Dengan susah payah, aku membopong ayahku ke kamarnya. Aku membaringkannya di tempat tidur, lalu menyelimuti tubuhnya dengan kain tebal. Aku mengusap kening ayahku yang berkeringat dingin.
"Ayah... bertahanlah, Ayah..." ucapku lirih dengan air mata yang tak terbendung lagi.
Dalam keadaan setengah sadar, ayah menggenggam tanganku. "Maafkan Ayah, Nak... Ayah hanya ingin..."
Suaranya terhenti, napasnya tersendat-sendat. Aku memeluk ayah dengan erat. Hatiku hancur melihat kondisi ayah yang semakin lemah.
"Ayah... jangan tinggalkan Nino..." isakku pilu.
Ayah berusaha tersenyum, tetapi senyumnya terlihat begitu lemah. "Nino... jadilah anak yang baik... raihlah cita-citamu..."
Napas ayah semakin melemah. Genggaman tangannya mengendur. Aku terisak, tahu bahwa ayah telah pergi meninggalkanku untuk selamanya. Hujan di luar masih deras, seakan menangisi kepergian seorang pahlawan tanpa tanda jasa.
Di tengah kesedihan yang mendalam, aku berjanji dalam hati. Aku akan mewujudkan impian ayah, menjadi orang sukses, dan memperjuangkan nasib guru agar tidak ada lagi guru yang harus menderita seperti ayahku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H