Komunikasi persuasi tidak dapat dijauhkan dari kehidupan sehari-hari, terutama dalam bersosialisasi dengan orang lain. Komunikasi persuasi merupakan proses simbolik dimana komunikator (orang yang mempersuasi) berusaha meyakinkan orang lain (komunikan/orang yang dipersuasi) untuk mengubah sikap, perilaku, atau pola pikirnya mengenai suatu permasalahan melalui penyampaian pesan dalam suasana pilihan bebas (Perloff, 2017:22).
Persuasi biasanya dilakukan saat kita ingin membujuk teman atau keluarga kita untuk melakukan sesuatu, seperti saat membujuk orangtua kita agar mau mengizinkan kita pergi ke acara teman, meminta kakak untuk mau membelikan barang untuk kita, mengajak teman untuk mau ikut pergi menonton di bioskop, dan lain sebagainya. Persuasi juga digunakan oleh para sales saat mempromosikan produk-produknya kepada calon konsumen untuk mau membeli produk-produk mereka.
Sayangnya, proses persuasi tidak semudah itu, di mana seseorang yang dipersuasi langsung meng-iya-kan bujukan atau ajakan kita. Apalagi dalam persuasi ada suasana pilihan bebas atau mereka berkehendak bebas untuk memilih mau menerima persuasi kita, menolaknya, maupun ketidakterlibatan akan persuasi yang diberikan. Mereka mempertimbangkan posisi atau tanggapan mereka dengan sikapnya lalu menentukan apakah mereka perlu menerima posisi/gagasan yang dianjurkan dalam persuasi atau tidak (Perloff, 2017:117).
Hal ini dibahas dalam Teori Pertimbangan Sosial (Social Judgment Theory) oleh Muzafer Sherif mengenai garis lintang yang membagi tanggapan seseorang akan persuasi yang diberikan menjadi wilayah penerimaan, penolakan, dan ketidakterlibatan. Seseorang dalam wilayah penerimaan jika dia menganggap gagasan yang dipersuasi itu masuk akal dan dapat menerima gagasan itu. Jika dalam wilayah penolakan, berarti orang yang dipersuasi menganggap bahwa gagasan itu tidak masuk akal dan tidak mau menerima gagasan yang diberikan. Namun, jika seseorang dalam wilayah ketidakterlibatan, dia tidak ada pendapat atas gagasan yang diberikan atau dia tidak menerima ataupun tidak menolak gagasan tersebut. (Griffin, 2012:195)
Dalam hal tersebut, keterlibatan ego seseorang mempengaruhi dalam tanggapan atau efek atas persuasi yang diberikan. Jika seseorang yang dipersuasi sudah memiliki pendirian yang kuat, maka dia lebih susah dipersuasi atau dibujuk dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki pendirian kuat atas gagasan dari persuasi. Penolakan yang luas merupakan tanda khas dari keterlibatan ego yang tinggi (Griffin, 2012:196).
Contohnya saat seorang sales dari brand baru hendak mempromosikan produk kosmetiknya kepada suatu calon konsumen. Jika calon konsumen tersebut belum memiliki banyak pengetahuan akan produk yang ditawarkan, maka sang sales akan lebih mudah mempersuasinya dengan menonjolkan fungsi produk, bahan dasarnya, kelebihannya daripada produk lain, dan sebagainya. Namun, jika calon konsumen tersebut mengetahui banyak bidang kosmetiknya dan paham betul akan produk yang dijual dengan produk dari brand lain sehingga dia dapat membandingkannya dengan pengetahuan dan pengalaman yang didapat sebelumnya.
Menurut teori Pertimbangan Sosial, setelah seseorang menilai suatu gagasan baru berada dalam batas penerimaannya, dia akan menyesuaikan sikapnya untuk mengakomodasi gagasan baru tersebut. Namun jika berada di batas penolakan orang tersebut, maka dia akan menyesuaikan sikapnya namun menjauh dari gagasan yang dipersuasi. Sebagian besar pesan atau gagasan yang ditujukan untuk membujuk seseorang malah berisiko membuat mereka semakin menjauh daripada tertarik terhadap gagasan tersebut dan menjadi efek boomerang bagi orang yang mempersuasi. (Griffin: 2011:198-199)
Misalnya dalam contoh komunikasi sales dengan calon konsumen tadi. Sang sales masih berjuang membujuk calon konsumen untuk mau membeli produknya, dia terus menjelaskan kelebihan produk, manfaatnya, dan lain sebagainya. Mungkin pada awalnya calon konsumen masih mau mendengarkan gagasan yang ditawarkan oleh sang sales dan masih pada batas penerimaan. Namun, jika gagasan itu ‘dipaksakan’, tanpa mengetahui apa kebutuhan atau keinginan calon konsumen, lama-kelamaan dia berada di batas penolakannya dan menjauh dari gagasan untuk membeli produk yang ditawarkan, daripada tertarik untuk membelinya. Calon konsumen berubah sikap, berlawanan dengan gagasan yang disampaikan oleh sales tersebut dan hal ini menjadi efek boomerang oleh sang sales karena calon konsumen tersebut menjauh dan bukannya tertarik pada posisi sikap yang ditempati.
Oleh karena itu, dalam mempersuasi seseorang, kita perlu memahami batas penerimaan dan penolakan dari orang tersebut, sehingga kita dapat mengetahui strategi apa yang tepat dalam memahami orang tersebut. Kita perlu memiliki pengetahuan akan pendengar atau orang yang hendak kita persuasi sebelum kita membujuk lebih lanjut dan malah melebihi batas penerimaan mereka sehingga mereka menjauh dari gagasan yang kita persuasi daripada tertarik dan menerimanya.
Sang sales tidak dapat memaksa gagasan kepada calon konsumen untuk membeli produknya, sales itu perlu mendengarkan dahulu, apa kebutuhan dan keinginan dari calon konsumennya, bagaimana gagasan awal mereka akan produk tersebut. Setelah itu, sales juga dapat mencari kesamaan dan menggunakan strategi lain untuk mempersuasi calon konsumen dengan tetap membuka pilihan bebas dan tanpa paksaan sehingga tidak melewati batas penerimaan dari calon konsumen.