Mohon tunggu...
Sitti Patahuddin
Sitti Patahuddin Mohon Tunggu... -

Sitti Maesuri Patahuddin is an Assistant Professor of Faculty of Education, Science, Technology and Mathematics, University of Canberra. She was a Postdoc Research Fellow in The University of Canberra Australia. She was also a Research Fellow with the Research Institute for Professional Practice, and Learning and Education (RIPPLE), Charles Sturt University (CSU). She was a lecturer in mathematics education at the State University Surabaya in Indonesia for over 10 years. Sitti has worked as an Indonesian teacher trainer nationally and for the South-East Asia region and also as a mathematics education consultant for primary schools. She spent over a year working closely with primary school teachers in Queensland as a part of her ethnographic study. Before joining CSU, she was a Post-Doctoral Fellow at the University of Witswatersrand, South Africa in 2011-2012, where she researched content knowledge for teaching and facilitated secondary mathematics teachers’ learning. Her research interests include the use of technology to enrich mathematics learning, teacher professional development, assessment of teacher content knowledge for teaching, as well use the uses of video for teaching and learning.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Respon Kreatif Ananda Fida di Australia

17 Juni 2017   04:12 Diperbarui: 17 Juni 2017   04:25 957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu pelajaran yang rutin setiap tahun anakku dapatkan di sekolahnya di Australia adalah membaca sebuah buku dan memberi respon kreatifnya berdasarkan pilihan sendiri. Bisa berupa gambar, video klip, poster, power point presentation. Kali ini anakku Fida memutuskan merespon novel bacaannya "To Kill a Mockingbird" oleh Harper Lee melalui lukisan/gambar yang disertai dengan puisi. Tugas ini sangat menantang karena dia harus mencermati betul bacaanya sehingga paham pesan utama dari penulis dan selanjutnya memikirkan dengan serius cara merespon secara kreatif. Dia membertimbangakan warna, setting dan cerita baik dari aspek kepribadian, sosial, politik dan seterusnya.
Di sini saya berbagi gambar, puisi dan penjelasan atas gambarnya dan saya sertakan terjemahan saya. Dia bilang ke saya, cermati gambar kiri dg menutup gambar kanan, demikian sebaliknya.

Adapun puisinya:

Seseorang memiliki kesempatan,

Yang lainnya tidak.

Seseorang memiliki harga diri,

Yang lainnya tidak.

Seseorang memiliki kebebasan.

Yang lainnya tidak.

Satu memiliki warna kulit yang lebih baik.

One had the opportunities,

The other had none.

One had the dignity,

The other had none.

One had the freedom.

The other had none.

One had the better skin colour.

 

Rasional (Terjemahan by Sitti Maesuri Patahuddin)

Respons kreatif saya mengeksplorasi tema diskriminasi etnis/rasis yang digambarkan dalam novel Harper Lee To Kill a Mockingbird. Ini adalah gambar dua anak laki-laki dengan etnis yang berbeda, disertai puisi singkat yang membahas kehidupan kontras mereka karena perbedaan warna kulit mereka. Saya memfokuskan respon saya pada setting novel, ketika warga negara tidak mengetahui hak-hak sipil dan melakukan segregasi/pemisahan. Melalui gambar dan puisi saya, saya telah mengerti, menerapkan, dan menyampaikan interpretasi dan visualisasi yang jelas tentang tema ini, yang menunjukkan keberhasilan respons kreatif saya secara keseluruhan.

Dalam gambar saya, garis di wajah anak laki-laki menekankan perbedaan mereka dan menguraikan pemisahan antara dua sisi masyarakat. Gambaran saya adalah cerminan dari puisi itu, di mana saya menjelaskan bahwa ada tiga perbedaan yang mengecilkan "Yang lain" (orang kulit hitam) dari "Seseorang" (orang kulit putih): kesempatan, martabat dan kebebasan. Pengulangan dalam puisi saya mengakui tidak adanya aspek-aspek ini dalam kehidupan anak laki-laki kulit hitam itu.

Saya merepresentasikan kesempatan yang dimiliki oleh anak laki-laki kulit putih yaitu sebuah jalan, yang berarti dia memiliki masa depan. Ia juga memakai kacamata untuk mewakili kecerdasan dan peluangnya dalam bidang pendidikan. Di sisi lain, alih-alih jalan atau kacamata, ada api di balik anak laki-laki hitam itu untuk melambangkan masa depan yang telah hancur sejak saat ia lahir. Api adalah simbol yang pas, seperti biasa membakar rumah orang kulit hitam saat segregasi diperkenalkan di Amerika Serikat. Lebih jauh dalam novel tersebut, Lee mengenalkan Tom Robinson sebagai penggambaran signifikan dari dominasi rasis masyarakat. Pengadilannya mengungkapkan bahwa seorang pria kulit hitam bukan dalam posisi merasa "kasihan" terhadap wanita kulit putih karena harga dirinya rendah (19.124-127). Lebih lanjut, bagaimana seseorang berpakaian umumnya dikaitkan dengan martabat dan penerimaan sosial, oleh karena itu saya menggambarkan anak laki-laki kulit hitam itu dalam sebuah baju kaos kotor dan anak laki-laki kulit putih itu mengenakan kemeja berkerah bersih. Terakhir, saya mengilustrasikan aspek politik novel yang lebih luas mengenai hak-hak sipil dan kebebasan melalui gambar rantai di leher pria kulit hitam, sebagai representasi kebebasan berbicara yang dibatasi.

 "Di pengadilan kami, ketika kata orang kulit putih melawan orang kulit hitam, orang kulit putih selalu menang" (23.38-40). 

Atticus menjelaskan kepada Jem ketidaktahuan masyarakat dalam mencari kebenaran. Ini adalah fakta "jelek" bahwa kehidupan orang-orang dan jalan masa depan telah diputuskan sejak manusia dilahirkan dalam warna kulit tertentu, yang menjelaskan baris terakhir dari puisi saya: 

"Seseorang memiliki warna kulit yang lebih baik."

Sumber: thetab.com
Sumber: thetab.com
Rationale (Copy right -- Fida Ihsan, Grade 10)

My creative response explores the theme of racial discrimination depicted in Harper Lee's novel To Kill a Mockingbird. It is a drawing of two boys of different ethnicities, accompanied by a short free-verse poem that discusses their contrasting lives due to their difference in skin colour. I focus my exploration on the setting of the novel, when citizens were ignorant upon civil rights and practiced segregation. Through my drawing and poem, I have understood, applied, and conveyed a clear interpretation and visualisation of this theme, which goes to show the overall success of my creative response.

In my drawing, the line across the boys' faces emphasises their differences and outlines a separation between the two sides of society. My drawing is a reflection of the poem, where I explain that there are three differences that are lowering "The other" (the black people) from the "One" (the white people): opportunity, dignity and freedom. The repetition in my poem recognises the absence of these aspects in the black boy's life.

I represent opportunity that the white boy possesses through the road, meaning he has a future. He is also wearing glasses to represent his intelligence and opportunity in the form of education. On the other hand, instead of a road or glasses, there is a fire behind the black boy to symbolise the future that had already been destroyed since the moment he was born. Fire was a fitting symbol, as it used to be common to burn black people's houses when segregation was introduced in the US. Further into the novel, Lee introduces Tom Robinson as a significant portrayal of the community's racist dominion. His trial reveals that a black man was in no position to feel "sorry" for a white woman because his low dignity (19.124-127). How people dress is commonly associated with dignity and social acceptance, therefore I portrayed the black boy in a dirty singlet and the white boy in a clean collared shirt. Lastly, I illustrate the novel's broader political aspect of civil rights and freedom through the black boy's chained neck, as a representation of his restricted freedom of speech.

"In our courts, when it's a white man's word against a black man's, the white man always wins" (23.38-40). Atticus's explains to Jem the ignorance of society in seeking truth. It is an "ugly" fact that people's lives and future paths have been decided from the moment people were born into a certain skin colour, which explains the last line of my poem: "Onehad the better skin colour."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun