Hujan deras mengguyur kota, membasahi tubuh ringkih ayah yang sedang mengais sampah di antara tumpukan barang rongsokan. Tetesan air hujan bercampur dengan keringat di wajahnya yang keriput, tetapi ayah tak bergeming. Ia terus mencari botol-botol plastik dan kardus bekas yang masih bisa dijual, seolah tak peduli dengan dingin yang menusuk tulang.
"Masih kurang... masih kurang..." gumamnya lirih, matanya melirik mencari barang-barang yang masih bisa dijual. Namun, pandangannya mulai kabur, kepalanya terasa berputar. Badannya menggigil, bukan hanya karena dingin, tetapi juga karena rasa lelah yang teramat sangat.
Di rumah, aku menunggu dengan hati cemas. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tetapi ayah belum juga pulang. Aku tahu, selain mengajar di sekolah, ayahku juga terpaksa memulung untuk menambah penghasilan. Gaji sebagai guru honorer tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Raut wajahku semakin khawatir melihat hujan yang tak kunjung reda.
"Kenapa nasib guru seperti ayah begitu miris?" batin, amarah, dan kesedihan bercampur aduk dalam hatiku.
Aku teringat berita-berita di televisi tentang korupsi yang merajalela, tentang pejabat-pejabat yang hidup bergelimang harta, sementara guru-guru seperti ayahku harus berjuang mati-matian demi sesuap nasi.
"Mereka yang korupsi enak-enakan, hidup mewah, sementara ayah yang berjasa mencerdaskan anak bangsa harus memulung di jalanan di tengah hujan deras seperti ini," gerutunya dengan air mata berlinang.
Dunia ini tidak adil. Guru, yang seharusnya dihormati dan dihargai, justru terpinggirkan. Padahal, tanpa guru, tak akan ada dokter, insinyur, atau pemimpin bangsa.
Tiba-tiba, terdengar suara benda jatuh dari luar, diiringi dengan batuk yang menyayat hati. Aku terkejut, jantungku berdebar kencang. Aku lekas bergegas keluar rumah, melawan derasnya hujan, mencari sumber suara.
"Ayah!" ku berteriak dengan kencang saat melihat ayahku tergeletak di pinggir jalan, tubuhnya menggigil kedinginan. Kantong plastik berisi barang rongsokan berserakan di sekitarnya.
Wajahnya pucat pasi, bibirnya membiru. Aku panik, mencoba membangunkannya dengan segala cara, tetapi tubuh ayah terasa dingin. Air mataku bercampur dengan air hujan membasahi wajahnya.
"Ayah... bangun, Ayah!" ku menangis, memeluk tubuh ayahku yang lemas.
Dengan susah payah, aku membopong ayahku ke kamarnya. Aku membaringkannya di tempat tidur, lalu menyelimuti tubuhnya dengan kain tebal. Aku mengusap kening ayahku yang berkeringat dingin.
"Ayah... bertahanlah, Ayah..." ucapku lirih dengan air mata yang tak terbendung lagi.
Dalam keadaan setengah sadar, ayah menggenggam tanganku. "Maafkan Ayah, Nak... Ayah hanya ingin..."
Suaranya terhenti, napasnya tersendat-sendat. Aku memeluk ayah dengan erat. Hatiku hancur melihat kondisi ayah yang semakin lemah.
"Ayah... jangan tinggalkan Nino..." isakku pilu.
Ayah berusaha tersenyum, tetapi senyumnya terlihat begitu lemah. "Nino... jadilah anak yang baik... raihlah cita-citamu..."
Napas ayah semakin melemah. Genggaman tangannya mengendur. Aku terisak, tahu bahwa ayah telah pergi meninggalkanku untuk selamanya. Hujan di luar masih deras, seakan menangisi kepergian seorang pahlawan tanpa tanda jasa.
Di tengah kesedihan yang mendalam, aku berjanji dalam hati. Aku akan mewujudkan impian ayah, menjadi orang sukses, dan memperjuangkan nasib guru agar tidak ada lagi guru yang harus menderita seperti ayahku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H