2. Warisan
Saya teringat saat kecil dulu. Almarhum ayah saya pernah berucap. ‘Joy. Papah ini tidak bisa mewariskan apapun selain ilmu dan pendidikan. Harta akan habis dengan seiring waktu. Tapi pendidikan akan terus ada..’. Perkataan ayah saya ini memberikan saya dorongan untuk melanjutkan study saat drop out dari sebuah kampus. Usia 29 saya baru berkuliah lagi untuk jenjang sarjana dan puji Tuhan bisa melanjutkan di gelar master.
Warisan! Kita bicara bukan sekedar harta dunia. Mobil, rumah, uang, dan lain sebagainya. Warisan juga berbicara mengenai petuah, saran, nasihat, dan dorongan. Sumpah pemuda adalah warisan bagi kita. Walau para penggagas dan penulis ikrar sumpah pemuda sudah tidak ada. Namun semangatnya, petuahnya, nasihatnya masih bergelora hingga saat ini. 87 tahun usia sumpah pemuda. Usia yang tidak lagi muda tentunya. Tetapi seakan mereka masih hadir dan mengetuk hati kita untuk ber-sumpah pemuda.
Beberapa waktu ini ‘wall’ Facebook saya diisi oleh kisah dan foto beberapa anak pemuda yang membaktikan dirinya menjadi sukarelawan untuk membuat sumur bor. Luar biasa! Mereka adalah pemuda Indonesia yang mewariskan semangat dan keperdulian bagi sesama. Pemuda lainnya berhasil membawa bendera Sang Merah putih berkibar di ajang pertandingan olahraga. Mereka mewariskan prestasi bagi bangsa ini. Beberapa pemuda lain memenangkan kkompetisi olimpiade fisika. Mereka mewariskan kegigihan dan ketekunan.
Dan masih banyak pemuda lain yang ‘berhasil’ memberikan warisan bagi generasi pemuda berikutnya. Namun banyak pula pemuda yang justru tidak mau ambil pusing. Beberapa hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Pemuda yang hobby-nya adalah galau karena pacarnya. Atau sibuk dengan ‘sephia’-nya. Pemuda lain hanya menjadi anak café atau anak motor. Seperti salah satu syair lagu dari jflow yang cukup geli mendengarnya.
‘ikut lari ini lari itu…
larinya dikit postingnya seribu…
finish gak penting asal bisa hepi…
yang lebih penting kita bisa selfie’
Saya bukan mengkritik pemuda yang bingung dengan pacar dan 'selingkuhannya', atau yang punya hobby nongkrong di café. Atau sekedar punya kesenangan motor atau mungkin jalan-jalan di mall. Bukan itu. Tapi kita juga perlu membuka mata kita untuk melihat hidup masa muda kita ini hanya sekali. Dan kita perlu bertanya, apa yang bisa kita wariskan kepada adik-adik kita melalui bangsa ini. Berapa banyak pemuda seakan tak perduli kala mereka melemparkan telur dan tepung kepada teman yang berulang tahun.
Padahal banyak anak yang tidak punya makanan untuk disantap. Pemuda lain juga membiarkan computer, TV, AC kamar mereka menyala ketika bangsa ini sedang krisis energy. Pemuda lainnya merusak pohon dan tanaman kala bangsa kita sedang berjuang untuk kelangsungan hidup generasi ini. Bahkan para pemuda tidak merasa risih merokok kala ditengah-tengah mereka ada anak-anak kecil penerus negeri.
Hai para pemuda bangsa. Apakah yang bisa kita wariskan bagi bangsa ini? Apakah mereka hanya disuguhkan dengan kehidupan gaul kita. Hidup ‘tenar’ atau hidup ‘eksis’ kita? Ingat bahwa suatu hari kelak kita akan sampai pada pengadilan akhirat. Dan semuanya kita harus pertanggung jawabkan. Bangsa ini mencari pewaris negeri yang dapat diandalkan.
“Saat ini masih beranikah anda ber-sumpah pemuda?”
3. Kasih
Sumpah pemuda 1928 bagi saya juga merupakan waktu ‘jatuh cinta’ kita pada bangsa ini. ‘cinta negeri, cinta Indonesia’. Sumpah pemuda bukan sekedar ikrar persatuan. Tapi mereka yang menggagasnya tahu betul apa arti kata ‘cinta’ pada bangsa. Sumpah pemuda 1928 adalah romansa percintaan bak romeo dan juliet. Mereka siap mati untuk tegaknya bangsa ini. Sebuah gerbang perjuangan yang ditorehkan melalui merahnya darah para pejuang dan putihnya kasih ketulusan mereka. Sumpah pemuda seakan-akan menantang kita para pemuda untuk menjawab pertanyaan ibu pertiwi: ‘Apakah engkau mencintaiku?’.
Bangsa ini tentu bukan negara yang sempurna. Banyak kelemahannya. Ketika saya berkesempatan berjalan-jalan ke negeri tetangga, saya juga banyak bertanya dalam hati. ‘Kapan ya Indonesia kayak gini?’ Mungkin pertanyaan ini juga muncul di hati dan pikiran kita. Lihat saja faktanya. Bangsa kita sendiri tega membakar lahan demi keuntungan mereka sendiri. Tanpa sadar mereka sedang menyiksa bangsanya sendiri. Bukan hanya bencana asap yang kita buat sendiri. Tapi juga bencana korupsi yang tak kunjung usai. Orang Indonesia mengkhianati anak bangsanya sendiri. Kasus narkoba yang justru melibatkan warga Indonesia sendiri seakan ingin melihat anak bangsa ini hancur. Dan banyak fakta yang sejujurnya kita enggan untuk membukanya.
Namun hari saya tetap berkata: “ini tetap tumpah darahku”. Aku tetap mengasihi bangsa ini walaupun banyak orang yang tidak mengasihi bangsa ini. Aku tetap mengasihi bangsa ini walau ia dicemooh dan diejek bangsa lain. Aku tetap mencintai bangsa ini walau ia seakan tidak berlaku ramah padaku. Aku tetap mencintainya. Itulah nada harmoni yang muncul saat sumpah pemuda dikumandangkan. ‘Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar’