Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali - Tan Malaka
Pendidikan tidak untuk menciptakan generasi pintar apalagi generasi buruh, tetapi generasi bijak. Siswa boleh menjadi ahli ilmu matematika, bahasa asing, ilmu sosial, biologi, ekonomi, teknologi dan semacamnya. Bocah angon harus memanjat pohon untuk dapat memetik belimbing. Tak peduli hujan dan licin. Sesulit apapun jalan pendidikan itu. Peserta didik harus didorong cita-citanya. Lunyu-lunyu penekno.
Namun, dengan kepintarannya itu siswa tidak boleh memintari bangsanya, masyarakatnya, keluarganya, orang tuanya. Ia harus menjadi pembawa ketentraman dan penyejuk hati bagi lingkungannya. Mampu momong sesamanya. Membantu pedagang, menghormati petani, memuliakan pengangguran, memajukan perindutrian. Pendidikan adalah proses mbasuh dodo tiro. Pendidikan adalah menyeimbangkan pikiran dan perasaan. Mumpung padhang rembulane, mumpung Jembar kalangane.
Nah, di sinilah masuk tujuan lain sistem zonasi sekolah, mendekatkan lingkungan sekolah dengan peserta didik. Orang tua, masyarakat disebut memiliki peran terhadap suksesi pendidikan siswa. Sebagaimana Ki Hajar Dewantara mengonsepkan Tri Sentra Pendidikan yang melibatkan satuan pendidikan, keluarga dan masyarakat.
Sistem zonasi diharapkan mampu membentuk ruang-ruang komunal yang membesarkan nilai sosial siswa dan menguatkan interaksi peserta didik dengan masyarakat. Tak boleh lagi ada kastanisasi antarsekolah, apalagi sekolah dengan masyarakat. Dengan demikian program Penguatan Pendidikan Karakter yang dicanangkan Kemendikbud lebih terarah.
Suandri Ansah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H