Mohon tunggu...
Jovan.A.R.
Jovan.A.R. Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Sejarah UI

Anak Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Dua Medali Emas Setelah Gelombang Kekecewaan

9 Agustus 2024   12:23 Diperbarui: 9 Agustus 2024   13:47 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak kontroversi dan kekecewaan yang muncul dari Olimpiade 2024. Paris selaku tuan rumah dikritik sebagai penyelenggara yang buruk akibat permasalahan-permasalahan seperti tidak adanya pendingin ruangan di dalam tempat para atlet menginap dan pendapat bahwa Sungai Seine yang seharusnya tidak layak dijadikan sebagai venue akibat dinilai masih tercemar.

 Permasalahan yang paling banyak dikritik adalah soal pembukaan olimpiade yang dinilai menyinggung penganut Kristiani. Hingga saat ini, masih ada perdebatan apakah itu benar-benar melecehkan kekristenan karena ada yang bilang pembukaan tersebut sebenarnya tentang perjamuan para dewa-dewa Yunani Kuno, namun ada juga masih melihat itu sebagai penggambaran Perjamuan Kudus (Last Supper). 

Selain itu, ada beberapa kontroversi yang muncul pada saat pertandingan. Isu yang masih hangat dibicarakan adalah tudingan dua petinju wanita, Imane Khelif dan Lin Yu-Ting, sebagai seorang transgender. Isu ini muncul karena pada tahun 2023, kedua petinju dinilai gagal dalam tes gender, meskipun keduanya lahir sebagai wanita, bahkan salah satu di antara mereka (Imane Khelif) berkebangsaan Aljazair, negara yang melarang LGBT. 

Pada sisi lain, isu atlet transgender muncul seiring berkembangnya penerimaan terhadap LGBT secara global sehingga ada ketakutan dari banyak atlet wanita apabila atlet transgender diperbolehkan bertanding sebagai atlet perempuan. Apalagi di olimpiade yang sebelumnya (Tokyo 2020), sudah ada satu atlet transgender (Laurel Hubbard) yang tampil sehingga ketakutan tersebut semakin kuat.

Gelombang kekecewaan terasa bagi orang Indonesia. Selain tidak bisa menyaksikan timnas Indonesia untuk tampil di Paris akibat kalah dari Timnas Guinea di babak kualifikasi, performa pemain-pemain bulu tangkis di olimpiade mengalami penurunan. 

Dari sembilan atlet yang berpartisipasi, hanya satu pemain (Gregoria Mariska Tunjung) yang lolos ke babak semifinal. Gregoria gagal melaju ke final setelah dikalahkan oleh An Se-Young, pebulutangkis dari Korea Selatan. 

Memang Indonesia tidak pulang dengan tangan hampa. Gregoria memperoleh medali perunggu sebab lawannya dalam babak perebutan juara tiga, Carolina Marin, terpaksa mundur akibat cedera. Performa bulu tangkis di olimpiade bisa dikatakan tidak baik, telah menampar Indonesia bahwa dunia bulu tangkis kita sedang tidak baik. 

Pasalnya, merosotnya bulu tangkis Indonesia sudah terlihat sejak tahun lalu ketika tidak ada atlet Indonesia yang meraih medali di kompetisi Asian Games 2022. Penurunan performa bulu tangkis Indonesia membawa sinyal buruk bagi masa depan Indonesia dalam kancah olimpiade sebab selama bertahun-tahun, harapan medali emas bertumpu pada cabor (cabang olahraga) tersebut.

Badai kekhawatiran dan kekecewaan berakhir pada tanggal 8 Agustus 2024. Sejarah tercetak dari sebuah selisih waktu 0,02 detik Veddriq Leonardo berhasil mempersembahkan medali emas yang pertama untuk Indonesia setelah berhasil menyelesaikan pertandingan dalam waktu 4,75 detik. Tidak hanya medali emas pertama dalam olimpiade 2024, Veddriq Leonardo menjadi atlet Indonesia non-bulu tangkis pertama yang meraih medali emas. 

Pada hari yang sama, Indonesia menambahkan satu lagi medali emas dari cabang olahraga angkat besi. Rizki Juniansyah berhasil berdiri di podium pertama. Sebuah arah baru telah lahir pada dunia angkat besi Indonesia. Pada olimpiade-olimpiade sebelumnya, banyak medali telah diraih dari atlet-atlet angkat besi kita, namun baru tahun ini, Indonesia pulang dengan medali emas. 

Ada pembelajaran yang harus dipetik dari perjuangan para atlet-atlet kita di Paris. Pertama, sudah saat adanya perhatian dari pemerintah terhadap cabor lainnya. Sudah banyak kasus baik itu di Indonesia maupun di luar, ketika ada atlet-atlet berbakat yang mimpinya terpaksa terkubur karena kendala support dari pemerintah. Kedua, dari bulu tangkis, kita harus tahu bahwa segala sesuatu ada batasnya. Sesudah sampai di puncak, kita juga harus tetap berlatih seperti pada saat kita mendaki menuju puncak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun