Mohon tunggu...
Josua Yogi
Josua Yogi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Muhamadiyah Jakarta

hobi saya bermain game dan belajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Problematika Revisi UU Penyiaran di Indonesia

5 Juli 2024   22:00 Diperbarui: 5 Juli 2024   22:04 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Problematika Revisi UU Penyiaran di indonesia

Proses penyusunan naskah Revisi Undang- undang Nomor 32 Tahun 2022 tentang Penyiaran (RUU Penyiaran) menuai kritik dari berbagai kalangan. Bentuk kritik tersebut dilakukan melalui berbagai bentuk seperti diskusi-diskusi internal oleh kalangan jurnalis dan mahasiswa; diskusi-diskusi eksternal dalam bentuk Focus Group Discussion (FGD) bersama jurnalis, peneliti, pegiat digital, dan lain-lain; hingga aksi demonstrasi untuk menolak RUU Penyiaran di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Senin, 27 Mei 2024.

Mengenai RUU Penyiaran, saya mengapresiasi Badan Legislasi DPR yang menunda pembahasan karena memperhatikan nilai-nilai pers sebagai pilar keempat demokrasi. Meskipun begitu, RUU Penyiaran setidaknya memiliki 3 (tiga) catatan krusial, yaitu pertama, adanya pelanggaran hak asasi manusia; kedua, pengabaian terhadap teknik penyusunan peraturan perundang-undangan; ketiga, perluasan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Pasal 50B ayat (2) huruf c RUU Penyiaran terang-terangan melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Ketentuan ini jelas melanggar hak asasi manusia yang mengancam kemerdekaan pers karena bertentangan dengan Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) yang melindungi pers nasional agar tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.

Selain itu, pemberian fungsi KPI dalam mengawasi konten siaran juga membatasi ruang gerak media serta mengancam kebebasan berekspresi. Bagaimana kreativitas konten digital masyarakat menjadi maju jika dihambat oleh adanya verifikasi dari KPI. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 28F, Pasal 31 ayat (1), dan Pasal 32 UUD 1945 yang memberikan jaminan hak konstitusional kepada warga negara dalam mengakses informasi dan komunikasi untuk mengembangkan pendidikannya, dan kebudayaannya.

Berdasarkan Pasal 8A ayat (1) huruf q juncto Pasal 42 ayat (2) juncto Pasal 51E RUU Penyiaran

 KPI berwenang untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran. Padahal, menurut Pasal 15 ayat (2) huruf d UU Pers, penyelesaian sengketa jurnalistik ditangani oleh Dewan Pers.

Jika ketentuan RUU Penyiaran ini berlaku dan UU Pers masih dipertahankan, maka terjadi tumpang tindih kewenangan dalam penyelesaian sengketa jurnalistik di bidang penyiaran. Lebih buruknya, jika ketentuan RUU Penyiaran ini berlaku dan UU Pers akan menyusul direvisi, maka eksistensi Dewan Pers sedang dikebiri secara struktural.

Selain itu, perluasan kewenangan KPI dikhawatirkan akan merusak independensi jurnalistik. Secara kelembagaan, Anggota KPI dipilih oleh lembaga politik, dalam hal ini adalah DPR untuk Anggota KPI Pusat dan dipilih oleh DPRD Provinsi untuk Anggota KPI Daerah. Sementara itu, Dewan Pers merupakan lembaga independen karena memiliki komposisi anggota yang seimbang antara organisasi jurnalis, perusahaan media, dan masyarakat.

Berdasarkan 3 (tiga) catatan krusial di atas, maka pembentuk undang-undang perlu memperhatikan substansi prinsipil yang menjadi perhatian di atas. DPR dan Pemerintah seyogyanya melibatkan organisasi jurnalis, para pekerja seni, dan elemen masyarakat sipil lainnya dalam penyusunan RUU Penyiaran agar menghasilkan undang-undang yang meaningful participation sebagaimana salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan.

Jawaban KPI tentang RUU penyiaran

Penguatan lembaga KPI dan penyiaran di era disrupsi media sekarang butuh penyesuaian regulasi. Oleh karenanya, revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran tahun 2002 mesti dilanjutkan agar masalah-masalah kelembagaan dan penyiaran saat ini dapat tertangani.

Pandangan tersebut disampaikan Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, I Made Sunarsa, dalam Forum Group Discussion (FGD) yang digelar Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) di AONE Hotel Jakarta, Kamis (4/7/2024).

Koordinator bidang Kelembagaan KPI Pusat ini menyampaikan, secara historis sosiologis revisi UU Penyiaran adalah sebuah keniscayaan. Selain itu, dari sisi yuridis, ada masalah serius yang mendesak adanya revisi, terkait dengan keberlangsungan hidup KPID di 33 Provinsi.

"Ada Undang-Undang No 23 tahun 2014. Atas UU ini muncul PP 18/2016, isinya tahu nggak? Tidak menjadikan KPI di daerah itu sebagai kongruen urusan daerah. Bayangkan UU ini sangat melemahkan KPID," ucap Sunarsa.

I Made Sunarsa juga bercerita, bahwa ada 9 pasal di UU Penyiaran tahun 2002 yang dikoreksi oleh UU Cipta Kerja. Beberapa di antaranya diungkapkan, seperti pengapusan dan koreksi pasal 33 dan 34.

Hal itu mengakibatkan hilangnya beberapa kewenangan KPI berkaitan dengan perizinan penyiaran. Dibutuhkan formulasi baru dalam RUU terkait kewenangan KPI.

Sunarsa mengungkapkan, kalau dulu, sebelum TV punya program siaran baru, harus melalui proses evaluasi. "Sekarang atas dasar Undang Undang Ciptaker, TV dan Radio tanpa kita tahu siarannya dulu. Kalau dulu nggak boleh," jelas I Made Sunarsa.

Lalu kebijakan ASO juga berpengaruh terhadap industri penyiaran yang menuntut peran lembaga pengawas siaran semakin komplek. "Nggak bisa lembaga mengawasi lembaga penyiaran yang bertumbuh pesat akibat ASO tanpa penguatan lembaga," tambahnya.

Menanggapi dinamika yang panas terkait pasal-pasal RUU yang dikritik oleh beberapa pihak, Sunarsa menyampaikan, "Kami belum bisa menanggapi lebih dalam soal itu, karena kami belum menerima draft resmi dari Komisi 1. Namun kami meyakini bahwa draft yang nantinya dibuat pasti didasarkan kebutuhan negara dan sudah berdasarkan aspirasi semua komponen masyarakat".

Dalam diskusi ini, hadir narasumber dari Dewan Pers, masyarakat siber Indonesia dan praktisi penyiaran lainnya. Sebelum acara ini dimulai, Wakil Menteri Komifo, Nezar Patria berkesempatan memberikan sambutan kunci.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun