28 Oktober 1928 menjadi gerbang pembuka jalan bagi kemerdekaan Indonesia. Dan Sumpah Pemuda ibarat kunci yang membuka belenggu penderitaan bangsa kita. Sumpah pemuda menjadi salah satu symbol keniscayaan bahwa bangsa kita mampu dan pasti merdeka. Ini Indonesia. Yup! Indonesia. Tanah air beta. Tanah pusaka tempatku dilahirkan. Merah darahku, putih tulangku. Disana kuberdiri menatap langit. Melihatmu selalu terbang bak rajawali meraih harap yang pasti ‘kan terjadi. Bagi sejahtera bangsaku, kunaikkan doa.
Maka kutorehkan tinta menyambung kata agar dahaga ini puas di dalam makna. Nasionalisme bangsa memang sedang diperkosa saat ini. Kesatuan, toleransi beragama, isu pembangunan bangsa menjadi perbincangan yang merangsang hasrat pemuda kita. Benarkah demikian? Ayo buka mata kita. Tutuplah dulu kisah cinta Rossi dan Marquez. Atau lagu Adele terbaru yang menjadi trending topic dunia. Mari kita bicara mengenai Indonesia! Bicara Sumpah Pemuda!
1. Inspiratif
Ini Indonesia Bung! Kalimat ini seakan kehilangan wibawa ketika kata ‘ini Indonesia Bung!’ hanya mewakili kemandulan hukum, ketidakadilan negeri, atau kebejatan para oknum anggota wakil rakyat. ‘Ini Indonesia Bung!’ harusnya bersuara lebih lantang ketika kita bicara Sumpah Pemuda.
Sumpah Pemuda memberikan nilai inspiratif yang sangat tinggi. Bagaimana tidak. Peristiwa ini tidak hanya sekedar melibatkan para pemuda yang berkumpul lalu berikrar. Tapi para pemuda yang berasal dari berbagai latar belakang suku, sosial, agama yang berbeda-beda ini sedang menentukan arah bahtera bangsa Indonesia. Kali ini kita tidak akan mengulas sejarah sumpah pemuda. Tapi bagi saya, ikrar sumpah pemuda ini berseru bahkan berteriak sangat keras bagi kita. Corong panggilan ini menggetarkan jiwa, sehingga siapapun yang menghayatinya tentu akan bangun dari tidurnya bahkan bangkit dari kuburnya.
‘Mau dibawa kemana hubungan kita..’ adalah secuplik syair dari lagu band armada. Namun syair ini cukup mewakili sebuah pertanyaan besar. Mau dibawa kemana bangsa kita? Semua tergantung pada para pemudanya. Namun banyak dari kita tidak menyadari hal ini. Pemuda begitu hanyut dalam praktek hedonism dunia. Gambar diri mereka tak sejelas gambar yang mereka upload di instagram. Status mereka hanya bercerita tentang diri mereka sendiri. Bahkan mereka hanya bercuit tentang kritik tanpa sumbangsih diri. Beberapa dari pemuda kemudian menyanyikan lagu ‘terserah’ bung glenn fredly, atau justru hidup mereka bernada lagu ‘Borju’-nya Neo!
Suatu ketika kami mengunjungi seorang murid yang ikut dalam kursus di rumah singgah yang kami dirikan. Ibunya sudah meninggal karena sakit dalam usia muda, sedangkan ayahnya seorang penarik becak yang menderita sakit ayan. Dalam rumah kontrakan berukuran kira-kira 4x6 meter, kami mencoba untuk memberikan semangat pada anak ini. Usianya baru menginjak 12 tahun. Dia dibantu oleh gereja untuk dapat bersekolah. Lalu saya bertanya: ‘Dek, kalau nanti besar mau jadi apa?’. Gadis ini terdiam. Seorang rekan lalu mengulang dengan kalimat lain. ‘Maksud kakak, cita-citanya apa?’. Namun gadis ini tetap diam bahkan ia menurunkan wajahnya secara perlahan. Kami pun menunggu. Tiba-tiba dengan lirih sang gadis menjawab. ‘Saya gak berani bilang kak..’. Saya takut punya cita-cita..bisa hidup aja sudah syukur!’
Kami terhenyak. Dalam perjalanan pulang saya berkata: ‘ayo..semangat!, ayo lebih giat kerja!’. Anak-anak inilah alasan mengapa kami selama 5 tahun terakhir ini mendirikan rumah singgah. Sebuah rumah singgah yang berisi pelayanan kursus mata pelajaran dan bahasa inggris bagi anak-anak yang tidak mampu secara ekonomi. Dan jangan anda berfikir ini sebuah pelayanan yang besar. Yang berisi donatur kaya dan guru-guru yang pintar. Tidak! ini juga bukan sebuah pelayanan yang pernah diundang ke acara mata Najwa atau Kick Andy. Kami pun tidak pernah mewarnai majalah atau surat kabar. Namun cukup bagi kami ketika kami dapat mewarnai hidup anak-anak Indonesia! Ya! Anak Indonesia.
Merekalah yang akan meneruskan perjalanan bangsa ini. Bukankah ada tertulis bahwa Tuhan akan mengangkat pemuda-pemuda menjadi pemimpin mereka, dan anak-anak akan memerintah atas mereka (yes 3:4). Bagi kami inspiratif bukanlah mereka yang mampu berbicara di depan banyak orang dan menggoncang dunia. Atau mereka yang membaktikan diri masuk ke pedalaman-pedalaman untuk mengajar. Sudah pasti mereka inspiratif. Tapi Inspiratif juga dimulai dari ruang lingkup kecil hidup kita.
Hai para pemuda Indonesia. Kalian bisa memberikan inspirasi ketika anda berani berhenti dibelakang garis saat persimpangan lampu merah. Pemuda memberikan inspirasi saat anda berani membuang sampah sekecil apapun di tempatnya. Pemuda memberikan inspirasi saat anda berani tidak menyontek dalam kelas. Inspirasi. Bangsa ini butuh pemuda yang menginspirasi karena sumpah pemuda sudah lebih dahulu menginspirasi.
‘Masih beranikah anda ber-sumpah pemuda!’
2. Warisan
Saya teringat saat kecil dulu. Almarhum ayah saya pernah berucap. ‘Joy. Papah ini tidak bisa mewariskan apapun selain ilmu dan pendidikan. Harta akan habis dengan seiring waktu. Tapi pendidikan akan terus ada..’. Perkataan ayah saya ini memberikan saya dorongan untuk melanjutkan study saat drop out dari sebuah kampus. Usia 29 saya baru berkuliah lagi untuk jenjang sarjana dan puji Tuhan bisa melanjutkan di gelar master.
Warisan! Kita bicara bukan sekedar harta dunia. Mobil, rumah, uang, dan lain sebagainya. Warisan juga berbicara mengenai petuah, saran, nasihat, dan dorongan. Sumpah pemuda adalah warisan bagi kita. Walau para penggagas dan penulis ikrar sumpah pemuda sudah tidak ada. Namun semangatnya, petuahnya, nasihatnya masih bergelora hingga saat ini. 87 tahun usia sumpah pemuda. Usia yang tidak lagi muda tentunya. Tetapi seakan mereka masih hadir dan mengetuk hati kita untuk ber-sumpah pemuda.
Beberapa waktu ini ‘wall’ Facebook saya diisi oleh kisah dan foto beberapa anak pemuda yang membaktikan dirinya menjadi sukarelawan untuk membuat sumur bor. Luar biasa! Mereka adalah pemuda Indonesia yang mewariskan semangat dan keperdulian bagi sesama. Pemuda lainnya berhasil membawa bendera Sang Merah putih berkibar di ajang pertandingan olahraga. Mereka mewariskan prestasi bagi bangsa ini. Beberapa pemuda lain memenangkan kkompetisi olimpiade fisika. Mereka mewariskan kegigihan dan ketekunan.
Dan masih banyak pemuda lain yang ‘berhasil’ memberikan warisan bagi generasi pemuda berikutnya. Namun banyak pula pemuda yang justru tidak mau ambil pusing. Beberapa hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Pemuda yang hobby-nya adalah galau karena pacarnya. Atau sibuk dengan ‘sephia’-nya. Pemuda lain hanya menjadi anak café atau anak motor. Seperti salah satu syair lagu dari jflow yang cukup geli mendengarnya.
‘ikut lari ini lari itu…
larinya dikit postingnya seribu…
finish gak penting asal bisa hepi…
yang lebih penting kita bisa selfie’
Saya bukan mengkritik pemuda yang bingung dengan pacar dan 'selingkuhannya', atau yang punya hobby nongkrong di café. Atau sekedar punya kesenangan motor atau mungkin jalan-jalan di mall. Bukan itu. Tapi kita juga perlu membuka mata kita untuk melihat hidup masa muda kita ini hanya sekali. Dan kita perlu bertanya, apa yang bisa kita wariskan kepada adik-adik kita melalui bangsa ini. Berapa banyak pemuda seakan tak perduli kala mereka melemparkan telur dan tepung kepada teman yang berulang tahun.
Padahal banyak anak yang tidak punya makanan untuk disantap. Pemuda lain juga membiarkan computer, TV, AC kamar mereka menyala ketika bangsa ini sedang krisis energy. Pemuda lainnya merusak pohon dan tanaman kala bangsa kita sedang berjuang untuk kelangsungan hidup generasi ini. Bahkan para pemuda tidak merasa risih merokok kala ditengah-tengah mereka ada anak-anak kecil penerus negeri.
Hai para pemuda bangsa. Apakah yang bisa kita wariskan bagi bangsa ini? Apakah mereka hanya disuguhkan dengan kehidupan gaul kita. Hidup ‘tenar’ atau hidup ‘eksis’ kita? Ingat bahwa suatu hari kelak kita akan sampai pada pengadilan akhirat. Dan semuanya kita harus pertanggung jawabkan. Bangsa ini mencari pewaris negeri yang dapat diandalkan.
“Saat ini masih beranikah anda ber-sumpah pemuda?”
3. Kasih
Sumpah pemuda 1928 bagi saya juga merupakan waktu ‘jatuh cinta’ kita pada bangsa ini. ‘cinta negeri, cinta Indonesia’. Sumpah pemuda bukan sekedar ikrar persatuan. Tapi mereka yang menggagasnya tahu betul apa arti kata ‘cinta’ pada bangsa. Sumpah pemuda 1928 adalah romansa percintaan bak romeo dan juliet. Mereka siap mati untuk tegaknya bangsa ini. Sebuah gerbang perjuangan yang ditorehkan melalui merahnya darah para pejuang dan putihnya kasih ketulusan mereka. Sumpah pemuda seakan-akan menantang kita para pemuda untuk menjawab pertanyaan ibu pertiwi: ‘Apakah engkau mencintaiku?’.
Bangsa ini tentu bukan negara yang sempurna. Banyak kelemahannya. Ketika saya berkesempatan berjalan-jalan ke negeri tetangga, saya juga banyak bertanya dalam hati. ‘Kapan ya Indonesia kayak gini?’ Mungkin pertanyaan ini juga muncul di hati dan pikiran kita. Lihat saja faktanya. Bangsa kita sendiri tega membakar lahan demi keuntungan mereka sendiri. Tanpa sadar mereka sedang menyiksa bangsanya sendiri. Bukan hanya bencana asap yang kita buat sendiri. Tapi juga bencana korupsi yang tak kunjung usai. Orang Indonesia mengkhianati anak bangsanya sendiri. Kasus narkoba yang justru melibatkan warga Indonesia sendiri seakan ingin melihat anak bangsa ini hancur. Dan banyak fakta yang sejujurnya kita enggan untuk membukanya.
Namun hari saya tetap berkata: “ini tetap tumpah darahku”. Aku tetap mengasihi bangsa ini walaupun banyak orang yang tidak mengasihi bangsa ini. Aku tetap mengasihi bangsa ini walau ia dicemooh dan diejek bangsa lain. Aku tetap mencintai bangsa ini walau ia seakan tidak berlaku ramah padaku. Aku tetap mencintainya. Itulah nada harmoni yang muncul saat sumpah pemuda dikumandangkan. ‘Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar’
Bukankah kasih tidak hanya berbicara tentang balas budi dan pamrih? Bukankah kasih tidak ditentukan dengan kata syarat ‘jika’? bukankah kasih justru berbunyi ‘walaupun’? Seperti ada tertulis: ‘Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu?..bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian?’
Maka hari ini aku akan berkata: ‘walaupun ada korupsi, bencana asap, dan kesewenang-wenangan, aku tetap mencintaimu. Indonesia’! kobarkan rasa nasionalisme-mu. ‘Ini Indonesia, bung!’
Pandanglah sang merah putih yang merangkul hangat jiwamu, dan kepak sang Garuda yang melindungi langkah sanubarimu. Indonesia tanah tumpahku. Kusingsingkan lengan bajuku, mengangkat tinggi hormatmu. Berdiriku diatas sumpahmu agar kau tak memalingkan wajah kala raga bertemu fana. Dengan lantang aku berteriak “Merdeka!” “Menantang batin ‘tuk bergegas bangkit!”. Bangkitlah para pemuda pemudi Indonesia. Jangan hanya berpangku tangan dan mengkritik para pejabat negeri. Segera berbuat walau tak terlihat mata. Karena Tuhan melihat yang tak terlihat manusia.
Hari ini jika engkau mendengar suara ibu pertiwi, maka ia sedang menantang anda dan berkata: ‘Masih beranikah anda ber-sumpah pemuda?’
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H