan yang mempengaruhi persepsi dan persepsi yang menggerakan hakim jalanan untuk memukul palu vonis bagi sang penjahat.
Tulisan ini bukan untuk membela siapapun. Tidak ada kepentingan seorang pun yang ingin di kedepankan. Namun demikian, keadilan perlu ditegakan. Korban yang tidak tahu apa-apa pagi itu harus menjadi prioritas utama. Jika terbukti, sang pengemudi perlu menerima konsekwensi atas apa yang telah ia perbuat. Hukum tetap menjadi panglima. Dan bagi kita. Marilah kita menunggu! Berhentilah menjadi hakim jalanan!
'Segala jalan orang adalah bersih menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati! - Ams 16:2
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H