Satu hal yang pasti, bergabung atau tidaknya kedua partai dalam suatu koalisi akan menimbulkan kerugian tersendiri bagi PDIP. Jika PDIP dan PKS tidak bersatu, maka PDIP harus berusaha mempertahankan basis wong cilik dari PKS.Â
Saat ini, PKS dinilai sebagai oposisi yang teguh karena giat mempertanyakan dan mengkritik kebijakan pemerintah (seperti soal Omnibus Law dan kenaikan bbm di tahun 2022) serta setia dalam oposisi, walaupun saat ini harus menjadi satunya-satunya partai oposisi setelah bergabungnya Demokrat ke kubu Jokowi.
Satu hal yang bisa menjadi keunggulan PKS adalah sudah ada pembuktiannya. Misalnya, pada isu kenaikan bbm di tahun 2012 dan 2013, PKS juga menyuarakan penolakan kenaikan harga, meskipun berada di koalisi pemerintah dan mempunyai tiga menteri di kabinet. Apabila PDIP. tidak segera memperbaiki kesalahan mereka, PKS bisa saja mengambil hati dari para pemilih wong cilik.Â
Skenario PDIP dan PKS dalam satu koalisi juga menimbulkan kerugian pada PDIP (dan PKS) karena perbedaan ideologi dan akar rumput (grassroot) yang militan. PDIP memiliki basis dari wong cilik dan pemilih non-muslim, sedangkan PKS memiliki basis dari kalangan islam konservatif dan modernis.Â
Meskipun kedua partai akan cenderung bertindak sesuai kepentingannya (bukan ideologi) jika berada dalam pemerintahan, spektrum politik kedua partai tetap kental cukup jauh di antara keduanya.Â
PDIP dapat dikategorikan sebagai partai sayap kiri, sedangkan PKS adalah partai sayap kanan. Jika kedua partai berada dalam satu koalisi, terkhususnya bila mereka mengusung calon presiden dan wapres yang sama di pemilu tahun 2029, sangat mungkin para akar rumput akan eksodus dari kedua partai.Â
Pemilih PKS yang kecewa akan pindah ke partai yang lain, begitu juga dengan pemilih PDIP. Jika kita berbicara pemilu, terutama pilpres, bukanlah hal yang mustahil bagi kader partai untuk memilih paslon yang tidak didukung sehingga hasil pileg dan pilpres bisa tidak selaras.Â
Misalnya, untuk pemilu tahun in, PDIP memenangkan pileg di provinsi Bali, Jawa Tengah, dan Sulawesi Utara, tetapi paslon yang hasil pilpres di ketiga provinsi tersebut dimenangkan oleh paslon 02, bukan 03.
Satu hal yang pasti dalam politik adalah politik itu dinamis dan bisa berubah karena hal apa pun. Sekiranya hasil dari pemilu 2024 sudah cukup memberi pukulan bagi PDIP untuk berubah menjadi lebih baik.Â
Jejak rekam PDIP selama sepuluh tahun terakhir merupakan beban sekaligus amunisi dalam catur politik di negeri ini. Pilihan realistis bagi PDIP untuk mendapatkan kepercayaan dari rakyat untuk kembali ke pemerintahan hanyalah dua, yakni menemukan formula politik yang tepat atau mengharapkan blunder fatal dari koalisi 02.
Sumber: