Perang Rusia Ukraina telah mendorong peningkatan berbagai harga komoditas global baik komoditas pangan maupun energi.
Peningkatan harga komoditas disebabkan oleh terputusnya supply chain di negara tersebut, baik akibat perang itu sendiri maupun akibat sanksi negara maju (dalam hal ini Rusia). Kenaikan harga komoditas berdampak pada peningkatan inflasi global, baik di negara maju ataupun di negara berkembang.
Pada mayoritas negara maju dan berkembang yang terdampak, inflasi meningkat akibat komponen bahan pangan dan energi yang sebagian besar diimpor sehingga kelangkaan dalam negeri terjadi.
Sementara itu, bagi negara produsen, kenaikan harga komoditas global juga berdampak buruk karena tingginya opportunity cost bagi para pengusaha dalam negeri untuk menyalurkan produknya di dalam negeri. Kondisi tersebut menyebabkan sebagian besar negara di dunia mengalami inflasi yang lebih tinggi dari biasanya.
Negara maju, seperti AS, Eropa, Inggris, dan juga Jepang, cenderung jarang mengalami inflasi yang tinggi akibat alur distribusi yang jauh lebih baik dari negara berkembang, sehingga inflasi pada umumnya mencerminkan peningkatan permintaan domestik.
Kondisi negara maju tersebut mendorong efektifitas kebijakan moneter untuk dapat memengaruhi inflasi. Kondisi tersebut tidak terjadi pada tahun 2022, terefeleksi dari komponen utama inflasi AS yang berasal dari pangan dan energi.
Secara rata-rata inflasi bulanan pada tahun 2022 (hingga September) berada pada kisaran 0,63%mom, jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata sebelum pandemi yang berkisar antara 0,1%mom-0,2%mom.
Pada awalnya, Fed cenderung beranggapan bahwa inflasi yang terjadi pada tahun 2021 berasal dari inflasi supply shock yang bersifat temporen, namun seiring dengan lonjakan inflasi akibat perang, inflasi dari supply shock tersebut muali berimbas kepada inflasi inti, sehingga Fed mulai mulai melakukan pengetatan moneter yang lebih agresif. Pengetatan ini kemudian berlanjut pada volatilitas pasar keuangan global yang berlanjut hingga saat ini.
Di antara semua aset keuangan di Indonesia, Rupiah menjadi salah satu instrumen keuangan yang paling terdampak oleh tren pengetatan kebijakan moneter The Fed.