Mohon tunggu...
Ade Damayanti
Ade Damayanti Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa UIN Jakarta, Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam

Pembelajar Sejati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Banjir Darah: Kisah Nyata Aksi PKI terhadap Kiai, Santri dan Kaum Muslimin "Mengungkap Kebrutalan PKI di Belahan Bumi Nusantara"

9 Desember 2020   19:21 Diperbarui: 3 September 2022   21:50 3101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buku

Buku Banjir Darah merupakan buku terbaru dari salah satu penulis produktif di Indonesia, yaitu Anab Afifi. Buku ini adalah karya pertamanya yang bergenre sejarah, yang terbit pada tahun 2020, dan merupakan sebuah kreasi baru dari buku Ayat-ayat yang disembelih.

Buku ini menceritakan tentang sejarah Partai Komunis Indonesia yang penuh kekejaman. Mereka menyiksa, membakar, menyembelih bahkan mengubur hidup-hidup para kiai dan santri. PKI menghasut para petani untuk memberontak serta merampas harta semua golongan yang tidak sepaham komunis. Buku ini menjelaskan lebih dalam tentang kekejaman PKI tahun 1948-1965. Tulisannya lebih memfokuskan  tentang pembunuhan kepada para kiai, ulama, santri, dan tokoh-tokoh yang berhubungan dengan organisasi Islam.

Dibagian pendahuluan, penulis menceritakan sebuah surat yang ia kirim untuk Maria Felicia Gunawan. Ia merupakan pembawa baki bendera di istana negara pada hari kemerdekaan tahun 2015. Surat itu berisi tentang kekejaman PKI terhadap para kiai, santri dan kaum muslimin di bumi nusantara.

" Jika bukan karena kegigihan para pejuang yang mempertahankan berkibarnya merah putih, barangkali sejak 1948 ketika ketua Partai Komunis (PKI) bernama Muso memproklamirkan negara komunis bernama Republik Soviet Indonesia di Madiun, merah putih itu tak akan kau genggam sekarang. Atau barangkali, jika ulah Muso berhasil, merah putih yang kau genggam itu sudah diganti oleh gambar palu arit yang telah berulang kali membuat negeri ini berdarah-darah." (Hal 18)

Pada tahun 1948, PKI yang dipimpin oleh Muso menguasai wilayah karesidenan Madiun, Ponorogo, Ngawi, Mantingan, Magetan, dan sekitarnya. Para kiai, ulama, dan santri serta tokoh-tokoh Islam yang jumlahnya ratusan, diculik, disiksa, dibunuh, lalu dimasukkan sumur sempit bahkan disembelih dengan digorok leher, dimutilasi, diganyang, tak jarang para sasaran PKI yang sulit dibunuh mereka dikubur hidup-hidup, lalu ditimbun dengan batu di dalam sumur.

"PKI menyebutkan terdapat tujuh setan desa yang harus diganyang. Diantara tujuh setan desa yang di identifikasi yaitu para kiai, guru ngaji, santri,  kepala desa, pedagang, serta pamong praja. Setan-setan itu harus dikutuk dan dibasmi. Pada tahun 1948, mereka telah menjadi sasaran pertama. Diseret , dibacok, dipotong-potong tubuhnya , disembelih, lalu dimasukkan sumur dan kolam-kolam." (hal 334)

Tidak hanya itu para PKI  juga merusak sarana ibadah maupun pendidikan yang di miliki umat muslim, mereka akan membantai siapapun yang melawan komunisme.

"Masjid dan madrasah sebagai penopang kekuatan islam juga kubakar". (hal 111)
PKI juga membuat slogan yang penuh kebencian "Pondok bobrok, Langgar Bubar, Santri Mati". (hal 181)

Saat Muso memproklamirkan Negara Soviet Indonesia di Madiun, slogan itu terus berkumandang dari seluruh anggota sipil PKI Muso dan Tentara Muso yang bernama Front Demokratik Rakyat (FDR).

Bahkan, Pondok Pesantren Gontor yang merupakan pondok pesantren besar di Jawa Timur ikut menjadi sasaran pengerusakan maupun pembakaran oleh para PKI, dikarenakan kiai gontor yaitu K.H Ahmad Sahal dan K.H Zarkasyi pergi untuk menyelamatkan diri dengan para santri, padahal sebelum mereka pergi pesantren gontor sudah disambangi utusan PKI yang membawa sepucuk surat.
Isi surat itu adalah perintah dari pasukan PKI Muso agar seluruh warga pesantren Gontor tidak meninggalkan tempat. Jika sampai meninggalkan tempat akan terjadi bencana besar yang dibuat oleh para tentara PKI Muso.

Sehari setelah santri-santri mengungsi, akhirnya para PKI betul-betul datang. Mereka langsung bertindak ganas dengan menggeledah seluruh Pesantren Gontor.

"Endi Kiai-ne? Endi Kiai-ne? Kon ngadepi PKI kene! Asu Kabeh..! ( Mana Kyainya, Mana Kyainya?suruh menghadapi PKI sini, Anjing semua...!!! Karena tak ada sahutan, mereka pun mulai merusak pesantren. Gubuk-gubuk asrama santri yang terbuat dari bambu dirusak. Kasur-kasur dibakar, buku-buku santri dibakar habis. Peci, baju-baju santri yang tidak terbawa, mereka bawa ke pelataran asrama. Mereka menginjak-injak dan membakar sarana peribadatan, berbagai kitab, dan buku. Termasuk beberapa Kitab suci Al-Quran mereka injak dan bakar." (hal 199)

Buku ini juga menceritakan tentang kisah enam Jendral yang dibunuh, lalu dimasukkan ke sumur di daerah Lubang buaya, diantara enam jenderal tersebut yaitu Jenderal Ahmad Yani, Mayjen Soeprapto, Mayjen M.T. Haryono, Mayor Jenderal S.Parman, Jenderal D.I. Pandjaitan, Jenderal Soetojo, dan satu orang perwira yang bernama Jenderal Tendean yang di sergap dan  diculik karena para PKI mengira Lettu Tendean adalah Jenderal. A.H Nasution.

Pemaparan dan bahasa dalam buku ini mudah dipahami karena disajikan dengan gaya bercerita story telling sehingga tidak membosankan dan membangkitkan simpati dan empati para pembaca atas kejadian yang terjadi pada saat itu.

Kekuatan buku ini terletak pada penggambaran situasi detail secara naratif pada masa kejadian yang tidak hanya bersumber dari referensi teks, tetapi juga disertai wawancara penulis dengan 30  saksi-saksi hidup yang terdiri dari korban, kerabat, dan keluarga korban keganasan PKI di Jakarta, Solo, Ngawi, Madiun, Magetan, Ponorogo, Kediri, Blitar dan Surabaya.

Kekurangan buku ini yaitu banyaknya penggambaran adegan kekerasan yang secara gamblang diceritakan, sehingga buku ini tidak direkomendasikan bagi anak-anak, kecuali dengan bimbingan orang tua. Namun, secara keseluruhan buku ini merupakan sejarah yang suatu saat bisa kita jadikan pelajaran dan untuk menyadarkan bahayanya PKI bagi masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan generasi yang akan datang.

IDENTITAS BUKU

Judul Buku: BANJIR DARAH (Kisah Nyata Aksi PKI terhadap Kiai, Santri, dan Kaum Muslimin)

Pengarang: Anab Afifi dan Thowaf Zuharon

Penerbit: Istanbul

Tahun Terbit: Agustus 2020

Jumlah Halaman: 416 Halaman

ISBN: 978-979-039-771-2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun