Peningkatan inflasi di negara maju didorong oleh harga komoditas energi dan beberapa bahan pangan yang meningkat, dan kemudian berdampak juga pada barang-barang lainnya, sehingga baik inflasi headline maupun inflasi inti meningkat hingga tahun 2022.
Inflasi bahan pangan sendiri diperkirakan secara berangsur-angsur mulai melambat, akibat penyesuaian kebijakan serta pencabutan larangan ekspor di beberapa negara.
Sementara itu, perang yang tidak kunjung usai, serta belum adanya sinyal perdamaian berakibat pada masih tingginya harga komoditas energi.
Inflasi dari sisi supply yang meningkat pada awalnya diperkirakan hanya bersifat temporer, namun, tren harga yang masih tinggi berdampak pada pada inflasi inti di berbagai negara.
Biaya transportasi dan juga input untuk manufaktur memaksa perusahaan untuk mentransmisikan harganya kepada konsumen, sehingga barang-barang tahan lama juga meningkat. Alhasil daya beli masyarakat cenderung tergerus, yang juga berdampak pada profitabilitas pelaku usaha.
Bank sentral merespon tingginya inflasi melalui berbagai kebijakan moneter ketat, mulai dari tapering/pengurangan stimulus moneter, hingga menaikan suku bunga acuannya. Hingga bulan Agustus, beberapa bank sentral global telah menaikan suku bunganya secara agresif.
Bank sentral kawasan Eropa, ECB, telah menaikan suku bunganya hingga 50bps menjadi 0,0% pada bulan Juli 2022, tertinggi sejak 2014. Bank sentral Inggris Raya, telah menaikan suku bunganya sebesar 150bps menjadi 1,75% di tahun 2022. Sementara itu, bank sentral AS, Fed, sudah menaikan suku bunganya sebesar 225bps ke level 2,50%.
Inflasi dari sisi supply, serta peningkatan suku bunga bank sentral negara maju meningkatkan risiko stagflasi atau bahkan resesi di tingkat global.