Mohon tunggu...
Jowant Landor
Jowant Landor Mohon Tunggu... -

Nggak Bisa Bercanda di Dunia Nyata, Nggak Bisa Serius di Dunia Maya. #CreatiFreeDay #BlackandWhite #BWPhotography

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Review: The Look of Silence, Menagih Bunyi dalam Senyap

12 Februari 2015   04:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:22 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1965: Dengan memanfaatkan operasi militer G30S sebagai dalih, Jenderal Soeharto menggulingkan Presiden Sukarno. Pendukung Sukarno, anggota partai komunis serikat buruh dan tani, serta cendekiawan dituduh terlibat G30S. Dalam satu tahun, lebih dari satu juta ‘komunis’ dibantai – dan para pembantai itu masih berkuasa sampai hari ini.

Tak banyak film yang mengangkat tema Komunis bahkan untuk genre fiksi sekalipun. Adalah Joshua Oppenheimer satu-satunya sutradara asal Amerika Serikat mengangkat tema paling sensitif di era orde baru pemerintahan Soeharto. The Look of Silence ‘Senyap adalah sekuel dari film sebelumnya The Act of Killing ‘Jagal’. Film dokumenter yang diputar perdana di Venice International Film Festival pada bulan Agustus 2014 itu menguak catatan hitam sebuah negara bernama Indonesia dengan cara yang berbeda dari sebelumnya. Film yang pemutarannya dilakukan secara independen di Indonesia ini mengisahkan Adi yang berprofesi sebagai tukang kacamata keliling. Adi memiliki seorang kakak bernama Ramli yang menjadi korban pada pembantaian PKI tahun 1965-1966 di sebuah desa, Sumatera Utara. Adi harus menerima kenyataan dirinya dicap sebagai keluarga komunis setelah Ramli dieksekusi dengan tuduhan simpatisan Partai Komunis Indonesia. Dibantu oleh Oppenheimer, Adi mengetuk satu persatu pintu rumah para pembunuh kakaknya itu guna menemukan jawaban atas kegelisahaan dirinya selama ini. Keputusan Adi untuk bertemu langsung dengan para ‘pahlawan’ yang telah membunuh kakaknya ini merupakan pemecah kesenyapan diantara jutaan keluarga korban. Selama ini para korban kekejaman peristiwa 1965 tak berani membuka suara dan lebih memilih munutup rapat-rapat trauma masa lalunya. Adi dalam salah satu adegan di Senyap disuguhkan tayangan rekaman wawancara Oppenheimer dengan para pembunuh yang menganggap dirinya sebagai pahlawan. Diam dan termenung, saat Adi menyaksikan bagaimana para penjagal itu dengan bangga dan penuh tawa bercerita kepada Oppenheimer cara mereka menyiksa dan membunuh korban. “Semua duduk di truk mereka mengerang kesakitan, dengan kondisi wajah tertutup dan tangan diikat”, tutur pria yang lebih pantas dipanggil kakek itu memperagakan bagaimana caranya membunuh korban. Adi serius menyaksikan di depan televisi tayangan wawancara itu meski perlahan raut mukanya memendam rasa sedih. Matanya yang mulai berkaca-kaca kecewa dengan jawaban para pembunuh kakaknya itu. “Mungkin semua itu terjadi karena penyesalan yang begitu dalam atas pembunuhan yang dia lakukan pada waktu itu. Karena rasa penyesalan dan kesalahan yang begitu besar, saat mereka memperagakan pembunuhan tersebut seperti mati rasa,” ujar Adi. Film berdurasi 98 menit ini juga menyuguhkan pergolakan batin antara Adi, kedua orang tuanya dan para pembunuh. Hidup berdampingan dengan orang yang paling dibenci tak mungkin dilupakan begitu saja oleh Adi dan keluarga. Apalagi para jagal itu masih berkuasa dan tidak sedikitpun memiliki rasa penyesalan atas perbuatannya. Ibunda Adi dan Ramli (Alm) “Rasanya ya nggak enak, aku benci setengah mati. Sekarang (mereka) bisa hidup enak. Nanti di akhirat korban akan menuntut. Balasannya akan lebih buruk dari kelakuan (mereka) saat ini”, jawab ibunda Adi sambil memendam kemarahan. Kesenyapan itupun kini menagih bunyi. Diamnya korban-korban peristiwa 1965 kini dersulut lagi oleh kisah seorang adik dari kakak yang dituduh terlibat partai terlarang hingga saat ini, Adi.

SELAMAT DARI EKSEKUSI

Pria paruh baya dengan peci hitam di kepala sembari mengenakan jaket berjalan menuju tempat pembantaian Ramli. Ditemani Adi, pria yang berhasil lolos saat proses dieksekusi di Sungai Ular itu menunjukan lokasi dimana Ramli disiksa. “Ramli menjerit minta tolong, semua orang akan dimatikan” tutur pria paruh baya itu kepada Adi. Lolos dan melarikan diri ke perkebunan sawit. Pria paruh baya itu menjadi saksi hidup yang bercerita bagaimana kejinya perlakuan para pembunuh terhadap dirinya dan Ramli. Ia pun sebenarnya telah menutup rapat-rapat peristiwa tersebut. Ikhlas dan tidak mau mencari masalah lagi bahkan untuk sekedar membicarakannya dengan Adi.

SISA-SISA AROGANSI SI PASUKAN PEMBUNUH TINGKAT DESA

Ucapan salam mengawali perjumpaan Adi dengan kakek bernama Inong. Dengan kupluk warna hijau kecoklatan, Inong duduk di kursi plastik merah jambu sambil melihat Adi tengah mempersiapkan alat tes kacamata yang akan ia kenakan. Tak berapa lama kemudian Adi memulai pekerjaannya. Ia menanyakan kepada Inong bagaimana penglihatannya setelah beberapa lensa yang telah dicoba. Percakapan pun mulai dengan pertanyaan lantang dari Adi, “Orang kampung sini takut sama bapak?”. “Di sini banyak orang BTI (Barisan Tani Indonesia) dan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), tapi mereka sadar percuma melawan saya. Sebab saya ikut organisasi massa. Walaupun 75% orang sini adalah BTI mereka tak berani”, jawab Inong. Inong kakek yang kini pandangan matanya tak setajam dahulu adalah salah satu pasukan pembunuh tingkat desa. Tak sedikit orang yang dianggap sebagai kaki tangan komunis mati ditangannya. Inong percaya jika dengan meminum darah korban yang ia bunuh membuatnya tidak bisa gila. Menurutnya banyak para pembunuh sepertinya yang kini menjadi gila lantaran tak sempat mencicipi darah dari para korban. Beberapa kali Adi mencoba mengulik lebih dalam masa lalu kakek yang memelihara seekor monyet di rumahnya itu. Inong merasa tersudut dengan pertanyaan Adi perlahan mulai naik darah dan memotong pembicaraan.

Adi (Kiri), Inong (Kanan) “Ini saudara bertanya terlalu dalam, saya nggak suka itu. Kalau sekiranya mau dibatalkan ya batalkan saja ini”, kata Inong dengan nada tinggi. Inong sangat marah dan meminta Oppenheimer yang merekamnya berhenti menyudahi pertemuan itu. Wajahnya seolah menyiratkan rasa ketakutan dan tak ingin kembali mengingat apa yang telah ia lakukan di masa lalu. Entah apa yang ada di dalam hati Inong. Apakah kemarahannya itu bukti bahwa dirinya merasa berdosa pada masa lalunya?.

KESIMPULAN

The Look of Silence berhasil menghadirkan secuil fakta yang selama ini Senyap berpuluh-puluh tahun. Selama ini kita khususnya generasi muda hanya dicekoki oleh film G30S PKI yang syarat akan propaganda penguasa saat itu. Bunyi yang terakhir kali terdengar pada tahun 1965 kini kembali terdengar melalui karya Oppenheimer. Tak ada satupun pembunuh yang menyesal. Mereka para pembunuh masih percaya bahwa apa yang mereka lalukan adalah aksi bela negara. Bernarkah politik menjadi jalan kebenaran untuk menghilangkan nyawa seseorang?. Tanpa proses peradilan, tanpa pembelaan, dan tanpa perlindungan dari negara. Memaafkan mungkin bukanlah kata-kata yang tepat untuk Adi jika tak ada penyesalan sedikitpun dari para pelaku. Siapa yang harus dimaafkan? Tak ada yang meminta maaf dan tak ada yang harus dimaafkan. Bunyi senyap yang kini terdengar kembali telah menagih. Apakah bunyi itu mau didengar oleh penguasa? atau hanya berhenti disini dan menjadi Senyap kembali. (jow) http://jadiberita.com/55649/review-the-look-of-silence-menagih-bunyi-dalam-senyap.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun