"Wohoo, unboxing time~"
"Buset, ini plastiknya banyak amett.."
"Hahh, bahannya segini tipis?"
Buka HP, scroll "transaksi pembelian", lihat produk.
"Payah, ini mah ga lulus buat dapet review segitu banyak!"
Terkadang saya bingung sendiri dengan barang yang kualitasnya rendah, harganya juga tergolong rata-rata, tetapi pembelinya bisa dibanjiri dengan review-review yang luar biasa meyakinkan. Sebenarnya ini faktor bias karena diminta seller untuk memberikan review bagus beserta rating 5 bintang, atau bagaimana ya?
Selain itu, sering saya jumpai produk-produk yang menggunakan influencer dengan video yang bikin nagih, tetapi menurut saya kualitas produknya ketika dibeli tidak wow. Jelas, ini sangat bias karena influencer dibayar jasanya, plus mendapatkan produknya gratis. Ya.. tidak mungkin kalau ia mau menjatuhi si seller yang sudah memberi berkah untuk dia. Akibatnya, para pembeli disetir oleh influencer-influencer yang justru menyesatkan, ibaratnya kalau saat travelling itu dikenal sebagai 'tourist trap'.
Sebaliknya influencer yang kredibel adalah netizen awam yang membuat content gratisan dengan maksud "just for fun", yang jadinya lebih semacam mouth-to-mouth branding. Lebih meyakinkan, karena jauh dari motif-motif matre dan over-rating.
Pada akhirnya, arus bisnis akan kian bertumbuh seperti itu, sehingga harus kita sendiri yang peka dengan menilai apakah kita pantas untuk membeli dari toko tersebut. Bisnis yang terus melaju dengan cara tersebut bakalan hanya hidup sementara, karena dalam jangka waktu panjang, apa yang kita butuhkan adalah kualitas ISINYA, BUKAN kualitas KULITNYA. Dan sebagai pembeli, balik lagi kita ke istilah "Don't judge a book by its cover."Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI