Sekali lagi, peristiwa yang keterlaluan ini terjadi. Kali ini di Desa Bojong Emas, Solokan Jeruk, Kab. Bandung, Sabtu 26/4/2020. Penghadangan ambulan ini terjadi lantaran warga menolak jenazah yang diduga terpapar covid19 tersebut dimakamkan di desa mereka. Menurut penjelasan Kapolsek Solokan Jeruk, warga sudah menerima dan jenazah sudah dikebumikan.Â
Dia melanjutkan bahwa sebenarnya warga hanya syok. Padahal jenazah ini ternyata bukan korban covid19. Setidaknya itu pernyataan dari Camat Solokan Jeruk. Kalau bukan jenazah korban covid19, kenapa harus pakai APD (alat pelindung diri)? Jujur atau tidak itu urusan mereka dengan Tuhan. Karena ada masalah lain yang ingin saya bahas.
Dari peristiwa ini makin terlihat kacaunya kehidupan masyarakat kita. Dan memang seperti itu gambaran masyarakt desa. Saya pun pernah menjadi korban jiwa korsa yang salah kaprah di masyarakat desa. Bagi yang pernah atau masih tinggal di desa pasti pernah merasakannya. Apalagi bila mayoritas warganya adalah penduduk asli yang lahir, sekolah, bekerja, menikah, dan beranak di desa tersebut. Pasti repot!Â
Kali ini saya tidak akan menyalahkan pemerintah, tapi saya menyoroti warga kampung ini dan juga yang lainnya.
1. Cek Fakta!
Seharusnya warga jangan mudah terahasut. Jangan telan mentah-mentah semua informasi yang berseliweran di udara. Mari belajar seperti hidung, biar pun membutuhkan udara tapi tetap menyaring dengan bulunya setiap udara yang masuk dan keluar. Sekarang media informasi dan komunikasi sudah tersedia dengan mudah bagi siapapun. Gunakan dengan baik dan bijak. Jangan selalu berlindung di belakang predikat orang kampung atau kampungan!
2. Basmi Provokator!
Dalam kehidupan bermasyarakat di desa pasti ada satu atau beberapa tokoh yang dihormati dan diteladani. Namun ada 2 jenis, tokoh baik dan tokoh jahat. Sayangnya selalu ada saja warga yang terbuai hasutan mulut bau provokator kampungan ini. Â
Terlebih di tengah pandemi saat ini, pihak Kepolisian seharusnya mengusut tuntas dan menangkap para pria atau wanita bermental pecundang itu. Jangan cuma dibiarkan, nanti beranak pinak seperti corona. Akhirnya akan mengganggu ketertiban dan keamanan.Â
Seingat saya, tindakan provokasi ini dapat dikenakan pasal 160 dan 161 KUHP tentang penghasutan, dalam Buku II tentang Kejahatan, pada Bab V yang berjudul Kejahatan terhadap Ketertiban Umum dengan hukuman maksimal 6 (enam) tahun penjara. Pihak Kepolisian tentu jauh lebih paham daripada saya yang hanya Sebuah Meteor dan berprofesi sebagai pengkhayal.
3. Buka Pikiran!
Belajar mengerti keadaan, jangan hanya ingin dimengerti. Memang benar, bahwa pemerintah wajib memberi penjelasan dan sosialisasi kepada masyarakat. Tapi apakah mungkin setiap saat?Â
Apakah mungkin supir ambulan dan petugas medis yang sudah kontak fisik dengan jenazah, menggunakan APD lengkap, harus ke rumah-rumah warga menyampaikan riwayat penyakit jenazah?Â
Dalam kasus ini, seharusnya masyarakat sudah tau informasi tentang covid19. Seharusnya sudah tau tentang standar operasional prosedur (SOP) penanganan pasien covid19.Â
Seharusnya sudah tau bahwa para petugas medis ini adalah pejuang yang terdidik dan terlatih, tidak seperti jabatan politis yang sembarang tunjuk. Jadi yang di katakan Kapolsek bahwa masyarakat syok melihat petugas dengan APD lengkap adalah alasan norak! Kampungan! Alasan warga itu sangat tidak masuk di nalar saya. Masa iya satu kampung gak pernah liat berita di tv tentang covid?
Tolong jangan munafik dan bersikaplah yang rasional! Saya muak! Tolong berhenti atau saya akan muntah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H