Mohon tunggu...
Josua Pardede
Josua Pardede Mohon Tunggu... Bankir - Chief Economist - PermataBank

Mathematician who becomes an economist.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Tensi Geopolitik dan Ekonomi: Telaah Risiko Stagflasi Akibat Perang Rusia-Ukraina

8 September 2022   13:12 Diperbarui: 13 September 2022   08:18 1214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada bulan Februari 2022, ketegangan di Eropa bagian Timur pecah setelah Rusia memutuskan untuk melakukan invasi ke Ukraina. Ketegangan ini sebenarnya sudah meningkat dalam satu tahun terakhir sejalan dengan intensi Ukraina untuk masuk ke dalam NATO. Hingga September 2022, perang masih berlanjut dan mengakibatkan dampak ekonomi ke berbagai belahan dunia, mulai dari negara maju hingga negara berkembang lainnya.

Perang pada dasarnya mengganggu proses produksi negara yang terkena langsung dari perang, sehingga imbasnya kepada aktivitas perekonomian secara umum, terutama bagi negara yang diinvasi, dalam hal ini, Ukraina.

Di sisi lain, sebagai respon dari invasi yang dilakukan oleh Rusia, negara blok NATO mengeluarkan sanksi bagi Rusia, dalam hal investasi hingga perdagangan. Akibatnya, perekonomian Rusia juga terkena shock di tahun 2022 ini.

Berbagai perusahaan, utamanya perusahaan AS dan UK menarik diri dari Rusia. Tidak hanya itu, lembaga keuangan dunia juga memblokade sistem pembayaran perbankan di Rusia, sehingga sistem pembayaran di Rusia juga terganggu di awal invasi.

Ukraina, sebagai negara yang terganggu sistem produksinya akibat perang merupakan salah satu negara produsen komoditas pertanian di Eropa.

Negara ini merupakan negara penghasil minyak bunga matahari terbesar di dunia, penghasil ketiga terbesar untuk gandum hitam, penghasil ketiga terbesar kentang, penghasil kedelapan terbesar untuk gandum.

Ketika terjadi supply chain akibat invasi Rusia ke Ukraina, alhasil terjadi peningkatan harga komoditas pangan global, yang kemudian mendorong krisis pangan global.

Krisis pangan global pada tahun 2022 tidak hanya didorong dari sisi Ukraina saja. Sanksi yang diberikan oleh negara Eropa berimbas pada revitalisasi pihak Rusia melalui larangan ekspor ke negara-negara tertentu, sehingga mengakibatkan penurunan supply dari produk pertanian.

Rusia sendiri merupakan produsen utama gandum, gandum hitam, dan juga minyak bunga matahari. Tidak hanya akibat perang saja, namun berbagai peristiwa gagal panen ikut serta dalam kenaikan komoditas pangan. Beberapa negara kemudian terpaksa melakukan larangan ekspor sebagai respon dari kelangkaan produk pangan dalam negeri.

Salah satu negara dengan kebijakan larangan ekspor adalah India, yang melakukan larangan ekspor gandum akibat gagal panen dalam negeri. Beberapa komoditas pangan terimbas yang secara langsung, seperti gandum dan minyak bunga matahari per Agustus tercatat masing-masing naik 1,6%ytd dan 9,9%ytd.

dok UK MoD
dok UK MoD

Kenaikan dari kedua komoditas tersebut sudah melewati puncaknya di bulan Maret dan April dan mulai mengalami normalisasi. Komoditas pangan lain yang juga terkena dampak adalah minyak sawit dan minyak kedelai, meskipun harga kedua komoditas tersebut sudah mengalami normalisasi. Harga komoditas minyak kelapa sawit bahkan sudah terkontraksi -19,2%ytd.

Meskipun harga pangan mulai cenderung melandai, tidak berlaku pula dengan komoditas energi. Komoditas energi erat hubungannya dengan Rusia, mengingat Rusia dapat dikatakan sebagai lumbung energi global.

Rusia merupakan negara dengan cadangan gas terbesar di dunia, cadangan batu bara terbesar kedua di dunia, serta memiliki cadangan minyak mentah kedelapan terbesar di dunia. Hal ini kemudian diperkuat juga oleh status Rusia sebagai salah satu produsen utama gas di kawasan Eropa.

Sebagai langkah retaliasi, pihak Rusia menahan ekspor minyak mentah dan batu bara, sehingga harga komoditas energi tersebut meningkat. Tidak hanya itu, Rusia, melalui perusahaan gasnya, juga menahan aliran gas ke Eropa, sehingga terjadi kelangkaan energi di Eropa. Harga rata-rata minyak global per Agustus sudah naik 31,7%ytd, harga gas di Eropa naik 84,2%ytd, sementara harga batu bara naik 90,8%ytd.

 Berbeda dengan komoditas pangan, di mana beberapa harga komoditas mulai mengalami penurunan, harga komoditas energi masih mengalami kenaikan bahkan dalam tiga bulan terakhir.

Hal ini mengindikasikan bahwa harga komoditas energi baru akan mengalami normalisasi bila perang Rusia-Ukraina mulai mereda.

dokpri
dokpri

Kondisi krisis pangan dan energi akibat perang mengakibatkan inflasi di negara maju dan juga negara berkembang mengalami kenaikan yang signifikan. Inflasi bulanan di AS pada tahun 2022 (per Juli), rata-rata tercatat 0,74%mom, lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata inflasi bulanan pada 2021 sebesar 0,57%mom.

Rata-rata inflasi bulanan ini juga jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata inflasi di 2017, 208, dan 2019, yang masing-masing tercatat 0,18%mom, 0,17%mom, dan 0,20%mom. Inflasi tahunan AS bahkan meningkat hingga 9,1%yoy di bulan Juni, tertinggi sejak 1981, di mana terjadi krisis minyak global. Tidak hanya AS, kawasan Eropa juga terdampak oleh harga komoditas global.

Inflasi tahunan kawasan Eropa mencapai 9,1%yoy, tertinggi sejak tercatat pertama kali di tahun 1997. Inflasi Inggris pun tercatat naik hingga 10,1%yoy, tertinggi sejak 1982, dengan alasan yang serupa, yaitu krisis energi global.

Peningkatan inflasi di negara maju didorong oleh harga komoditas energi dan beberapa bahan pangan yang meningkat, dan kemudian berdampak juga pada barang-barang lainnya, sehingga baik inflasi headline maupun inflasi inti meningkat hingga tahun 2022.

dokpri
dokpri

Inflasi bahan pangan sendiri diperkirakan secara berangsur-angsur mulai melambat, akibat penyesuaian kebijakan serta pencabutan larangan ekspor di beberapa negara.

Sementara itu, perang yang tidak kunjung usai, serta belum adanya sinyal perdamaian berakibat pada masih tingginya harga komoditas energi.

Inflasi dari sisi supply yang meningkat pada awalnya diperkirakan hanya bersifat temporer, namun, tren harga yang masih tinggi berdampak pada pada inflasi inti di berbagai negara.

Biaya transportasi dan juga input untuk manufaktur memaksa perusahaan untuk mentransmisikan harganya kepada konsumen, sehingga barang-barang tahan lama juga meningkat. Alhasil daya beli masyarakat cenderung tergerus, yang juga berdampak pada profitabilitas pelaku usaha.

dokpri
dokpri

Bank sentral merespon tingginya inflasi melalui berbagai kebijakan moneter ketat, mulai dari tapering/pengurangan stimulus moneter, hingga menaikan suku bunga acuannya. Hingga bulan Agustus, beberapa bank sentral global telah menaikan suku bunganya secara agresif.

Bank sentral kawasan Eropa, ECB, telah menaikan suku bunganya hingga 50bps menjadi 0,0% pada bulan Juli 2022, tertinggi sejak 2014. Bank sentral Inggris Raya, telah menaikan suku bunganya sebesar 150bps menjadi 1,75% di tahun 2022. Sementara itu, bank sentral AS, Fed, sudah menaikan suku bunganya sebesar 225bps ke level 2,50%.

dokpri
dokpri

Inflasi dari sisi supply, serta peningkatan suku bunga bank sentral negara maju meningkatkan risiko stagflasi atau bahkan resesi di tingkat global.

Secara teori, bank sentral meningkatkan suku bunganya, ketika pertumbuhan ekonomi meningkat tajam akibat permintaan barang dan jasa dan menyebabkan ekonomi terlalu “panas” dan meningkatkan inflasi.

Alhasil, ketika perekonomian belum pulih sepenuhnya, namun suku bunga meningkat, maka terjadi potensi stagflasi di negara tersebut. Stagflasi dapat kemudian menyebabkan terjadinya resesi ekonomi.

Potensi stagflasi sudah mulai terefleksi dari perekonomian AS, di mana inflasi tinggi, namun terjadi kontraksi pertumbuhan ekonomi di 1Q22 dan 2Q22, sebesar masing-masing -1,6%qoq dan -0,6%qoq. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Eropa masih stabil di kisaran 0,5%qoq dan 0,6%qoq.

dokpri
dokpri

Potensi risiko inflasi dan perlambatan pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu potensi risiko global di tahun 2022, dan berkemungkinan berlanjut di tahun 2023. Potensi dari perlambatan global sangat erat kaitannya dengan permintaan ekspor serta potensi investasi Indonesia.

Di sisi lain, inflasi global dan kecenderungan hawkish dari bank sentral global membawa risiko bagi nilai tukar dan pasar keuangan Indonesia kedepannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun