Meiliana, wanita yang mengeluhkan suara azan divonis 1,5 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan. Azan yang diperdengarkan lewat pelantang masjid dekat kediamannya dirasa terlalu bising. Keluhan Meiliana memicu kerusuhan membuat sejumlah vihara dan kelenteng rusak.
Sebuah laporan kronologis dirilis pengadilan memaparkan bagaimana peristiwa itu bermula. Termasuk terjadinya penyimpangan informasi yang mendorong terjadinya pertikaian sesama warga Tanjungbalai, Sumatera Utara, itu.
Kasus Meiliana mendapat perhatian dari media-media internasional. Hampir semua berita yang ditulis media-media asing itu seolah menggambarkan ada krisis toleransi di Indonesia.
Reuters, sebuah kantor berita di Inggris melansir tulisan berjudul "Indonesian Buddhist woman imprisoned for complaining mosque too loud" beberapa jam setelah persidangan.
Kemudian Sky News merilis judul serupa, "Woman Jailed in Indonesia for complaining mosque was to noisy" yang berisi kekhawatiran Indonesia tengah dipengaruhi pandangan Islam radikal.
Media Al-Jazeera mengangkat berita ini dengan judul "Indonesia jails woman for 'insulting Islam' over mosque 'noise'".
Begitu pula media Arab News yang menuliskan judul artikel "Indonesia woman irked by mosque noise convicted of blasphemy".
Media Inggris, The Independent mengutip pernyataan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyerukan Pengadilan Tinggi Sumatra Utara agar membatalkan vonis terhadap Meiliana tersebut.
Pertanyaanya, siapa yang salah atas tragedi yang merisak keberagaman ini? Meiliana yang ditonjolkan sebagai perwakilan minoritas, keturunan Cina lagi Budha atau jamaah masjid yang mewakili mayoritas dan dianggap berkuasa atas lingkup sosialnya?
Sebelum Meiliana dilahirkan, azan yang diperkeras dengan pelantang telah menjadi bagian budaya di nusantara.
Pelantang sudah ada di masjid-masjid di Indonesia sejak tahun 1930-an. Masjid Agung Surakarta adalah masjid pertama yang dilengkapi pengeras suara. TOA sendiri baru dikenal secara luas pada tahun 1960-an.
Jauh sebelumnya, upaya memperluas jangkauan adzan dilakukan dengan mendirikan menara. Menara masjid pertama terletak di Masjid Kudus, Jawa Tengah. Kemudian menara masjid kedua berdiri di masjid milik Kesultanan Banten.
Sebagai bagian dari notasi ibadah, azan telah menjadi tradisi yang disakralkan. Adzan juga telah menjadi pemantik semangat juang memerdekakan bangsa ini.
Pada tahun 1888, azan menjadi pemicu perjuangan rakyat Banten melawan kesewenang-wenangan pemerintah Hindia Belanda. Kelak, perlawanan itu dikenal dengan nama Geger Cilegon.
Konon, Sunan Gunung Jati menjadikan azan sebagai strategi untuk mengalahkan pendekar jahat berilmu hitam tinggi bernama Menjangan Wulung.
Banyak kisah yang menceritakan adzan sebagai pembuka pintu hidayah. Tak sedikit pula non-muslim yang memilki pengalaman spritiual saat mendengarkan lantunan azan, meski tak membuat mereka menanggalkan agamanya, mereka tetap menikmati kumandang adzan sebagai langgam keharmonisan.
Tetapi, mengapa sekarang ini adzan serupa intonasi kebencian? Sejak dulu sampai sekarang, adzan ya "gitu-gitu" aja. Nadanya, liriknya, pengeras suaranya tak banyak berubah.
Namun, era transformasi global telah mengikis kerendah-hatian individu untuk hidup bebrayan. Budaya srawung satu sama lain untuk mengkoneksikan interpretasi komunal telah dijarah gadget dan media sosial.
Keadaan ini diperparah dengan kesenjangan ekonomi, strategi politikus jahat, kecemburuan sosial yang turut meniup-niup bara permusuhan. Dalam hal ini, kita bisa bersepakat atas temuan PUSAD Paramadina.
Namun tidak pada lain hal, menyalahkan undang-undang penodaan agama, misalnya. Segala perangkat hukum bisa jadi petaka jika tidak difungsikan menurut keadilan.
Dalam tradisi Cina 500 tahun sebelum masehi, Konfusius pernah ditanya tentang kesempurnaan hidup. Ia menjawab, "Keutamaan yang sempurna adalah kamu tidak melakukan terhadap orang lain apa yang tidak ingin orang lain melakukannya terhadap dirimu." (Ragib As -- Sirjani, The Harmony Humanity).
Dalam perangkat etika Jawa dikenal dengan istilah tepa selira. Tepa selira adalah cara antar hati supaya tidak terjadi keguncangan atau ketidakseimbangan.Â
Suandri Ansah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H