Mohon tunggu...
Jovan.A.R.
Jovan.A.R. Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Sejarah UI

Anak Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perkembangan Teknologi di Indonesia Tidak Sejalan dengan Kecerdasan Netizennya

12 Mei 2024   19:21 Diperbarui: 12 Mei 2024   19:40 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi netizen yang toxic (Sumber gambar: www.pinterest.com via jawapos.com)

Kekalahan Timnas U-23 Indonesia dari Timnas U-23 Guinea membawa kekecewaan dan kesedihan bagi orang Indonesia. Kita tidak akan menyaksikan tim sepak bola kita di Olimpiade 2024 yang akan dilaksanakan di Paris, Prancis. Sayangnya, kekalahan ini juga mengungkapkan suatu hal yang sudah lama menjadi masalah dalam negeri ini. 

Masalah yang dimaksud bukan soal performa Timnas atau PSSI, tetapi kelakuan dari masyarakat kita di internet atau dunia maya. Kekecewaan yang bercampur fanatisme telah membutakan akal dan hati para warganet (netizen). 

Timnas Guinea diserang secara verbal di internet oleh netizen Indonesia dan yang lebih pedihnya, banyak ujaran atau komentar berbau rasisme. PSSI sendiri sampai harus meminta maaf kepada FGF (Federasi sepak bola Guinea). Perlu diketahui juga bahwa hujatan-hujatan dari warganet juga salah sasaran. Akun instagram Timnas Guinea Khatulistiwa (Equatorial Guinea) juga terkena bullyan, padahal negaranya beda.

Kejadian seperti itu tidak terjadi sekali saja, bahkan sudah sering terjadi. Beberapa waktu sebelumnya, ada dari kita yang masih ingat dengan apa yang terjadi pada Dewi Sandra. Pasca penangkapan Harvey Moeis oleh kejaksaan, warganet "menyerbu" akun instagram Dewi Sandra. 

Banyak netizen mengira Dewi Sandra adalah istri dari Harvey Moeis sehingga Dewi Sandra dihujat sebagai orang yang memiliki hubungan keluarga dengan koruptor. Padahal, nama istrinya Harvey Moeis adalah Sandra Dewi. Hal ini tentu terlihat bodoh sebab terdapat perbedaan yang jelas diantara kedua wanita tersebut, seperti Dewi Sandra berhijab, sedangkan Sandra Dewi tidak.

Begitulah realita dunia maya di Indonesia. Teknologi informasi berkembang secara pesat dalam kurun waktu yang relatif singkat, tetapi etika dan sikap penggunanya belum berubah atau malah semakin menjadi-jadi. 

Dari awal abad ke-21 hingga tahun 2024, kita bisa melihat perubahan yang signifikan pada ponsel kita yang awalnya digerakan oleh tombol, sekarang menggunakan touch screen. Begitu juga dengan aplikasi-aplikasi yang tersedia dalam dawai. Misalnya, dulu ponsel hanya dipakai untuk komunikasi dan mungkin bermain game. 

Sekarang, sebuah ponsel bisa dipakai untuk menyalakan pendingin ruang hingga melakukan peretasan (hacking). Berbicara soal sikap dari para netizen kita, memang ada beberapa faktor yang mendasarinya. Jawaban yang paling umum kita dengar adalah tidak meratanya mutu pendidikan di Indonesia. 

Memang ada benarnya karena orang yang berakal akan cenderung berpikir panjang. Mereka tahu kalau tindakan mereka akan mendatangkan akibat atau konsekuensi. Tapi, hal ini tidak menjawab secara menyeluruh sebab tidak jarang kasus-kasus seperti penyebaran berita hoax dan ujaran kebencian dilakukan oleh orang yang memiliki gelar pendidikan. Setidaknya ada tiga faktor yang mendasari perilaku toxic warganet. 

Pertama, orang akan lebih berani berekspresi di dunia maya dibandingkan di dunia nyata. Ketika beropini di tempat umum, orang perlu berhati-hati dalam merangkai pesan serta harus mampu menangkap suasana. Berbeda dengan di dunia maya, dimana netizen hanya perlu berhati-hati dalam merangkai pesan. Aspek suasana tidak terlalu dominan karena di dalam dunia maya, pesan bisa diakses kapan dan dimana saja. 

Belum lagi dengan fakta ketika berkomunikasi di dunia maya, orang hanya cenderung bergantung pada internet dan dawai dibandingkan dengan komunikasi di tempat umum yang harus memperhatikan lebih banyak aspek seperti suara, intonasi, keadaan sekitar, raut wajah, dan lain-lainnya. 

Akibatnya, perilaku buruk dalam internet lebih marak terjadi karena jumlah kekangannya lebih sedikit. Faktor kedua adalah kurangnya pengendalian emosi. Setinggi apapun pendidikan seseorang, ia tidak akan rasional jika dirinya dikuasai emosi sebab ia akan bertindak berdasarkan hawa nafsu. Hal ini dapat dilihat dari apa yang terjadi saat ini. Rasa emosi akibat kekalahan Timnas U-23 mengakibatkan banyak warganet melampiaskan kekecewaannya dengan cara mengumpat di dunia maya. 

Faktor ketiga adalah empati terhadap satu pihak. Ketika suatu pihak dikritik atau mengalami masalah, akan ada pihak lain yang membelanya sekaligus memberi serangan balik kepada pihak yang menyerang terlebih dahulu. Ketika seseorang merasa menjadi bagian dari pihak tertentu, ia akan membelanya secara fanatik karena serangan ke pihak itu sama dengan serangan ke dirinya. 

Oleh karena itu, Faktor ketiga sering muncul pada topik berbau politik, berkaitan dengan identitas, atau mengandung kontroversi. Pada kasus yang menimpa Timnas Guinea, serangan dari netizen Indonesia muncul karena berkaitan dengan gagalnya mimpi orang Indonesia untuk unjuk gigi di pesta olahraga yang prestisius seperti olimpiade. 

Sikap warganet Indonesia yang cenderung toxic tidak bisa dibiarkan begitu saja. Ruang lingkup dunia maya itu luas dan sudah susah bagi manusia zaman sekarang untuk lepas dari internet. Ketika sebuah konten telah masuk ke internet, jejaknya sulit hilang sebab konten tersebut telah dilihat satu dunia. 

Selain itu, cepatnya penyebaran informasi di masa ini menyebabkan perubahan sosial akibat informasi lebih marak terjadi pada saat ini. Sudah banyak tragedi hingga pertumpahan darah akibat bertutur tanpa etika di dunia maya. 

Oleh karena itu, bijaklah dalam berinteraksi di dunia nyata. Internet itu seperti api. Ia bisa membangun apa yang ia sentuh dan juga bisa menghancurkan apa yang ia sentuh.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun