Bukan kesabaran namanya bila ada batasnya #SayaMarah.
Ya, saya marah. Ada kalanya kita perlu mengungkapkan kemarahan kita secara tertulis. Karena situasi seperti berhimpitan seenak-perutnya, bila kita terus-terusan bersabar. Saat kesabaran mencapai batasnya, itu tidak layak lagi disebut kesabaran. Sehingga lebih tepatnya disebut kemarahan. Bukan kesabaran.
Dengan background warna merah saya tulis di status akun facebook saya: "Saya Marah".
Postingan pada hari Sabtu, 16/03/2019 ini dengan cepat mendapatkan berbagai tanggapan. Sampai hari saya menuliskan artikel ini status itu telah mendapatkan 25 jempol, 7 wow, 3 hahaha, dan 1 hati.
Tentu saja simbol-simbol itu menjadi bebas diartikan apakah sebenarnya maksud dari pemberi tanggapan terhadap status itu oleh orang yang melihat. Sama bebasnya dengan status "Saya Marah" itu sendiri. Kalimat yang terucap, atau zaman now kalimat yang terposting menjadi bebas diterjemahkan oleh orang yang mendengar/melihat.
Ada pula yang berkomentar pada status itu. Setidaknya ada 23 orang berkomentar. Ada yang berkomentar serius, ada juga yang komentar bercanda, bahkan ada yang komentar seperti tidak peduli.
"Saya kenal orang ini sangat sabar," tulis salah seorang teman berkomentar.
"Saya sedang mengetik," tulis teman lain.
"Marah kok ngomong..makan dong," tampaknya teman satu ini sedang lapar.
"Ya jangan ke saya dong," setengah bercanda teman yang satu lagi komentar.
"Marah aja jau nda urus aq ta masak dulu, " teman saya yang seorang ibu rumah tangga memiliki 3 anak lelaki bebas lah mau komentar apa.
Itulah sebuah kalimat menjadi bebas, lepas, seperti seekor merpati yang terbang ke angkasa. Dan parahnya lagi justru kalimat dengan status negatif akan mendapatkan tanggapan dan komentar lebih cepat dan banyak. Itulah salah satu sebab mengapa hoax yang umumnya berita negatif bahkan menyinggung Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA) menjadi leluasa berkembang seperti bunga bangkai raksasa yang mendapati siklus berbunganya setelah sekitar lima tahunan.
Jika kamu melihat postingan entah itu video, tulisan atau pun foto yang menyinggung SARA dan dapat memancing kemarahanmu. Segera redam amarahmu. Hanya dirimu sendiri yang dapat mengendalikan emosimu.
Jangan pernah menyukai atau pun memberi tanggapan apa pun pada postingan berbau SARA. Lebih jauh lagi memberikan komentar dan share postingan tersebut. Itu akan menimbulkan efek bola salju sehingga lebih banyak orang terkait pertemanan denganmu melihat. Dan sejujurnya bila mengendalikan emosimu sendiri saja susah, memberi tanggapan, komentar dan share akan memberi peluang kesusahan pengendalian emosi berjamaah. Jadi ingat, bila ada postingan berbau SARA, cukup stop di kamu.
Sebagai contoh postingan "Saya Marah" itu pun ada pula mungkin teman-teman saya yang bertanya-tanya dalam hati sebenarnya apa yang terjadi, yang hanya pembaca diam. Yang dalam hatinya kita tidak tahu apa yang berkecamuk. Dan lagi-lagi saya pun tidak tahu apa yang akan menjadi outcome dari itu karena mereka diam.
"Saya juga awalnya begitu mas jo, take a deep breath dan bantu mendoakan saja," ujar teman yang bekerja dan tinggal di Australia dengan bijak.
Dia menebak-nebak ke mana arah kemarahan saya. Dia menyimpulkan sendiri kalau saya marah dengan kejadian penembakan di Christchurch, Selandia Baru.
Saya marah, iya. Penembakan itu biarlah hukum yang memproses sekelompok pelaku tersebut. Status media sosial yang sengaja saya buat sebagai kalimat terbuka menjadi berbagai arti di pikiran teman-teman saya. Hal itu juga yang dapat terjadi dengan sebuah video.
Bila ada video di media sosial yang dapat memancing emosimu. Cukup stop di kamu. Jangan sebarkan. Karena kita tidak tahu reaksi tiap orang akan seperti apa. Ayo menjadi bijak dalam bermedia-sosial.
Kita Indonesia. Keberagaman kita adalah kesatuan yang istimewa. Saya bangga menjadi orang Indonesia.
Balikpapan, 20 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H