Kehadiran Medasing begitu ditakuti, terutama oleh para saudagar yang berlalu lalang melewati teritorinya. Dia yang tinggal dalam hutan belantara, hampir tidak pernah menyentuh peradaban. Kehidupan di luar sana tidak pernah dikenalnya dan satu-satunya pekerjaan yang diketahuinya hanyalah merampok. Namun pada akhir cerita, Medasing berganti nama menjadi Haji Karim dan bertobat setelah menyadari kekejiannya selama ini. Bertolak belakang dengan dirinya sebagai perampok harta orang yang dijauhi dan tidak diingini, pada akhir cerita Medasing digambarkan sebagai tokoh yang dipandang dan digemari masyarakat. Hal ini dibuktikan dari kutipan novelnya:Â
"Siapakah yang tidak tahu akan pesirah Karim yang ramah-ramah kepada segala orang, baik kaya maupun miskin? Kalau ada sesuatu yang terjadi di Pagar Alam, ia tak pernah ketinggalan. Dan kalau ada yang kesusahan taklah ia memandang siang atau malam, dekat atau jauh, asal sebenar-benarnya orang perlu akan bantuan tangan dan hatinya yang pemurah dan pengasih." (Alisjahbana, 1992, h.99-100)Â
Berbeda dengan Medasing, sejak kecil Sayu tumbuh besar di kota. Dilihat dari dimensi sosiologisnya, Sayu merupakan putri seorang saudagar. Kehidupannya nyaman di kota. Sebagai putri saudagar, dia mendapatkan berbagai hak istimewa atas pendidikan dan agama. Semua itu berjalan mulus hingga kasus perampokan dan penculikan terjadi. Pada awalnya, Sayu sempat menunjukkan penolakan dan usaha untuk melarikan diri, namun kebenciannya terhadap penyamun perlahan pudar dan mulai menerima nasibnya di hutan. Walaupun dalam situasi nahas seperti itu, Sayu tetap berusaha untuk beradaptasi dengan kehidupan para penyamun yang jauh dari apa yang dia pernah alami selama ini. Meskipun cara hidup penyamun bertentangan dengan moralnya yang dia percayai selama ini, Sayu tetap menerimanya. Hal tersebut dibuktikan pada bagian berikut:
Hari itu pertama kali ia menyediakan makanan bagi kawan penyamun dan dengan hal yang demikian mulailah ia menyelakan dirinya di penghidupan raja-raja  rimba  yang  kukuh  dan  kuasa,  buas  dan  ganas,  yang  sangat berlawanan  dengan  badannya  yang  lemah  dan  pekertinya  yang  lembut. (Alisjahbana, 1992, h.64)
Namun, tokoh Samad, anak buah Medasing, berhasil menampilkan karakter yang jauh berbeda dari Medasing maupun Sayu. Sedari awal, Samad telah bersentuhan dengan kedua hutan dan peradaban. Dia yang merupakan mata-mata Medasing seringkali pergi ke kota untuk mencari mangsa. Namun pada akhirnya mengkhianati Medasing demi mencari untung. Seperti menurut Pratama (2020), dalam menjalani kehidupannya, manusia senantiasa mengalami perubahan. Hal itu disebabkan oleh adanya keinginan manusia untuk mencapai status sosial tertentu. Namun sayangnya pada akhir cerita, Medasing yang kembali ke peradaban hidup bahagia dan menjadi orang terpandang, sedangkan Samad hidup susah dan tidak ada yang memandangnya. Sampai saat ini, permasalahan status sosial masih sering terjadi. Kehidupan manusia tanpa disadari mulai berpatok pada status sosialnya. Orang yang kaya, pintar dan menawan akan dipandang lebih tinggi dibanding orang yang kumuh dan tidak berkecukupan.
Ketaatan pada yang di Atas
Berbicara perihal hal yang jahat dan baik, novel ini juga sedikit banyak menyinggung tentang religi. Sayu yang dibesarkan sebagai anak seorang haji, membuatnya dibesarkan dalam kepercayaan Muslim. Bagian berikut menjadi bukti:
Sebagai  seorang  anak  yang  taat  beribadat  dari  kecil,  segala  kewajiban agama  itu  telah  menjadi  darah  dagingnya.  Dan  sekarang pun  dalam perasingannya  di tengah  hutan,  jauh  dari  kaum kerabatnya  dan  segala manusia,  taklah  ia  hendak  meninggalkan  pekerjaan  yang  dianggapnya kewajiban yang pertama. (Alisjahbana, 1992, h.63)
Walaupun ditahan di sarang penyamun, Sayu tetap melaksanakan ibadahnya dan tidak meninggalkan agamanya. Bahkan saat dia sudah pindah ke Pagar Alam dan berkecukupan, dia berhasil menarik Medasing yang sebelumnya tidak mengenal agama untuk bergabung bersamanya dalam agamanya. Lebih dari itu, keduanya pun berangkat ke Makkah bersama-sama untuk melaksanakan panggilan agamanya. "Dua tahun yang telah lalu dua suami-istri yang sangat dikasihi oleh rakyatnya itu naik haji anak beranak menyampaikan suruhan agama." (Alisjahbana, 1992, h.100) Ketekunannya dalam menjalankan agama dapat menginspirasi para pembaca untuk lebih taat menjalankan ibadah. Seperti ucap Shonhaji (2012), salah satu karakteristik pluralitas negara Indonesia yang multidimensional adalah agamanya. Agama sebagai tatanan hidup harus dijaga agar tetap dapat menjadi sandaran berperilaku manusia dan mempertahankan keragaman agama di Indonesia.
Penilaian Umum
Dari pembahasan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendekatan pragmatik yang terkandung dalam novel "Anak Perawan di Sarang Penyamun" ini memiliki nilai kehidupan yang relevan akan zaman ini. Perbedaan status sosial yang dimiliki para tokoh membawa mereka ke perbatasan jelas antara kehidupan di kota dan di hutan. Tetapi sayangnya, perubahan Medasing yang semula penyamun menjadi tokoh penting masyarakat tidak terlalu dibahas. Tiba-tiba alur melompat ke masa Medasing telah menjadi pemuka daerah. Setelah memasuki daerah perkotaan dengan segala kemajemukannya, Medasing dikenalkan pada agama Islam yang memang sedari awal sudah dianut oleh Sayu. Ketaatan mereka berdua dalam beragama menjadi sebuah pelengkap yang sempurna dalam buku ini. Maka dari itu, nilai hidup yang dapat ditemukan adalah nilai sosial dan agama.Â