Mohon tunggu...
Ignatius Jovan Liem
Ignatius Jovan Liem Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - SMA Kanisius

Seorang siswa biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bergumul Merajut Asa Toleransi Melalui Ekskursi

17 November 2024   11:16 Diperbarui: 17 November 2024   11:16 1274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekskursi SMA Kanisius 2024 di Pondok Pesantren Al-Marjan, Lebak. Sumber: Dokumentasi Pribadi

"Tidak penting apapun agamamu atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu."

Pagi itu, tampak sekelompok siswa berbondong-bondong menuju bus-bus kecil. Sambil membawa tas kecil, mengenakan baju berwarna biru, dan bercengkrama bersama temannya, mereka duduk di tempat duduk masing-masing. Antisipasi dan rasa semangat tampak di wajah mereka, seolah tak sabar untuk tiba di Pondok Pesantren Al Marjan, Lebak. 

Ekskursi, kegiatan yang sedang diikuti mayoritas siswa dengan agama Kristiani itu, adalah suatu kegiatan lintas agama dengan tema "Embrace, Share, and Celebrate Our Faith" yang menjunjung tinggi nilai keberagaman dan toleransi agama. Sebagai kegiatan yang menyediakan momen pembelajaran di luar kelas, kegiatan Ekskursi sangat dinantikan oleh siswa Kolese Kanisius, memperkaya pengalaman dan wawasan mereka akan dunia.

Nilai toleransi, sebuah kata yang kerap disambungkan dengan keberagaman, merupakan istilah yang tidak asing bagi generasi muda Indonesia. Namun, sebenarnya bagaimana para generasi muda memaknai kata tersebut? Bagaimana toleransi nampak dalam dinamika siswa SMA Kanisius dengan para santri di Pondok Pesantren Al Marjan? 

Merajut Semangat di Al-Marjan

Setibanya di Pondok Pesantren Al-Marjan, mereka lekas disambut oleh para santri. Sambil membopong tas-tas yang tampak agak berat, mereka langsung diantarkan ke sebuah ruangan besar untuk beristirahat. Walau ada banyak keluhan mengenai kebersihan ruangan yang jarang diperhatikan ketika di rumah, mereka tampak senang bisa tiba di tempat itu.

Salah satu dinamika yang menarik dan unik di Pondok Pesantren adalah cara makan. Ya, makan, sebuah kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, dibungkus dengan cara yang agak unik di sini.

Bayangkan anak-anak kota yang biasanya makan dengan piring dan sendok sendiri, dengan lauk yang beragam dan banyak, diminta untuk makan bersama-sama dalam satu nampan besar. Sekitar 6-8 orang dengan posisi jongkok mengitari satu nampan dengan lauk yang seadanya, hanya sayur basah dan udang rebon, dan dimakan menggunakan tangan.

Awalnya, ada banyak keluhan dari para Kanisian (sebutan siswa Kanisius). Mereka mengeluh tentang kebersihan makan memakai tangan. Ada juga keluhan tentang kaki yang letih karena berjongkok dan lauk yang tidak cukup bagi mereka. Namun, mereka tetap bisa bertahan dengan cara makan seperti itu selama dua malam tiga hari kegiatan ekskursi berlangsung.

Selain makan, para Kanisian turut terpukau dengan kegiatan keagamaan yang ada di Pondok Pesantren. Mereka dipaksa keluar dari zona nyaman dengan turut ikut bangun jam tiga pagi untuk mengikuti sahur dan puasa pada hari Kamis. Jadwal yang padat, mulai dari pengajian, sholat wajib, Istiqosah, dan lainnya, membuat mereka cukup lelah di sini.

Bahkan sebuah dinamika doa sampai membuat para Kanisian terpelanga. Durasi dari kegiatan tersebut mencapai lebih dari dua jam dengan pembicaranya membacakan teks Al-Quran yang tidak dimengerti para siswa Kanisius itu. Pembicara juga berbicara dengan kecepatan tinggi dan mengulang teks yang dibacakan beberapa kali.

Haru Dalam Perpisahan

Setelah berbagai dinamika itu, perpisahan menjadi momen yang tak dapat dihindari. Pagi itu, tampak mereka berkumpul di Aula. Dengan para santri yang menyoraki, mereka perlahan mengambil tas dan hendak menuju bus pulang. 

Sempat dihadang oleh para santri yang meminta foto dan tanda tangan, menandakan waktu perpisahan semakin dekat. Seolah tidak akan interaksi lagi, seolah ada perpisahan, para santri begitu enggan melepaskan kepergian Kanisian.

Walau terlihat sekilas berbeda dengan anak-anak santri, bukan hanya warna kulit anak usia tujuh belas tahunan itu tampak lebih putih bersih, kepercayaan mayoritas dari mereka juga berbeda, keakraban di dalamnya tak bisa dipalsukan.

Momen haru inilah yang menampakan persaudaraan dalam suatu miniatur Indonesia. Sesuai dengan semboyan negara Indonesia, "Bhinneka Tunggal Ika". Generasi muda bangsa bersama bergumul merajut asa.

"Kalau semuanya tiba-tiba akrab, artinya sebentar lagi akan ada perpisahan."

Toleransi Menuju Harmoni

Keberagaman yang dimiliki Indonesia merupakan sebuah anugerah sekaligus tantangan. Dengan keberagaman, Indonesia memiliki kekayaan budaya, tradisi, bahasa, dan agama yang luar biasa. Namun, keberagaman tersebut  berpotensi menimbulkan  gesekan  dan  konflik  jika  tidak  dikelola  dengan  baik.  Oleh  karena  itu,  para  pendiri  bangsa  dengan  bijak  menetapkan  keberagaman  sebagai  fondasi  persatuan  bangsa,  sebagaimana  tercermin  dalam  Sumpah  Pemuda  dan  Pancasila.

Sumpah Pemuda yang diikrarkan tanggal 28 Oktober 1928 merupakan tonggak sejarah dalam Bangsa Indonesia. Sumpah tersebut merupakan perwujudan dari persatuan para pemuda yang berasal dari ras, daerah, suku, dan agama yang berbeda. Ikrar tersebut bukan hanyalah ucapan di atas kertas, tetapi juga sebagai komitmen penegas untuk majunya Bangsa Indonesia.

Pancasila,  sebagai  dasar  negara  Indonesia,  menyatukan persepsi masyarakat kita tentang keberagaman. Sila ketiga, "Persatuan Indonesia" menekankan pentingnya persatuan di atas segala perbedaan yang ada. Pancasila mengajarkan kita bahwa semua Bangsa Indonesia layak mendapat perlakuan yang sama, tanpa memandang latar belakang yang berbeda.

Perjumpaan  langsung  antarindividu  dari  berbagai  latar  belakang  merupakan  cara  yang  efektif  untuk  meminimalisir  prasangka  dan  memperkuat  hubungan  sosial.  Melalui  interaksi  langsung,  individu  dapat  saling  mengenal,  memahami,  dan  menghargai  perbedaan.  Teori  Kontak  (Contact  Hypothesis)  yang  dikemukakan  oleh  Gordon  Allport  menjelaskan  bahwa  kontak  antar  kelompok  yang  berbeda  dalam  kondisi  yang  setara  dan  kolaboratif  dapat  mengurangi  prasangka  dan  meningkatkan  toleransi.

Salah satu penerapan dari metode tersebut adalah kegiatan ekskursi 2024 ini. Program ini memberikan kesempatan bagi siswa Kanisius yang mayoritas beragama Katolik untuk dapat bertemu dan berdinamika langsung dengan para santri yang memiliki keyakinan lain. Melalui program ini, siswa dapat mempelajari budaya dan tradisi lain, menjalin persahabatan, dan menghilangkan prasangka buruk.

Toleransi bagi para Kanisian sebagai generasi muda merupakan suatu nilai yang memang sudah diterapkan oleh mereka sedari awal. Walau mayoritas siswanya Katolik, ada juga siswa Kanisius yang beragama Kristen, Islam, Buddha, dan Hindu. Dinamika sehari-hari bersama siswa yang berbeda agama mengajarkan nilai toleransi dan saling menghormati antar agama.

Generasi muda memiliki pikiran yang lebih terbuka terhadap perbedaan. Salah satunya karena mereka tumbuh di era digital yang menyediakan akses luas terhadap informasi global dan berbagai pengalaman lintas budaya. Paparan ini memungkinkan mereka untuk memahami sudut pandang yang berbeda serta membangun sikap toleransi dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan multikultural dan program-program lintas budaya juga berperan penting dalam mendukung generasi muda untuk lebih menghargai keberagaman dan menjadikan perbedaan sebagai kekuatan bersama.

Selain itu, media sosial berfungsi sebagai platform utama bagi generasi muda untuk saling bertukar ide dan pengalaman. Melalui keterpaparan terhadap berbagai perspektif dan diskusi global, mereka semakin terbiasa dengan keberagaman budaya, agama, dan nilai-nilai. Kehadiran media sosial tidak hanya membantu memperluas wawasan mereka, tetapi juga memperkuat rasa empati dan solidaritas terhadap kelompok yang berbeda.

Jika generasi muda sudah mau membuka diri terhadap perbedaan, apa yang menghalangi Indonesia untuk maju? Pola pikir dan prasangka negatif yang dibawa oleh generasi-generasi sebelumnya serta stereotip yang melekat pada suatu ras, suku, dan agamalah yang menjadikan masyarakat kita stagnan.

Perbedaan hanyalah produk dari perspektif yang berbeda akan suatu hal. Apabila seseorang melihat gajah dari depan dan seseorang yang lain melihatnya dari belakang, lalu mereka berdebat akan gambar gajah yang sebenarnya. Orang dari kejauhan yang melihat mereka pasti akan menganggap mereka bodoh.

Perbedaan merupakan hakikat dasar setiap manusia. Bahkan dalam suatu agama yang sama, masih ada organisasi dan orde dengan ideologi yang berbeda. Di dalamnya, masih ada banyak pola pikir yang berbeda lagi. Wajar apabila semua orang berbeda. 

Pertanyaannya adalah apakah kita akan memandang perbedaan sebagai masalah untuk berkonflik antara satu sama lain? Ataukah kita akan mampu untuk memandang perbedaan sebagai kekuatan dan memanfaatkan kekuatan itu untuk melawan masalah eksternal? Apakah masalah perbedaan lebih krusial dibandingkan dengan maraknya masalah di negara kita, seperti korupsi, kualitas udara, pencemaran lingkungan, perubahan iklim, kemiskinan, kurangnya pendidikan, dan lain-lain? Ataukah masalah lain itu lebih krusial?

Marilah kita bersama-sama bergandengan tangan dalam toleransi dan keharmonisan. Marilah kita semua bersatu dan memanfaatkan perbedaan sebagai kekuatan untuk Indonesia yang lebih maju!


"Bukan perbedaan yang memisahkan kita, tetapi ketidakmauan untuk saling mengenal."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun