Mohon tunggu...
JOVINNA ROSE 121221011
JOVINNA ROSE 121221011 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Dian Nusantara, Akuntansi Perpajakan, Dosen : Prof. Dr. Apollo Daito, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kuis Tugas Besar 2

17 Juli 2024   21:33 Diperbarui: 17 Juli 2024   21:50 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KUIS TUGAS BESAR 2

1. UMKM (PP 23 Tahun 2018)
- Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dikenakan pajak final sebesar 0,5% dari omzet bruto tahunan yang tidak melebihi Rp4,8 miliar.
-Contoh: Toko kecil dengan omzet Rp3 miliar per tahun, pajaknya = 0,5% x Rp3.000.000.000 = Rp15.000.000.

2. Usaha Tertentu sesuai PPh Pasal 4 ayat (2)
-Jenis usaha tertentu dikenakan PPh Final, seperti jasa konstruksi, penyalur BBM, dan real estate.
-Contoh: Perusahaan konstruksi dengan omzet proyek Rp10 miliar, tarif PPh final 3%, pajaknya = 3% x Rp10.000.000.000 = Rp300.000.000.

3. Norma Penghitungan Khusus (Pasal 15)
-Sektor usaha seperti pelayaran dan penerbangan memiliki norma penghitungan penghasilan neto.
-Contoh: Perusahaan pelayaran dalam negeri dengan omzet Rp5 miliar, norma penghasilan neto 5%, pajaknya = 5% x Rp5.000.000.000 = Rp250.000.000, dikenakan tarif PPh umum 22%, pajaknya = 22% x Rp250.000.000 = Rp55.000.000.

4. Tarif Umum
Peredaran Bruto 4,8M: Tarif PPh final 0,5%.
-Peredaran Bruto > 4,8M sd 50M: Tarif PPh 22% dengan pengurangan tarif khusus untuk perusahaan kecil menengah.
-Peredaran Bruto > 50M: Tarif PPh 22% tanpa pengurangan.
-Perseroan Terbuka: Tarif PPh 17% jika memenuhi syarat jumlah saham yang diperdagangkan.
-Contoh:
-Perusahaan dengan omzet Rp6 miliar, pajaknya = 22% x Rp6.000.000.000 = Rp1.320.000.000.
-Perseroan Terbuka dengan omzet Rp100 miliar, pajaknya = 17% x Rp100.000.000.000 = Rp17.000.000.000.

SLIDE 3/Prof Apollo
SLIDE 3/Prof Apollo

1. Subjek Pajak
-Wajib Pajak Orang Pribadi
-Wajib Pajak Badan tertentu (Koperasi, CV, Firma)
-Perseroan Terbatas* dengan peredaran bruto sampai Rp4,8 miliar per tahun.

Kecuali:
-Wajib Pajak yang memilih dikenai PPh umum.
-Wajib Pajak Badan yang bisa mendapatkan fasilitas Tax Holiday dan Tax Allowance.
-Bentuk Usaha Tetap.
-CV dan Firma yang dibentuk oleh beberapa Wajib Pajak Orang Pribadi dengan keahlian khusus.

2. Objek Pajak
-Penghasilan dari usaha, termasuk cabang.

Kecuali:
-Penghasilan yang dikenai PPh final tersendiri.
-Penghasilan di luar negeri.
-Penghasilan yang bukan objek pajak.

3. PPh Terutang
-Dihitung sebagai 0,5% dari peredaran bruto.

4. Pemberitahuan ke DJP
-Bila Wajib Pajak memilih untuk dikenai PPh sesuai ketentuan umum PPh.

5. Pelunasan Pajak
-Disetor sendiri oleh Wajib Pajak atau dipotong oleh pihak lain.

6. Surat Keterangan
-Diperlukan jika Wajib Pajak menerima penghasilan dari pemotong atau pemungut PPh.

Contoh Kasus

1. Wajib Pajak Orang Pribadi:
-Seorang pedagang kaki lima memiliki omzet Rp200.000.000 per tahun.
-PPh final = 0,5% x Rp200.000.000 = Rp1.000.000.

2. Perseroan Terbatas:
-Sebuah toko pakaian memiliki omzet Rp4.500.000.000 per tahun.
-PPh final = 0,5% x Rp4.500.000.000 = Rp22.500.000.

3. CV/Firma:
-Sebuah firma hukum dengan omzet Rp1.000.000.000 per tahun.
-PPh final = 0,5% x Rp1.000.000.000 = Rp5.000.000.

SLIDE 4/ Prof Apollo
SLIDE 4/ Prof Apollo
1. Peredaran Usaha
-Selama tahun 2019, PT Housetronik memiliki peredaran bruto sebesar Rp2.100.378.800.
   
2. PPh Final
-Berdasarkan PP 23 Tahun 2018, PT Housetronik dikenakan PPh final sebesar 0,5% dari peredaran bruto.

3. Perhitungan PPh Final Bulanan
-PPh final dihitung setiap bulan dengan mengalikan peredaran bruto bulanan dengan tarif 0,5%.

Contoh Perhitungan

1. Peredaran Bruto Januari: Rp200.507.000
-PPh Final = 0,5% x Rp200.507.000 = Rp1.002.535

2. Peredaran Bruto Februari: Rp188.065.900
-PPh Final = 0,5% x Rp188.065.900 = Rp940.330

3. Peredaran Bruto Total Tahun 2019: Rp2.373.707.219
-PPh Final = 0,5% x Rp2.373.707.219 = Rp11.868.536

Contoh Rekapitulasi Bulanan
-Januari: Peredaran Bruto Rp200.507.000, PPh Final Rp1.002.535
-Februari: Peredaran Bruto Rp188.065.900, PPh Final Rp940.330
-Maret: Peredaran Bruto Rp185.876.000, PPh Final Rp929.380
-April: Peredaran Bruto Rp192.090.000, PPh Final Rp960.450
-Mei: Peredaran Bruto Rp189.650.100, PPh Final Rp948.251
-Juni: Peredaran Bruto Rp179.080.050, PPh Final Rp895.400
-Juli: Peredaran Bruto Rp205.070.000, PPh Final Rp1.025.350
-Agustus: Peredaran Bruto Rp196.400.800, PPh Final Rp982.004
-September: Peredaran Bruto Rp187.652.000, PPh Final Rp938.260
-Oktober: Peredaran Bruto Rp210.887.900, PPh Final Rp1.054.436
-November: Peredaran Bruto Rp205.987.200, PPh Final Rp1.029.936
-Desember: Peredaran Bruto Rp232.454.869, PPh Final Rp1.162.274

-Total Peredaran Bruto Tahun 2019: Rp2.373.707.219
-Total PPh Final Tahun 2019: Rp11.868.536

SLIDE 5/Prof Apollo
SLIDE 5/Prof Apollo
Untuk mencari Laba Bersih setelah koreksi fiskal, langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:

1. Hitung Laba Bersih Komersial: Ini adalah laba bersih yang diperoleh berdasarkan laporan keuangan komersial perusahaan.

2. Lakukan Koreksi Fiskal: Koreksi fiskal dilakukan untuk menyesuaikan laba bersih komersial dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Koreksi ini bisa berupa koreksi positif (menambah laba bersih) atau koreksi negatif (mengurangi laba bersih). Contoh koreksi fiskal meliputi:
-Penghasilan yang dikecualikan atau tidak termasuk objek pajak.
-Biaya yang tidak dapat dikurangkan sesuai dengan ketentuan perpajakan.
-Perbedaan pengakuan pendapatan atau biaya antara akuntansi komersial dan fiskal.

3. Hitung Laba Kena Pajak: Setelah melakukan koreksi fiskal, laba bersih yang telah disesuaikan ini disebut sebagai laba kena pajak.

Contoh:
-Laba Bersih Komersial: Rp 1.000.000.000
-Koreksi Positif: Rp 200.000.000 (misalnya, biaya yang tidak dapat dikurangkan)
-Koreksi Negatif: Rp 100.000.000 (misalnya, penghasilan yang tidak kena pajak)

Maka, Laba Kena Pajak = Laba Bersih Komersial + Koreksi Positif - Koreksi Negatif
                           = Rp 1.000.000.000 + Rp 200.000.000 - Rp 100.000.000
                           = Rp 1.100.000.000

Jadi, Laba Kena Pajak adalah Rp 1.100.000.000.

Setelah mendapatkan laba kena pajak, tarif pajak yang berlaku (misalnya, berdasarkan Pasal 17) diterapkan untuk menghitung besaran pajak yang harus dibayarkan

SLIDE 6/Prof Apollo
SLIDE 6/Prof Apollo
proses penyesuaian fiskal untuk memperoleh Laba Bersih Kena Pajak (Penghasilan Neto Fiskal).
1. Penghasilan: Ini mencakup semua jenis penghasilan yang diperoleh, baik yang menjadi objek pajak umum, objek pajak final, maupun yang bukan objek pajak.
2. Biaya-biaya: Biaya-biaya yang terkait dengan penghasilan dihitung untuk memperoleh Laba Bersih. Biaya ini dibagi menjadi dua kategori: biaya yang dapat dikurangkan (deductible) dan biaya yang tidak dapat dikurangkan (non deductible).
3. Laba Bersih: Laba bersih komersial yang diperoleh setelah dikurangi biaya-biaya.
4. Koreksi Fiskal:
-Pengurangan Objek Pajak Final dan Non Objek Pajak: Penghasilan yang telah dikenakan pajak final atau yang bukan merupakan objek pajak dikurangi dari laba bersih.
-Penyesuaian Fiskal Positif (Non Deductible Expense): Biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkan sesuai dengan ketentuan perpajakan ditambahkan kembali ke laba bersih.
-Penyesuaian Fiskal Negatif: Koreksi yang mengurangi laba bersih karena perbedaan pengakuan pendapatan atau biaya antara akuntansi komersial dan fiskal.
5. Laba Bersih Kena Pajak (Penghasilan Neto Fiskal): Setelah dilakukan penyesuaian fiskal, diperoleh laba bersih yang siap dikenakan pajak.

Contoh:
Misalkan perusahaan memiliki data sebagai berikut:
-Penghasilan: Rp 2.000.000.000 (termasuk penghasilan yang sudah dikenakan pajak final Rp 300.000.000)
-Biaya: Rp 1.000.000.000 (termasuk biaya yang tidak dapat dikurangkan Rp 100.000.000)

Langkah-langkah perhitungannya:
1. Laba Bersih Komersial:
Rp 2.000.000.000 - Rp 1.000.000.000 = Rp 1.000.000.000

2. Kurangi Objek Pajak Final:
Rp 1.000.000.000 - Rp 300.000.000 = Rp 700.000.000

3. Tambah Non Deductible Expense:
Rp 700.000.000 + Rp 100.000.000 = Rp 800.000.000

4. Laba Bersih Kena Pajak:
Rp 800.000.000

Jadi, Laba Bersih Kena Pajak yang akan dikenakan pajak adalah Rp 800.000.000.

SLIDE 7/Prof Apollo
SLIDE 7/Prof Apollo
menjelaskan definisi Penghasilan Kena Pajak (PhKP) dan koreksi fiskal.

Definisi Penghasilan Kena Pajak (PhKP)
PhKP adalah penghasilan neto secara fiskal yang menjadi dasar penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) terutang. Penghasilan neto secara fiskal ini bisa berbeda dengan penghasilan neto secara komersial karena perbedaan metode pengakuan pendapatan dan biaya. Penghasilan komersial dihitung berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK), sedangkan penghasilan fiskal dihitung berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku.

Koreksi Fiskal
Koreksi fiskal adalah penyesuaian yang dilakukan untuk mengkonversi laba bersih komersial menjadi laba bersih fiskal. Koreksi fiskal terdiri dari dua jenis:
1. Koreksi Fiskal Positif: Koreksi yang mengakibatkan bertambahnya jumlah PPh terutang. Hal ini terjadi karena biaya yang dikurangi atau pendapatan yang ditambahkan. Contoh: Koreksi biaya penelitian di luar negeri, yang tidak diperbolehkan sebagai pengurang laba fiskal sehingga harus ditambahkan kembali ke laba.

2. Koreksi Fiskal Negatif: Koreksi yang mengakibatkan berkurangnya jumlah PPh terutang. Hal ini terjadi karena penambahan biaya atau pengurangan pendapatan. Contoh: Koreksi penghasilan yang bersifat final, yang tidak dikenakan pajak lagi sehingga harus dikurangi dari laba.

Contoh Koreksi Fiskal
-Koreksi Fiskal Positif: Misalkan perusahaan memiliki biaya penelitian di luar negeri sebesar Rp 100.000.000 yang tidak dapat dikurangkan menurut peraturan pajak. Biaya ini harus ditambahkan kembali ke laba bersih.
-Laba Bersih Komersial: Rp 1.000.000.000
-Koreksi Fiskal Positif: Rp 100.000.000
-Laba Bersih Kena Pajak: Rp 1.100.000.000

-Koreksi Fiskal Negatif: Misalkan perusahaan memiliki penghasilan dari bunga deposito sebesar Rp 50.000.000 yang sudah dikenakan pajak final. Penghasilan ini harus dikurangkan dari laba bersih.
-Laba Bersih Komersial: Rp 1.000.000.000
-Koreksi Fiskal Negatif: Rp 50.000.000
-Laba Bersih Kena Pajak: Rp 950.000.000

d/ Prof Apollo
d/ Prof Apollo

 

Penyesuaian fiskal positif dapat berasal dari:


1. Biaya yang sudah atau akan dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;
2. Dana cadangan
3. Penggantian atau imbalan yang berhubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura atau
kenikmatan;
4. Nominal yang melebihi batas kewajaran yang dibayarkan kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukan;
5. Harta yang dihibahkan, bantuan, atau sumbangan;
6. Pajak penghasilan;
7. Gaji yang dibayarkan kepada pemilik;
8. Sanksi administrasi;
9. Selisih penyusutan/amortisasi komersial di atas penyusutan/amortisasi fiskal;
10. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikenakan PPh Final dan penghasilan yang
tidak termasuk objek pajak;
11. Penyesuaian fiskal positif lain yang bukan berasal dari hal-hal yang disebutkan di atas.


Sebaliknya, penyesuaian fiskal negatif akan menyebabkan berkurangnya jumlah PPh terutang. Hal ini dapat disebabkab
oleh kecilnya jumlah penghasilan secara komersial dibandingkan dengan jumlah penghasilan secara fiskal atau
karena beban secara komersial lebih besar dari pada biaya yang dapat dikurangkan secara fiskal. Penyesuaian fiskal
negatif dapat berasal dari:


1. Penghasilan yang dikenakan PPh Final dan penghasilan yang tidak termasuk objek pajak tetapi termasuk dalam
peredaran usaha;
2. Selisih penyusutan/amortisasi komersial komersial di bawah penyusutan/amortisasi fiskal;
3. Penyesuaian fiskal negatif lain yang bukan berasal dari hal-hal yang telah disebutkan di atas.

ds/Prof Apollo
ds/Prof Apollo

fd/Prof Apollo
fd/Prof Apollo

hi/Prof Apollo
hi/Prof Apollo

Latar Belakang Rekonsiliasi Fiskal

Rekonsiliasi fiskal diperlukan karena ada perbedaan antara laba (rugi) komersial yang dilaporkan dalam laporan keuangan perusahaan dengan laba (rugi) fiskal yang digunakan untuk tujuan perpajakan. Perbedaan ini terjadi karena standar akuntansi yang digunakan untuk laporan keuangan komersial (seperti PSAK di Indonesia) berbeda dengan peraturan perpajakan yang berlaku.

-Perbedaan antara Laba (Rugi) Komersial dengan Fiskal

-Laba (Rugi) Komersial: Ini adalah laba atau rugi yang dihitung berdasarkan standar akuntansi keuangan, yang mencerminkan kinerja keuangan perusahaan secara menyeluruh.

Contoh: Sebuah perusahaan mencatat laba komersial sebesar Rp 1.000.000.000 setelah mengurangi semua biaya termasuk biaya hiburan sebesar Rp 200.000.000.

Laba (Rugi) Fiskal: Ini adalah laba atau rugi yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku, yang mungkin tidak mengakui beberapa biaya atau penghasilan yang diakui dalam laporan komersial.

Contoh: Menurut peraturan pajak, biaya hiburan hanya boleh dikurangkan sebesar Rp 100.000.000. Jadi, Rp 100.000.000 dari biaya hiburan tersebut harus ditambahkan kembali ke laba komersial, menghasilkan laba fiskal sebesar Rp 1.100.000.000.

Bentuk Format Rekonsiliasi Fiskal

Format rekonsiliasi fiskal biasanya mencakup:

1. Laba (Rugi) Komersial: Mulai dengan laba atau rugi bersih komersial.

2.Penyesuaian Fiskal Positif: Tambahkan biaya-biaya yang tidak diakui secara fiskal.

Contoh: Biaya hiburan yang tidak dapat dikurangkan, Rp 100.000.000.

3. Penyesuaian Fiskal Negatif: Kurangi pendapatan yang tidak dikenakan pajak atau biaya yang diakui secara fiskal.

Contoh: Penghasilan dari bunga deposito yang sudah dikenakan pajak final, Rp 50.000.000.

4. Laba (Rugi) Fiskal: Hasil akhir setelah melakukan semua penyesuaian tersebut.

SLIDE 12/Prof Apollo
SLIDE 12/Prof Apollo

Penyusunan Laporan Keuangan Fiskal Berdasarkan Mekanisme atau Prinsip Taxable dan Deductible

Prinsip Perencanaan Pajak: Prinsip Taxable dan Deductible

-Taxable (Dapat Dipajaki): Prinsip ini menyatakan bahwa semua penghasilan yang diterima oleh wajib pajak harus dilaporkan dan dikenakan pajak. Misalnya, penghasilan dari penjualan barang atau jasa dan bunga deposito yang belum dikenakan pajak final.

-Deductible (Dapat Dikurangi): Prinsip ini menyatakan bahwa biaya yang berkaitan langsung dengan penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk menghitung penghasilan kena pajak. Contohnya adalah biaya operasional, biaya penyusutan aset, dan gaji karyawan.

Taxable dan Non-Taxable

-Taxable: Penghasilan yang dikenakan pajak, seperti pendapatan dari penjualan produk.
-Non-Taxable: Penghasilan yang tidak dikenakan pajak, seperti hibah atau donasi yang diterima untuk tujuan tertentu yang tidak dikenakan pajak menurut peraturan perpajakan yang berlaku.

Deductible dan Non-Deductible

-Deductible: Biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, seperti biaya produksi dan biaya administrasi.
 
-Non-Deductible: Biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, seperti biaya hiburan yang melebihi batas yang ditentukan dan denda atau sanksi administrasi pajak.

Implementasi Prinsip Taxability dan Deductibility

Implementasi prinsip ini berarti bahwa biaya hanya dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pihak pembayar apabila pihak penerima uang tersebut melaporkannya sebagai penghasilan dan penghasilan tersebut dikenai pajak.

Contoh Penyusunan Laporan Keuangan Fiskal

Asumsi:
1. Penghasilan:
-Penjualan: Rp 2.000.000.000
-Bunga Deposito (belum final): Rp 50.000.000
-Hibah (non-taxable): Rp 100.000.000

2. Biaya:
-Biaya Produksi: Rp 1.000.000.000 (deductible)
-Biaya Administrasi: Rp 200.000.000 (deductible)
-Biaya Hiburan: Rp 50.000.000 (Rp 20.000.000 deductible, Rp 30.000.000 non-deductible)

Laporan Keuangan Komersial:
Total penghasilan dari penjualan, bunga deposito, dan hibah adalah Rp 2.150.000.000. Biaya produksi, biaya administrasi, dan biaya hiburan mengurangi total penghasilan, sehingga menghasilkan laba bersih sebesar Rp 900.000.000.

Laporan Keuangan Fiskal:
Total penghasilan setelah mengeluarkan hibah yang non-taxable adalah Rp 1.950.000.000. Biaya yang deductible meliputi biaya produksi dan biaya administrasi, serta sebagian biaya hiburan. Dengan mengeluarkan biaya hiburan yang non-deductible, total biaya adalah Rp 1.220.000.000, menghasilkan laba bersih kena pajak sebesar Rp 730.000.000.

Dengan prinsip taxable dan deductible, perusahaan dapat menghitung laba bersih yang benar untuk tujuan perpajakan, memastikan bahwa hanya penghasilan yang dikenai pajak dan hanya biaya yang diizinkan yang dikurangkan.

SLIDE 13/Prof Apollo
SLIDE 13/Prof Apollo

1. Penghasilan yang menjadi objek (Taxable Income); Penghasilan yang menjadi objek pajak adalah setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak,baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan dengan nama dan
dalam bentuk apapun termasuk

Penghasilan yang menjadi objek (Taxable Income)
a) Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan termasuk gaji
b) Hadiah dari undian
c) Laba usaha
d) Karena penjualan harta atau pengalihan harta
e) Penerimaan kembali pembayaran pajak
f) Bunga
g) Dividen
h) Royalti
i) Sewa dan penghasilan sehubungan penggunaan harta


2. Penghasilan yang pajaknya dikenakan PPh bersifat final:
* Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lain
* Berupa hadiah undian
* Penghasilan dari transaksi saham
* Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah atau bangunan

SLIDE 14/Prof Apollo
SLIDE 14/Prof Apollo

Penghasilan yang bukan objek pajak (Non Taxable Income)
a) Bantuan atau sumbangan termasuk zakat yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
diakui di Indonesia
b) Harta hibah
c) Warisan
d) Harta termasuk setoran tunai sebagai penyertaan modal
e) Penggantian yang ada hubungan dengan pekerjaan dalam bentuk natura dari wajib pajak atau
pemerintah
f) Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi
g) Dividen yang diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negri
h) Iuran yang diterima dana pensiun
i) Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun
j) Bagian laba yang diterima anggota dari perseroan komanditer
k) Dihapus
l) Penghasilan modal ventura berupa bagian laba
m) Beasiswa

SLIDE 15/Prof Apollo
SLIDE 15/Prof Apollo

Biaya-biaya yang boleh dikurangkan (Deductible Expenses)
*Penghasilan Kena Pajak bagi setiap para wajib pajak yang berada di dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan
berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya, termasuk:
a) Biaya yang secara langsung atau tidak berkaitan dengan kegiatan usaha
b) Penyusutan atas pengeluaran untuk harta berwujud
c) Iuran kepada dana pensiun
d) Kerugian karena penjualan
e) Keruian selisih kurs mata uang asing
f) Penelitian dan pengembangan perusahaan
g) Biaya beasiswa,magang dan pelatihan
h) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
i) Sumbangan penanggulangan bencana
j) Sumbangan penelitian dan pengembangan
k) Pembangunan infrastruktur sosial

SLIDE 16/Prof Apollo
SLIDE 16/Prof Apollo

Biaya yang tidak boleh dikurangkan (Non Deductible Expenses)
a) Pembagian laba seperti dividen
b) Biaya yang dibebankan untuk kebutuhan kepentingan pribadi para pemegang saham
c) Pembentukan dana cadangan
d) Premi asuransi
e) Imbalan sehubungan pekerjaan dalam bentuk natura
f) Jumlah yang melebihi nilai kewajaran yang dibayarkan kepada para  pemegang saham
g) Harta yang dihibahkan,bantuan atau sumbangan
h) Biaya yang dibebankan untuk kepentingan pribadi
i) Gaji anggota persekutuan,firma
j) Sanksi administrasi serta sanksi pidana yang terkait berkenaan UU perpajakan
k) Pengerluaran yang masa manfaat lebih dari 1 tahun
l) Biaya atau beban untuk menagih penghasilan yang pajaknya bersifat final
m) pajak penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan
n) Kerugian dari harta yang tidak dipakai dalam usaha untuk melakukan penagihan penghasilan yang merupakan
objek pajak

SLIDE 17/Prof Apollo
SLIDE 17/Prof Apollo

Upaya Mengefisiensikan Pembayaran PPh Badan

1. Memilih Sistem Pembukuan yang Tepat

Memilih sistem pembukuan yang sesuai dengan kebutuhan dan kompleksitas bisnis dapat membantu wajib pajak mencatat dan melaporkan transaksi secara akurat. Sistem yang tepat memudahkan identifikasi dan pelaporan biaya yang deductible serta penghasilan yang taxable, sehingga membantu dalam perencanaan pajak yang efisien.

Contoh: Perusahaan kecil dapat menggunakan sistem pembukuan sederhana berbasis cash, sedangkan perusahaan besar menggunakan sistem accrual untuk mencatat pendapatan dan biaya saat terjadinya transaksi.

2. Pemilihan Metode Penyusutan Aktiva Tetap dan Amortisasi Atas Aktiva Tidak Berwujud

Memilih metode penyusutan yang tepat untuk aktiva tetap dan metode amortisasi untuk aktiva tidak berwujud dapat mengurangi beban pajak tahunan dengan mendistribusikan biaya aset selama masa manfaatnya.

Contoh: Perusahaan memilih metode penyusutan garis lurus (straight line method) untuk bangunan dan metode saldo menurun (declining balance method) untuk mesin agar mendapatkan manfaat pajak yang lebih besar di awal penggunaan aset.

3. Memilih Metode Penilaian Persediaan

Pemilihan metode penilaian persediaan yang tepat dapat mempengaruhi jumlah laba kena pajak. Metode yang berbeda menghasilkan biaya persediaan yang berbeda, yang pada gilirannya mempengaruhi laba kotor.

Contoh: Perusahaan memilih metode FIFO (First In, First Out) saat harga bahan baku naik, sehingga biaya persediaan yang dilaporkan lebih rendah dan laba lebih tinggi, tetapi di sisi lain, mereka juga bisa memilih metode LIFO (Last In, First Out) saat harga bahan baku turun untuk melaporkan biaya persediaan yang lebih tinggi dan laba lebih rendah.

4. Pemilihan Pemberian Kesejahteraan kepada Karyawan dalam Bentuk Natura atau secara Cash

Memilih untuk memberikan kesejahteraan kepada karyawan dalam bentuk natura atau tunai dapat mempengaruhi beban pajak. Beberapa bentuk natura tidak dikenakan pajak, sementara tunai biasanya dianggap sebagai pendapatan karyawan dan dikenakan pajak.

*Contoh*: Perusahaan memberikan fasilitas kesehatan atau kendaraan dinas (natura) yang tidak dikenakan pajak daripada memberikan tunjangan kesehatan atau transportasi dalam bentuk tunai yang dikenakan pajak penghasilan.

SLIDE 18/Prof Apollo
SLIDE 18/Prof Apollo

SLIDE 19/Prof Apollo
SLIDE 19/Prof Apollo

a) Metode Perhitungan Penghasilan dan Biaya (Stelsel Akrual vs Stelsel Kas)

Stelsel Akrual
-Pengakuan Penghasilan: Penghasilan diakui pada waktu diperoleh, tidak peduli kapan kas diterima.
-Pengakuan Biaya: Biaya diakui pada waktu terutang, tidak peduli kapan kas dibayar.

Contoh:
-Penghasilan: Perusahaan memberikan jasa pada bulan Mei, tetapi pembayaran diterima pada bulan Juli. Menurut stelsel akrual, penghasilan diakui pada bulan Mei.
-Biaya: Perusahaan menerima tagihan listrik pada bulan Desember yang dibayar pada bulan Januari tahun berikutnya. Menurut stelsel akrual, biaya diakui pada bulan Desember.

Stelsel Kas
-Pengakuan Penghasilan: Penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan apabila telah diterima secara tunai.
-Pengakuan Biaya*: Biaya dianggap sebagai biaya apabila telah dibayar secara tunai.

Contoh:
-Penghasilan: Perusahaan memberikan jasa pada bulan Mei, tetapi pembayaran diterima pada bulan Juli. Menurut stelsel kas, penghasilan diakui pada bulan Juli.
-Biaya: Perusahaan menerima tagihan listrik pada bulan Desember yang dibayar pada bulan Januari tahun berikutnya. Menurut stelsel kas, biaya diakui pada bulan Januari.

b) Analisis Perbandingan Pembukuan dengan Pencatatan

Pembukuan
Definisi: Proses mencatat, mengklasifikasikan, dan meringkas transaksi keuangan dalam buku besar atau jurnal.
Fungsi: Memberikan informasi keuangan yang lengkap, termasuk aktiva, kewajiban, ekuitas, penghasilan, dan biaya.
Tujuan: Menyediakan gambaran menyeluruh tentang posisi keuangan perusahaan yang berguna untuk pengambilan keputusan dan pelaporan pajak.

Contoh:
-Perusahaan menggunakan sistem akuntansi komputerisasi untuk mencatat semua transaksi penjualan, pembelian, pembayaran gaji, dan biaya operasional.

Pencatatan
-Definisi: Proses mengumpulkan data tertentu tentang peredaran bruto dan atau pendapatan bruto yang akan digunakan sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang.
-Fungsi: Memastikan bahwa data yang dikumpulkan cukup untuk memenuhi kebutuhan pelaporan pajak.
-Tujuan: Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan akurat berdasarkan data yang dikumpulkan.

Contoh:
-Seorang pedagang kecil mencatat total penjualan harian dan pengeluaran tunai harian dalam buku kas sederhana untuk pelaporan pajak.

SLIDE 20/Prof Apollo
SLIDE 20/Prof Apollo
Keuntungan Menyelenggarakan Pembukuan vs Pencatatan

1. Harga Pokok dan Biaya Usaha
-Pencatatan: Tidak boleh diperhitungkan. Dalam pencatatan sederhana, harga pokok dan biaya usaha tidak diperhitungkan untuk menghitung penghasilan kena pajak.
 
Contoh: Seorang pedagang kecil mencatat total penjualan hariannya tetapi tidak memperhitungkan biaya pembelian barang dagangan atau biaya operasional lainnya.

-Pembukuan: Bisa diperhitungkan (pengeluaran yang deductible). Dalam pembukuan, semua biaya usaha yang dikeluarkan dapat diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto untuk menghitung penghasilan kena pajak.
 
Contoh: Sebuah perusahaan menggunakan sistem pembukuan untuk mencatat penjualan dan semua biaya terkait, seperti biaya bahan baku, gaji karyawan, dan biaya sewa, yang semuanya dapat mengurangi penghasilan bruto untuk menghitung penghasilan kena pajak.

2. Kompensasi Kerugian

-Pencatatan: Tidak boleh diperhitungkan. Kerugian yang terjadi dalam tahun berjalan tidak dapat dikompensasikan ke tahun berikutnya.
 
Contoh: Seorang pedagang kecil yang mencatat penghasilan bruto tetapi mengalami kerugian tahun ini tidak bisa menggunakan kerugian tersebut untuk mengurangi pajak pada tahun berikutnya.

-Pembukuan: Bisa dikompensasikan ke tahun berikutnya. Kerugian yang terjadi dalam tahun berjalan dapat dikompensasikan ke penghasilan di tahun-tahun berikutnya.
 
-Contoh: Sebuah perusahaan mengalami kerugian pada tahun 2023 dan menggunakan kerugian tersebut untuk mengurangi penghasilan kena pajak pada tahun 2024.

3. Penetapan Penghasilan Kena Pajak

-Pencatatan: Sesuai norma perhitungan penghasilan neto. Penghasilan kena pajak ditentukan berdasarkan norma perhitungan yang ditetapkan oleh otoritas pajak.
 
Contoh: Seorang pedagang menggunakan norma penghasilan neto yang ditetapkan oleh otoritas pajak untuk menghitung penghasilan kena pajak, terlepas dari pengeluaran riil yang terjadi.

-Pembukuan: Sesuai kondisi riil: Penghasilan - Pengeluaran deductible. Penghasilan kena pajak dihitung berdasarkan penghasilan yang sebenarnya dikurangi pengeluaran yang dapat dikurangkan.
 
Contoh: Sebuah perusahaan menghitung penghasilan kena pajak dengan mengurangi penghasilan bruto dengan semua biaya usaha yang dapat dikurangkan, seperti biaya produksi, administrasi, dan pemasaran.

4. Bila Perusahaan Mengalami Kerugian

-Pencatatan: PPh tetap harus dibayar sesuai norma. Meskipun mengalami kerugian, perusahaan tetap harus membayar PPh berdasarkan norma perhitungan penghasilan neto.
 
Contoh: Seorang pedagang kecil yang menggunakan norma perhitungan tetap harus membayar PPh meskipun usahanya merugi.

-Pembukuan: PPh nihil. Jika pembukuan menunjukkan kerugian, perusahaan tidak perlu membayar PPh.
 
Contoh: Sebuah perusahaan yang mencatat kerugian tahun ini tidak perlu membayar PPh karena penghasilan kena pajak adalah nihil atau negatif.

SLIDE 21/Prof Apollo
SLIDE 21/Prof Apollo

Berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 yang sejak terakhir kali diganti dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 mengenai Pajak Penghasilan, ada dua metode penyusutan yang diperbolehkan untuk aktiva tetap dan amortisasi aktiva tidak berwujud:

1. Metode Garis Lurus (Straight-Line Method)
-Penjelasan: Metode ini menghasilkan beban penyusutan yang sama setiap tahunnya selama masa manfaat aset tersebut, jika nilai residunya tidak berubah.
-Contoh: Misalkan sebuah mesin dibeli dengan harga Rp 100.000.000 dan memiliki umur manfaat 10 tahun serta nilai residu Rp 10.000.000. Beban penyusutan tahunan dihitung sebagai (Rp 100.000.000 - Rp 10.000.000) / 10 = Rp 9.000.000.

2. Metode Saldo Menurun Ganda (Declining Balance Method)
-Penjelasan: Metode ini menghasilkan beban penyusutan yang menurun selama masa manfaat aset. Penyusutan dihitung dengan menerapkan tarif penyusutan tertentu pada nilai sisa buku aset.
-Contoh: Misalkan sebuah mesin dibeli dengan harga Rp 100.000.000 dan memiliki umur manfaat 10 tahun. Tarif penyusutan yang digunakan adalah 20%. Pada tahun pertama, beban penyusutan adalah 20% x Rp 100.000.000 = Rp 20.000.000. Pada tahun kedua, beban penyusutan adalah 20% x (Rp 100.000.000 - Rp 20.000.000) = Rp 16.000.000, dan seterusnya.

Kedua metode ini memiliki tujuan untuk mengalokasikan biaya perolehan aset tetap dan aktiva tidak berwujud selama masa manfaatnya secara sistematis dan rasional, sehingga dapat mencerminkan nilai aset yang semakin menurun seiring waktu pemakaian.

FDFD/PROF APOLLO
FDFD/PROF APOLLO

SLIDE 23/Prof Apollo
SLIDE 23/Prof Apollo

SLIDE24/PROF APOLLO
SLIDE24/PROF APOLLO

SLIDE 25/PROF APOLLO
SLIDE 25/PROF APOLLO

SLIDE 26/PROF APOLLO
SLIDE 26/PROF APOLLO

SLIDE 27/PROF APOLLO
SLIDE 27/PROF APOLLO

Pemberian Kesejahteraan dalam Bentuk Natura

Pemberian kesejahteraan kepada karyawan dalam bentuk natura (barang atau fasilitas) dapat memberikan keuntungan dan efisiensi bagi perusahaan. Namun, ada kondisi di mana pemberian natura kurang cocok, yaitu:

1. Pada Perusahaan yang Sedang Mengalami Kerugian:
-Jika perusahaan sedang mengalami kerugian, memberikan natura mungkin tidak efisien karena perusahaan perlu menghemat biaya operasional. Memberikan natura bisa berarti menambah beban biaya yang tidak dapat di-offset dengan penghasilan.

2. Perusahaan yang Dikenakan PPh Badan  Final:
-Perusahaan yang dikenakan pajak penghasilan badan secara final tidak dapat memanfaatkan pengurangan biaya pengganti atau imbalan dalam bentuk natura dari penghasilan bruto, sehingga tidak ada keuntungan pajak dari pemberian natura tersebut.

Contoh:
-Memberikan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai.
-Penyediaan bus antar-jemput pegawai.

Jenis Natura yang Tidak Menjadi Objek Pajak

Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UU HPP, biaya pengganti atau imbalan yang diberikan dalam bentuk natura yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, kecuali untuk lima jenis natura berikut yang tidak menjadi objek pajak:

1. Penyediaan makanan/minuman bagi seluruh pegawai.
2. Natura di daerah tertentu.
3. Natura karena keharusan pekerjaan (misalnya, alat keselamatan kerja atau seragam).
4. Natura yang berasal dari APBN dan APBD.
5. Natura dengan jenis dan batasan tertentu.

Pengoptimalan Kesejahteraan Karyawan

Untuk mengoptimalkan kesejahteraan karyawan dengan efisiensi pajak, perusahaan dapat mempertimbangkan metode yang berkaitan dengan pengeluaran biaya, seperti:

1. PPh Pasal 21 Karyawan:

-Beban PPh Pasal 21 Ditanggung Karyawan:
-Perusahaan hanya bertindak sebagai pemotong pajak. Biaya PPh Pasal 21 tidak tercatat dalam laporan laba rugi perusahaan.

-Tunjangan PPh Pasal 21:
-Karyawan menerima tunjangan untuk PPh Pasal 21 yang dicantumkan dalam slip gaji dan SPT PPh Pasal 21 karyawan (form 1720).


-PPh Pasal 21 Ditanggung Perusahaan:
-PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan, tetapi bukan sebagai tunjangan. Hal ini dianggap sebagai kenikmatan dan tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

Dengan mempertimbangkan pilihan ini, perusahaan dapat menyesuaikan strategi pemberian kesejahteraan karyawan yang efisien dan sesuai dengan kondisi keuangan serta peraturan perpajakan yang berlaku.

SLIDE 28/PROF APOLLO
SLIDE 28/PROF APOLLO

SLIDE 29/PROF APOLLO
SLIDE 29/PROF APOLLO

SLIDE30/PROF APOLLO
SLIDE30/PROF APOLLO

SLIDE 31/PROF APOLLO
SLIDE 31/PROF APOLLO

SLIDE 32/PROF APOLLO
SLIDE 32/PROF APOLLO

Pengobatan/Kesehatan Karyawan

1. Reimbursement Kwitansi Biaya Medical:
-Penjelasan: Perusahaan mengganti biaya pengobatan karyawan berdasarkan kwitansi dari dokter, klinik, atau rumah sakit.
-Contoh: Seorang karyawan mengeluarkan biaya Rp 1.000.000 untuk pengobatan di rumah sakit dan mengajukan reimbursement kepada perusahaan.

2. Tunjangan Pengobatan atau Kesehatan (Medical Allowance):
-Penjelasan: Perusahaan memberikan tunjangan kesehatan setiap bulan kepada karyawan, baik dalam keadaan sakit maupun tidak.
-Contoh: Karyawan menerima tunjangan kesehatan sebesar Rp 500.000 setiap bulan, terlepas dari apakah mereka sakit atau tidak.

3. Pengobatan di Rumah Sakit/Klinik/Dokter Langganan:
-Penjelasan: Karyawan mendapatkan pengobatan di fasilitas medis yang telah bekerja sama dengan perusahaan.
-Contoh: Karyawan berobat di klinik langganan perusahaan tanpa perlu membayar langsung, karena biaya sudah ditanggung perusahaan.

4. Perusahaan Mendirikan Rumah Sakit/Klinik:
-Penjelasan: Perusahaan mendirikan fasilitas medis sendiri untuk melayani kebutuhan kesehatan karyawan.
-Contoh: Perusahaan memiliki klinik internal dengan dokter dan perawat yang siap melayani kebutuhan kesehatan karyawan.

Pembayaran Premi Asuransi untuk Pegawai

-Penjelasan: Pembayaran asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan pegawai dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan, namun premi tersebut dianggap sebagai penghasilan bagi pegawai.
-Contoh: Perusahaan membayar premi asuransi kesehatan karyawan sebesar Rp 1.000.000 per tahun, dan jumlah tersebut dianggap sebagai penghasilan karyawan.

Iuran Pensiun dan Iuran JHT/THT

-Penjelasan:
-Disahkan oleh Menteri Keuangan: Boleh dijadikan biaya perusahaan.
-Belum disahkan oleh Menteri Keuangan: Tidak boleh dijadikan biaya perusahaan.
-Contoh: Jika perusahaan membayar iuran pensiun dan disahkan oleh Menteri Keuangan, biaya tersebut bisa dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan.

Perumahan untuk Karyawan

-Penjelasan:
-Dibeli/dibuat, disewa, memberikan penggantian sewa, atau memberikan tunjangan perumahan.
-Natura: Tidak dapat dijadikan biaya.
-Bentuk uang: Dapat dijadikan biaya.
-Contoh:* Perusahaan menyewa rumah untuk karyawan dan biaya sewa tersebut dapat dijadikan biaya perusahaan.

Transportasi untuk Karyawan

-Penjelasan:
-Biaya kendaraan antar jemput dan kendaraan yang dibawa pulang merupakan biaya perusahaan dan bukan penghasilan karyawan.
-Tunjangan transport merupakan penghasilan bagi karyawan dan biaya bagi perusahaan.
-Contoh: Perusahaan menyediakan bus antar jemput untuk karyawan atau memberikan tunjangan transportasi bulanan yang dicatat sebagai biaya perusahaan dan dikenakan PPh 21 bagi karyawan.

Pakaian Seragam untuk Karyawan

-Penjelasan:
-Dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan penghasilan untuk pegawai.
-Keharusan dalam melaksanakan pekerjaan (misalnya, keselamatan kerja).
-Contoh: Perusahaan memberikan seragam kerja yang wajib dipakai karyawan saat bekerja dan biaya tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan.

Perjalanan Dinas Karyawan

-Penjelasan:
-Biaya perjalanan dinas dalam rangka tugas perusahaan dapat dijadikan biaya perusahaan dan bukan penghasilan karyawan.
-Uang saku tunai merupakan penghasilan karyawan.
-Contoh: Biaya tiket pesawat dan akomodasi selama perjalanan dinas dicatat sebagai biaya perusahaan, sedangkan uang saku harian dianggap sebagai penghasilan karyawan.

Bonus dan Jasa Produksi

-Penjelasan:
-Bonus dan gratifikasi dapat dibebankan pada tahun berjalan.
-Tantiem tidak dibebankan tetapi dikenakan PPh 21.
-Contoh: Bonus yang dibayarkan kepada karyawan pada akhir tahun dicatat sebagai biaya pada tahun tersebut, sedangkan tantiem untuk direksi dikenakan PPh 21.

Pemberian Natura di Daerah Tertentu dan Terpencil

-Penjelasan:
-Pemberian natura atau kenikmatan di daerah tertentu boleh dibebankan sebagai biaya.
-Penetapan daerah tertentu berlaku untuk jangka waktu 5 tahun dan dapat diperpanjang satu kali.
-Contoh: Perusahaan menyediakan makanan dan minuman bagi karyawan yang bekerja di daerah terpencil dan biaya tersebut dapat dijadikan biaya perusahaan.

SLIDE 33/PROF APOLLO
SLIDE 33/PROF APOLLO

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun