Mohon tunggu...
Marie JovanneyLourdes
Marie JovanneyLourdes Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - pelajar

usia 18 tahun

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kritik Sastra Pragmatik pada Novel "Anak Perawan di Sarang Penyamun" Karya Sutan Takdir Alisjahbana

28 Februari 2022   20:33 Diperbarui: 28 Februari 2022   20:36 1683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengenalan Karya

Sedari dahulu, pandangan khalayak terhadap penyamun tidak pernah jauh dari kata bengis. Menyerang dan mencuri harta siapa pun yang menjadi targetnya adalah ciri khas mereka. Perbuatan menyamun bukanlah hal yang benar, namun setiap manusia pasti memiliki latar belakang dari kehidupan yang dijalaninya. Hal ini lah yang diangkat pada buku "Anak Perawan di Sarang Penyamun" karya Sutan Takdir Alisjahbana. Novel romansa yang diterbitkan tahun 1940 ini merupakan salah satu novel legendaris yang saat ini telah mencapai cetakan ke-21. Menurut Ensiklopedia Sastra Indonesia (n.d.), Sutan Takdir merupakan seorang sastrawan Indonesia yang menuang berbagai seni pikirannya ke dalam karya tulis. Beliau lahir di Tapanuli, Sumatra Utara pada tanggal 11 Februari 1908, dan menutup hayatnya pada 31 Juli 1993. Beliau sendirikerap dikenal dengan karya-karyanya yang kontroversial karena tulisannya hampir selalu menyinggung masalah sosial dan agama di masyarakat.

Karyanya yang berjudul "Anak Perawan di Sarang Penyamun" ini juga sudah sempat dijadikan layar lebar karena pengemasan ceritanya yang apik. Buku ini menceritakan tentang Medasing, yang besar di tengah hutan, menemukan sisi lain dirinya setelah berjumpa dengan seorang gadis perawan bernama Sayu. Medasing yang tumbuh besar dalam dunia yang keras dan sempit, hanya mengenal menyamun sebagai cara bertahan hidup. Bersama Sayu, dia berjuang untuk hidup lebih baik.

Sinopsis

Cerita diawali dengan sekelompok penyamun yang merampok keluarga saudagar yang kaya raya. Haji Sahak dan istrinya terbunuh namun anak perawan mereka, Sayu, dibiarkan hidup oleh sang pemimpin penyamun yang bernama Medasing. Gadis itu pun diculik dan dibawa ke tempat tinggal mereka di tengah hutan. Suatu hari, bawahan Medasing yang bernama Samad jatuh hati pada Sayu dan terus merayu Sayu untuk ikut lari bersamanya, namun Sayu menolak. Dari situlah semua masalah dimulai. Perampokan Medasing terus mengalami kegagalan karena Samad yang kerap membocorkan rencana perampokan mereka demi mencari untung. Hingga pada perampokan terakhir, Medasing pulang dalam keadaan terluka parah. Melihat Medasing yang tidak berdaya, Sayu pun akhirnya memberanikan diri dan perlahan mengobatinya. Sejak saat itu mereka menjadi makin dekat. Medasing akhirnya menceritakan tentang kepahitan masa lalunya yang meluluhkan hati Sayu.

Suatu hari, saat mereka berdua pergi ke kota asal Sayu, keduanya baru mengetahui ternyata Nyi Haji Andun, ibu dari Sayu ternyata tidak meninggal sewaktu diserang kawanan Medasing. Sayangnya, beliau yang saat itu sudah kritis akhirnya meninggal dunia di hadapan Sayu. Kenyataan itu telah menyadarkan Medasing tentang betapa kejam dirinya selama ini. Hingga akhirnya, Medasing menikahi Sayu dan kehidupannya berubah drastis. Dia menjadi seorang kaya raya yang berhati mulia. Dia mau menolong siapa pun yang meminta tolong padanya, termasuk Samad. Medasing pun mengganti nama menjadi Haji Karim dan hidup bahagia bersama Sayu hingga akhir hayatnya.

Teori

Dari situlah, kisah yang erat dengan nilai-nilai kehidupan ini membuat analisis novel ini diangkat melalui pendekatan jenis pragmatik. Pendekatan pragmatik sendiri merupakan bentuk kritik sastra yang melihat karya sastra dengan tujuan menginformasikan dan memberikan pembelajaran kepada pembaca. Sesuatu hal tersebut dapat berupa kesan bagi pembaca baik berupa moral, pendidikan, estetika, religius, sosial dan lainnya. Dengan kata lain, pendekatan ini menitikberatkan pada nilai hidup dan dampak yang dirasakan bagi pembacanya. Hal tersebut didukung oleh pendapat Wahyudi dalam (Gumono, 2017, h.71), pendekatan pragmatik merupakan pendekatan kajian sastra yang memiliki peran utamanya kepada pembaca dalam menerima, menghayati, dan memahami karya sastra.

Garis Keperawanan Hutan dan Peradaban

Jalan hidup memang tidak selamanya lurus. Kisah Medasing dan Sayu pun tidak berjalan mulus begitu saja. Sedari awal, stratifikasi sosial telah membangun jarak di antara keduanya. Sayu yang dilahirkan sebagai putri seorang haji dan Medasing yang tumbuh besar di hutan belantara sebagai penyamun. Pada awal cerita, Medasing yang merupakan kepala penyamun hanya berkawan kepada lima teman penyamunnya. Seperti pada bagian ini:

(Alisjahbana, 1992) Sesungguhnya mereka ini sekawan penyamun. Tiap ada saudagar dan orang berharga yang lalu di antara Lahat dan tanah Pasemah, tidak pernah dibiarkan mereka berjalan dengan sentosa. Orang perjalanan itu diperiksa dan sekalian yang berharga padanya dirampas mereka. (h.2) 

Kehadiran Medasing begitu ditakuti, terutama oleh para saudagar yang berlalu lalang melewati teritorinya. Dia yang tinggal dalam hutan belantara, hampir tidak pernah menyentuh peradaban. Kehidupan di luar sana tidak pernah dikenalnya dan satu-satunya pekerjaan yang diketahuinya hanyalah merampok. Namun pada akhir cerita, Medasing berganti nama menjadi Haji Karim dan bertobat setelah menyadari kekejiannya selama ini. Bertolak belakang dengan dirinya sebagai perampok harta orang yang dijauhi dan tidak diingini, pada akhir cerita Medasing digambarkan sebagai tokoh yang dipandang dan digemari masyarakat. Hal ini dibuktikan dari kutipan novelnya: 

"Siapakah yang tidak tahu akan pesirah Karim yang ramah-ramah kepada segala orang, baik kaya maupun miskin? Kalau ada sesuatu yang terjadi di Pagar Alam, ia tak pernah ketinggalan. Dan kalau ada yang kesusahan taklah ia memandang siang atau malam, dekat atau jauh, asal sebenar-benarnya orang perlu akan bantuan tangan dan hatinya yang pemurah dan pengasih." (Alisjahbana, 1992, h.99-100) 

Berbeda dengan Medasing, sejak kecil Sayu tumbuh besar di kota. Dilihat dari dimensi sosiologisnya, Sayu merupakan putri seorang saudagar. Kehidupannya nyaman di kota. Sebagai putri saudagar, dia mendapatkan berbagai hak istimewa atas pendidikan dan agama. Semua itu berjalan mulus hingga kasus perampokan dan penculikan terjadi. Pada awalnya, Sayu sempat menunjukkan penolakan dan usaha untuk melarikan diri, namun kebenciannya terhadap penyamun perlahan pudar dan mulai menerima nasibnya di hutan. Walaupun dalam situasi nahas seperti itu, Sayu tetap berusaha untuk beradaptasi dengan kehidupan para penyamun yang jauh dari apa yang dia pernah alami selama ini. Meskipun cara hidup penyamun bertentangan dengan moralnya yang dia percayai selama ini, Sayu tetap menerimanya. Hal tersebut dibuktikan pada bagian berikut:

Hari itu pertama kali ia menyediakan makanan bagi kawan penyamun dan dengan hal yang demikian mulailah ia menyelakan dirinya di penghidupan raja-raja   rimba   yang   kukuh   dan   kuasa,   buas   dan   ganas,   yang   sangat berlawanan  dengan  badannya  yang  lemah  dan  pekertinya  yang  lembut. (Alisjahbana, 1992, h.64)

Namun, tokoh Samad, anak buah Medasing, berhasil menampilkan karakter yang jauh berbeda dari Medasing maupun Sayu. Sedari awal, Samad telah bersentuhan dengan kedua hutan dan peradaban. Dia yang merupakan mata-mata Medasing seringkali pergi ke kota untuk mencari mangsa. Namun pada akhirnya mengkhianati Medasing demi mencari untung. Seperti menurut Pratama (2020), dalam menjalani kehidupannya, manusia senantiasa mengalami perubahan. Hal itu disebabkan oleh adanya keinginan manusia untuk mencapai status sosial tertentu. Namun sayangnya pada akhir cerita, Medasing yang kembali ke peradaban hidup bahagia dan menjadi orang terpandang, sedangkan Samad hidup susah dan tidak ada yang memandangnya. Sampai saat ini, permasalahan status sosial masih sering terjadi. Kehidupan manusia tanpa disadari mulai berpatok pada status sosialnya. Orang yang kaya, pintar dan menawan akan dipandang lebih tinggi dibanding orang yang kumuh dan tidak berkecukupan.

Ketaatan pada yang di Atas

Berbicara perihal hal yang jahat dan baik, novel ini juga sedikit banyak menyinggung tentang religi. Sayu yang dibesarkan sebagai anak seorang haji, membuatnya dibesarkan dalam kepercayaan Muslim. Bagian berikut menjadi bukti:

Sebagai  seorang  anak  yang  taat  beribadat  dari  kecil,  segala  kewajiban agama   itu   telah   menjadi   darah   dagingnya.   Dan   sekarang pun   dalam perasingannya  di tengah  hutan,  jauh  dari  kaum kerabatnya  dan  segala manusia,  taklah  ia  hendak  meninggalkan  pekerjaan  yang  dianggapnya kewajiban yang pertama. (Alisjahbana, 1992, h.63)

Walaupun ditahan di sarang penyamun, Sayu tetap melaksanakan ibadahnya dan tidak meninggalkan agamanya. Bahkan saat dia sudah pindah ke Pagar Alam dan berkecukupan, dia berhasil menarik Medasing yang sebelumnya tidak mengenal agama untuk bergabung bersamanya dalam agamanya. Lebih dari itu, keduanya pun berangkat ke Makkah bersama-sama untuk melaksanakan panggilan agamanya. "Dua tahun yang telah lalu dua suami-istri yang sangat dikasihi oleh rakyatnya itu naik haji anak beranak menyampaikan suruhan agama." (Alisjahbana, 1992, h.100) Ketekunannya dalam menjalankan agama dapat menginspirasi para pembaca untuk lebih taat menjalankan ibadah. Seperti ucap Shonhaji (2012), salah satu karakteristik pluralitas negara Indonesia yang multidimensional adalah agamanya. Agama sebagai tatanan hidup harus dijaga agar tetap dapat menjadi sandaran berperilaku manusia dan mempertahankan keragaman agama di Indonesia.

Penilaian Umum

Dari pembahasan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendekatan pragmatik yang terkandung dalam novel "Anak Perawan di Sarang Penyamun" ini memiliki nilai kehidupan yang relevan akan zaman ini. Perbedaan status sosial yang dimiliki para tokoh membawa mereka ke perbatasan jelas antara kehidupan di kota dan di hutan. Tetapi sayangnya, perubahan Medasing yang semula penyamun menjadi tokoh penting masyarakat tidak terlalu dibahas. Tiba-tiba alur melompat ke masa Medasing telah menjadi pemuka daerah. Setelah memasuki daerah perkotaan dengan segala kemajemukannya, Medasing dikenalkan pada agama Islam yang memang sedari awal sudah dianut oleh Sayu. Ketaatan mereka berdua dalam beragama menjadi sebuah pelengkap yang sempurna dalam buku ini. Maka dari itu, nilai hidup yang dapat ditemukan adalah nilai sosial dan agama. 

Penegasan Ulang

Melalui karya "Anak Perawan di Sarang Penyamun", dapat dilihat bahwa Sutan Takdir Alisjahbana mampu mengupas berbagai sisi kehidupan dengan gaya tulisannya sendiri. Minimnya dialog berhasil membuat pembaca fokus pada atmosfer dan renungan moralitas. Pesan yang terkandung dalam buku juga tersampaikan dengan baik dan dapat membuat pembaca merefleksikan  perilaku dirinya. Dari kedua nilai kehidupan yang didapat, nilai sosial ditunjukkan dari perjuangan mengubah status sosial, belajar untuk beradaptasi di lingkungan sosial yang baru dan cara berinteraksi dengan orang lain.  Selain itu,  nilai religi pada novel ini mengarah kepada kepercayaan dan ketaatan beribadah dalam agama Islam.

Maka dari itu, melihat banyaknya pesan kehidupan yang ingin disampaikan, novel ini cocok untuk dibaca kalangan remaja terutama yang berusia 15 tahun ke atas. Sebab tidak seperti judulnya yang terkesan berbau hal-hal dewasa, buku ini jauh dari itu. Inilah yang membuat novel ini unik, penuturan bahasanya mampu mengalirkan keindahan romantisme yang diperlengkap nilai sosial dan religinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun