Mohon tunggu...
Suandri Ansah
Suandri Ansah Mohon Tunggu... Freelancer - Konten Kreator

Power Rangers Merah

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemimpin Jahat Dipilih Parpol, Rakyat Hanya "Dipaksa" Setuju

21 Agustus 2018   21:52 Diperbarui: 21 Agustus 2018   22:05 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://twitter.com/mohmahfudmd

Setelah melewati nuansa dramatis karena tak terpilih sebagai calon wakil presiden mendampingi Joko Widodo, Mahfud MD berbicara prosesi kepemimpinan lewat gelaran Pilpres mendatang. Dia mengimbau agar masayarak tetap mengikuti alur itu dengan tertib dan teratur.

Mulanya, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini khawatir akan bangkitnya gelombang golput besar-besaran. Maklum, golput bisa saja lahir dari masyarakat yang kecewa kepada Jokowi karena membuang Mahfud di detik-detik terakhir. Bahkan muncul gerakan Golfud, Golongan Mahfud di media sosial sebagai bentuk protes. Mahfud tentu menolak jika Golfud dikaitkan sebagai gerakan golput.

"Enggak boleh golput," kata Mahfud. Dia pun meminta masyarakat tetap menggunakan hak pilihnya saat Pilpres 2019. Mahfud menyebut suara rakyat sangat menentukan masa depan bangsa untuk menghindari naiknya orang jahat ke tampuk pimpinan.

"Kita memilih ini bukan untuk memilih yang bagus betul, tapi menghindari orang jahat untuk pimpin negara," ungkap anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ini seperti dicatat wartawan.

Ungkapan ini lantas menjadi bola ping-pong di antara kubu Jokowi dan Prabowo. Kedua kubu saling sindir-sindir cantik. Kemudian mengetam tafsir "orang jahat" menurut versi masing-masing. Penjahat adalah orang yang suka ingkar janji, kata oposisi. Sementara petahana mengatakan, penjahat adalah yang belum selesai dengan kasus pelanggaran HAM. Penjahat amatir memang selalu sembunyi di balik topeng.

Lewat sebuah cuitan, Mahfud memberi benang merah agar bola panas tak menggelinding semakin liar. Ia mengutip pemikiran Guru Besar Filsafat Sekolah tinggi Driyarkara, Franz Magnis Suseno yang menyatakan: Bukan untuk mencari yang ideal tapi untuk menghalangi yang jahat jadi pemimpin.

https://twitter.com/mohmahfudmd
https://twitter.com/mohmahfudmd
Tak sampai di situ, Guru Besar Hukum UII Yogya ini juga menuliskan pandangan Islam betapa mudharatnya golput. Ada kaidah ushul fiqh: Dar'ul mafaasid muqaddamun alaa jalbil mashaalih, "Menghindari kerusakan/kejahatan harus lebih diutamakan daripada meraih kebaikan". Jadi apa yang dikemukakan oleh Franz Magnis Suseno itu sama dengan kaidah ushul fiqh. Pesannya: memilihlah, jangan golput.

https://twitter.com/mohmahfudmd
https://twitter.com/mohmahfudmd
Seruan jangan golput agar pemimpin jahat tak menang menggambarkan kemaraunya iklim demokrasi tanah air. Demokrasi yang digadang-gadang sebagai jalan mengalirkan pemimpin yang pinilih justru umbul kepemimpinannya kering. Alih-alih memilih calon terbaik, rakyat justru disuguhkan calon dengan risiko "kejahatan" paling minim. Begitu kan logikanya?

Ironisnya lagi, rakyat tidak benar-benar memilih. Kandidat disediakan parpol lewat sejumlah mekanisme politik. Mereka memoles kandidat itu mati-matian. Keburukannya didempul-dempul. Saat waktunya tiba rakyat dipaksa menyetujui pilihan parpol-tak peduli jahat-atas nama kesejahteraaan negara. Seruan tidak golput terdengar seperti pemaksaan. Dia harus memilih calon yang sebenarnya tidak dikehendaki nuraninya.

Sebuah pernyataan menarik di-twitter-kan Presiden Jancukers, Sudjiwo Tejo merespons seruan jangan golput. Begini: Mari jangan Golput untuk mencegah orang jahat jadi pemimpin. Itu bener kalau yang kita coblos memang orang yang gak jahat. Bagaimana kalau yang kita coblos justru orang jahat tapi dipoles seakan tak jahat dalam era Post Truth ini, era ketika kebenaran sudah gak penting yang penting polesannya?

https://twitter.com/sudjiwotedjo
https://twitter.com/sudjiwotedjo
Sungguh besar hatilah rakyat Indonesia. Sudah ditekan hak ekonominya, dikelabui akal budinya, dirampas hak hukum dan keadilannya, dipelintir hak beragamanya, dikekang hak bersenang-senangnya masih harus rela diperkosa hak pilih untuk menggembirakan nasib bangsanya.

Suandri Ansah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun