Mohon tunggu...
Jovan.A.R.
Jovan.A.R. Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Sejarah UI

Anak Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jonestown, Surga dan Neraka di Guyana

1 Mei 2023   23:22 Diperbarui: 11 Mei 2023   16:01 889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto James Warren Jones atau Jim Jones (Sumber: www.britannica.com)

*Artikel ini diperuntukan untuk orang berumur 18 tahun ke atas

James Warren Junior atau lebih dikenal dengan nama Jim Jones lahir di negara bagian Indiana, Amerika Serikat pada tahun 1931. Jim Jones lahir di keluarga yang jauh dari kata sejahtera maupun harmonis. Ayahnya, James Thuram adalah veteran Perang Dunia Pertama yang mengalami disabilitas, Oleh karena itu, kehidupan keluarga dinafkahi oleh Lynetta, ibu dari Jim. Hubungan antara James Thuram dan Lynetta cukup renggang dan hal ini mendorong Lynetta melakukan perselingkuhan. Masa kecil yang cukup keras berpengaruh pada kepribadian Jim Jones. Jeff Guinn, penulis buku The Road to Jonestown: Jim Jones and Peoples Temple, menuturkan bahwa Jim Jones adalah anak yang nakal dan berlainan dalam kehidupan sosial.  Misalnya, ketika Perang Dunia Kedua berlangsung, anak-anak sebayanya tertarik pada kostum tentara Amerika Serikat. Jim justru tertarik dengan Nazi Jerman yang merupakan musuh Amerika Serikat dalam perang. Sebenarnya Jim tidak begitu percaya dengan Tuhan, namun tertarik untuk menjadi pendeta. Ia penganut paham sosialisme dan penjunjung kesetaraan ras. Kedua ide tersebut adalah paham yang tidak begitu diterima mudah di masyarakat Amerika pada masa itu. Apa hubungannya dengan agama? Jim melihatnya sebagai alat untuk menyebarkan pemahaman yang ia anut, walaupun nantinya, ia tidak mengamalkan kedua hal itu dalam kehidupan sehari-hari. Minat Jim terhadap agama tidak pudar, bahkan ketika sudah mengenyam bangku perguruan tinggi.

Pada tahun 50-an, Jim Jones menjadi pendeta di Indianapolis. Ia mendirikan gereja Peoples Temple di tahun 1955. Gereja tersebut memang masih berusia muda, namun sudah mampu memikat dan memiliki banyak jemaat, terkhususnya dari orang kulit hitam. Peoples Temple tidak memisahkan jemaat berdasarkan warna kulit, berbeda dengan gereja-gereja lain di Amerika yang masih kental dengan segregasi ras. Ditambah dengan faktor Jim memiliki kemampuan persuasif yang baik serta khotbah yang dipimpin Jim meliputi penyembuhan langsung yang bersifat massal dan selalu bertema keadilan sosial. Sebelum mendirikan Peoples Temples, Jim menikahi Marceline Baldwin. Pasangan tersebut memiliki banyak anak, namun hanya satu yang merupakan anak biologis, yakni Stephan Gandhi Jones. Demi menjunjung kesetaraan ras, Jim dan Marceline mengadopsi anak-anak non-kulit putih. Salah satunya adalah seorang anak kulit hitam bernama Jim Jones Jr. Diketahui juga kalau Jim dan Marceline Jones adalah pasangan kulit putih pertama di kota Indianapolis yang mengadopsi anak kulit hitam.

Pada tahun 1965, Jim Jones memindahkan gerejanya ke Ukiah, California. Pemindahan ke negara bagian baru dilandasi dengan anggapan California bisa lebih mampu menopang aktivitas Jim dibanding di kampung halamannya, Indiana. Keputusan pemindahan merupakan hal yang tepat sebab Peoples Temple jauh lebih berkembang di sana sebab secara sosio politik, California adalah negara bagian yang liberal. Didorong dengan situasi pada tahun 60-an di Amerika, dimana aliran liberal berada di puncaknya. Hal ini sesuai untuk pertumbuhan Peoples Temple yang dapat dikategorikan sebagai gereja liberal di masanya. Jumlah pengikut Peoples Temple semakin meningkat tiap waktu, terkhususnya orang kulit hitam. Bahkan mayoritas jemaat Peoples Temple adalah orang kulit hitam. Fenomena ini terjadi karena ketiadaan sosok pelindung kulit hitam setelah pembunuhan Martin Luther King Jr di tahun 1968. Peoples Temple tidak hanya sukses dalam menarik minat dan dukungan dari masyarakat umum, Jim bisa memperoleh hubungan dengan orang-orang pemerintahan, pers, aktivis sosial, dan pihak-pihak penting dalam masyarakat. Ia dilihat sebagai sosok dermawan, karismatik, dan segala sifat yang manusia nilai sebagai perbuatan yang jauh dari dosa. Peoples Temple membantu membangun masyarakat, misalnya dalam hal sumbangan. Namun, citra baik Jim Jones dan gereja yang ia dirikan tidak berlangsung selamanya setelah terkuak sisi gelapnya.

Perilaku Jim Jones dalam lingkungan Peoples Temple berbanding terbalik dengan apa yang ia lakukan di depan umum. Jim Jones adalah orang yang eksploitatif, manipulatif, gila, narsis dan penipu.  Jemaat -jemaat Peoples Temple harus tunduk sepenuhnya dengan Jim Jones. Siapa yang melawan bisa celaka. Tak sedikit pengikut yang membelot dari Jim berakhir mengenaskan. Hal ini juga menyebabkan Jim bisa dengan mudah menyuruh para jemaatnya untuk melakukan hal-hal yang tidak wajar seperti disuruh adu tinju satu sama lain atau menyuruh beberapa jemaat, terkhususnya perempuan, untuk melakukan hubungan seksual. Kehidupan Jim Jones sangat jauh dari kehidupan yang seharusnya dilakukan oleh pendeta atau pemuka agama. Ia adalah maniak seks (termasuk seks sesama jenis) sekaligus pecandu narkoba. Banyak yang menilai kalau sikap-sikap Jim Jones yang di luar nalar terjadi karena ia sedang dalam pengaruh narkoba. Dampak kecanduan yang paling tampak dalam Jim Jones adalah paranoid. Hal ini akan berpengaruh ke depannya. Beberapa mantan jemaatnya menuturkan bahwa praktik penyembuhan massal Jones hanyalah rekayasa. Misalnya, ketika ada jemaat yang mengaku sakit lalu sembuh ketika “disembuhkan” Jones, hal itu hanyalah tipuan sebab jemaat itu sudah diperintahkan oleh Jones. Leslie Wagner Jones, mantan jemaat Jonestown, berkata dalam sebuah wawancara bahwa praktik “penyembuhan” itu sangat ampuh bagi jemaat lanjut usia. Biasanya mereka adalah kelompok umur yang lebih mudah terkena penyakit ditambah sudah dicuci otaknya oleh Jim.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, motif utama Jim Jones menjadi pendeta adalah untuk menyebarkan ideologinya. Urusan benar salahnya isi khotbah bukanlah hal utama, bahkan tidak jarang ia menyampaikan khotbah yang isinya melawan ajaran Kekristenan. Menurut kesaksian Jeanine Mills dalam bukunya berjudul Six Years with God: Life Inside Reverend Jim Jones's Peoples Temple, dalam satu sesi ibadah, Jim menyatakan secara eksplisit bahwa Alkitab versi Raja James adalah buku yang tidak benar karena disusun oleh orang yang pro perbudakan. Mills juga menuturkan bahwa pernah dalam suatu acara, salah satu jemaat menyanggah apa yang dibicarakan Jim. Seperti sekte pada umumnya, orang itu beserta keluarganya dibuang oleh Jim. Kegilaan-kegilaan yang dilakukan Jones tidak mengikis kepercayaan beberapa jemaatnya yang setia. Hal yang tergila tetap dilakukan mereka demi Father (Sebutan terhadap Jim Jones oleh jemaatnya).

Menurut kesaksian orang-orang yang berhubungan dengannya, Jim tidak mengamalkan paham sosialisme dan kesetaraan ras dalam kehidupannya. Gaya Hidup Jim lebih dekat dengan kaum kapitalis dibanding kaum sosialis. Hal-hal duniawi seperti kekayaan dan nafsu sangat lekat dengan Jim dan orang-orang terdekatnya. Uang yang dihasilkan dalam gereja juga dipakai untuk ‘membeli’ pengaruh dalam masyarakat. Dalam hal kesetaraan ras, orang-orang terdekat Jim Jones, yakni pengurus atau petinggi Peoples Temple, diisi oleh orang kulit putih. Hal ini sedikit aneh mengingat orang kulit hitam adalah demografi terbesar jemaat Peoples Temple. Konon, Jim Jones sering mengeluarkan ucapan rasis kepada orang kulit hitam, termasuk ke Jim jr., anak angkatnya.

Jim Jones telah menciptakan lingkungan gereja yang beracun. Lingkungan dalam gereja penuh dengan para jemaat yang sudah terhipnotis atau mereka yang terpaksa ikut karena ancaman dari Jim dan bawahan-bawahannya. Maka, tidak sedikit jemaat Jim Jones yang meninggalkan Peoples Temple. Salah satunya sekaligus yang paling sering disebut adalah pasangan suami istri Tim dan Grace Stoen. Mereka bergabung dengan Peoples Temple di tahun 1970. Grace sempat menjadi pemimpin dalam gereja dengan tanggung jawab di bagian finansial. Tahun 1976, Grace berhenti mengikuti Jim Jones, sedangkan suaminya sudah terlebih dulu keluar. Keduanya tidak hanya mengundurkan diri, namun juga berusaha melawan Jim Jones. Permasalahan terletak pada putra mereka, John Victor Stoen. Hak asuhnya dipegang oleh Jim. Keduanya ingin merebut kembali hak asuh John Victor, apalagi setelah melihat kegilaan Jim Jones. Permasalahan pasangan Stoen dan mereka yang berposisi sama (pembelot) adalah pengaruh Jim yang kuat dalam masyarakat. Cerita sisi gelap Jim Jones dapat mudah dikubur. Misalnya, pada tahun 1973, Jim ditangkap atas perilaku cabul. Tidak dalam waktu yang lama, ia dibebaskan dan cerita tentang penangkapan bisa ditutupi dari publik. Selain itu, Jim Jones memiliki semacam pasukan yang bersedia mengerjakan hal-hal kotor. Misalnya, salah satu pembelot bernama Bob Houston meninggal secara misterius di tahun 1976. Ada kecurigaan kalau Bob itu dibunuh atas suruhan Jim Jones. Pergumulan para pembelot tidak berlangsung lama. Pada tanggal 1 Agustus 1977, jurnalis Marshall Kinduff dan Phil Tracy merilis artikel berjudul Inside Peoples Temple terbit di majalah New West. Cerita-cerita Stoen dan orang-orang yang senasib disebarkan ke publik. Kinduff dan Tracy punya peran vital untuk nasib Peoples Temple ke depannya. Pertama, mereka adalah jurnalis pertama yang mampu menyuarakan kebobrokan Peoples Temple secara luas, dimana sebelumnya, media massa enggan untuk mempublikasikan berita-berita tentang sisi hitam Peoples Temple. Kedua, artikel dari Kinduff dan Tracy mendorong Jim mengambil keputusan yang besar terkait masa depan Peoples Temple.

Kekuasaan dan kekayaan yang dimiliki Jim Jones belum mampu mendorongnya untuk hidup tenang. Ditambah dengan sikap paranoid akibat penggunaan narkoba, Jim selalu berpikir dia akan dibunuh oleh CIA, badan intelijen Amerika Serikat. Ia berpendapat kalau tokoh-tokoh seperti John Kennedy dan Martin Luther King dibunuh karena gerak-gerik mereka tidak disukai CIA. Jones melihat sosoknya sama dengan kedua tokoh itu. Sejak waktu yang lama, Jim sudah terpikir untuk mendirikan ‘utopianya’ di negara lain, terkhususnya negara yang menganut paham komunisme atau sosialisme. Lokasi yang menurutnya tepat untuk mendirikan ‘utopianya’ adalah Guyana sebab negara di Amerika Selatan itu memenuhi kriterianya. Secara demografis, Guyana adalah negara mayoritas kulit hitam sekaligus negara berbahasa Inggris ditambah dalam hal politik, Guyana adalah negara sosialis. Peoples Temple juga sudah melakukan komunikasi dengan pemerintah Guyana. Jim Jones beserta pengikutnya diperbolehkan oleh Georgetown (ibukota Guyana) untuk mendirikan koloni di sana. Izin tersebut diberikan oleh pemerintah Guyana untuk kepentingan territorial mereka. Peoples Temple akan menetap di dekat Port Kaituma, sebuah wilayah itu terletak di Guyana bagian barat. Venezuela, negara tetangga Guyana bagian barat, selalu mengklaim wilayah barat Guyana sebagai bagian darinya. Dengan kehadiran kelompok Jim Jones di sana, Venezuela tidak akan terpikir mengambil atau mencaplok karena kalau ada apa-apa, mereka akan berurusan dengan pemerintah Guyana dan Amerika Serikat. Sejak tahun 1976, Jim sudah mengunjungi Guyana, terkhususnya Port Kaituma. Sedikit demi sedikit, jemaat Peoples Temple mulai pindah ke Guyana. Sejak rilisnya artikel dari New West, para pengikut Jim Jones berbondong-bondong meninggalkan Amerika Serikat. Pada bulan September 1977, Jim Jones dan setidaknya seribu pengikutnya sudah menetap di Guyana. Pemukiman baru itu diberi nama Jonestown. Bagaimana mereka bisa punya modal untuk pindah ke daerah yang cukup jauh dari California? Peoples Temple memiliki banyak uang. Sumber finansial berasal dari persembahan para jemaat dan mungkin hasil donasi dari organisasi maupun individu lain yang cukup berpengaruh dalam masyarakat.

Jim Jones menggambarkan pemukiman mereka di Guyana sebagai sebuah surga. Jonestown, tempat dimana mereka akan dekat dengan Tuhan dan juga tempat dimana ide sosialisme bisa berkembang. Para pengikut Jim Jones meninggalkan kehidupan mereka di Amerika untuk sebuah pemukiman di tengah hutan di Guyana. Jonestown tidak terletak di Port Kaituma. Sesampainya di sana, mereka perlu melakukan perjalanan darat selama beberapa jam. Port Kaituma berfungsi sebagai tempat transit jika ingin pergi via udara. Kehidupan di Jonestown seperti kehidupan di desa pada umumnya. Kehidupan sehari-sehari Jonestown diisi dengan kegiatan pemenuhan ekonomi seperti pertanian dan pengambilan sumber daya di hutan serta kegiatan ibadah. Namun, tidak semuanya berpikir hal yang sama tentang Jonestown. Jumlah anak-anak di sana juga banyak, baik merupakan anak kandung pengikutnya, maupun anak yang diadopsi. Alhasil, terdapat sekolah atau tempat Pendidikan bagi mereka. Banyak dari pengikutnya merasa senang setelah pindah karena sudah menemukan sebuah utopia. Tetapi, realitanya, tidak semua pengikutnya berpikir hal yang sama, karena mereka sadar kalau apa yang dijanjikan Jim Jones itu surga, sedangkan realitanya adalah neraka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun