Agama dan Pewahyuan
Pandangan yang sangat tradisional dalam teologi menyatakan bahwa teologi merupakan ilmu berbasis pada sumber tekstual yang tidak salah. Pandangan ini menghasilkan sebuah tradisi yang disebut ineransi Kitab Suci, yaitu Kitab Suci dalam teks aslinya bebas dari kata "salah". Namun, berkembangnya penelitian kritik-historis dan kritik-tekstual menyebabkan semakin besarnya keraguan akan pandangan tersebut. Penelitian ini didasarkan pada kritik terhadap keyakinan bahwa suatu teks tertentu merupakan salinan yang tidak salah dari suatu sumber asli yang "abadi" sehingga tampak seperti kecenderungan alami dari imajinasi religius manusia (subjektif) daripada kebenaran yang dapat dipastikan secara objektif. Berangkat dari keresahan tersebut, para teolog berusaha mencari semacam validasi wahyu yang lebih objektif (tidak hanya berdasarkan pada pernyataan bahwa itu benar). Tulisan ini akan membahas struktur atau model wahyu dalam berbagai tradisi keagamaan.
Apa itu Wahyu?
Istilah "wahyu" hampir sering dijumpai dalam kehidupan keagamaan. Secara sederhana, "wahyu" diterjemahkan sebagai bentuk penyataan Allah melalui berbagai cara dan ditujukan untuk memberikan petunjuk kepada umat-Nya. Kendati demikian, wahyu tidak diturunkan kepada siapa pun melainkan hanya kepada orang-orang tertentu yang selanjutnya dikenal sebagai nabi atau rasul. Setidaknya sebagian besar tradisi agama-agama besar di dunia mengenal dan memiliki struktur pewahyuannya masing-masing. Keith Ward dalam bukunya, Religion and Revelation: A Theology in the World's Religions, menyatakan adanya tiga bentuk utama wahyu yang sekaligus memberikan semacam legitimasi bagi otoritas keagamaan. Ketiga dasar yang membentuk struktur wahyu ini ialah faktor pengetahuan khusus, pengalaman, dan keahlian khusus. Adapun bentuk-bentuk wahyu ini menjelaskan cara penerima wahyu menerima dan menyampaikan wahyu kepada umat yang mempercayai hal tersebut. Lalu, berdasarkan sumber penerimaannya wahyu dibagi menjadi dua bentuk, yakni wahyu yang secara langsung diberikan oleh sang entitas absolut (wahyu proposisional) dan wahyu yang didapat dari disiplin diri tinggi untuk memahami dunia (wahyu aktif).
Menyadari keragaman makna dan struktur wahyu, Ward menemukan sebuah definisi yang lebih kompleks bahwa wahyu merupakan sebuah pesan pembebasan. Perspektif demikian memberikan mengartikan bahwa wahyu yang diterima oleh seseorang selalu ditujukan untuk tujuan pembebasan. Pembebasan di sini tidak hanya bermaksud melepaskan sebuah kelompok pada konteks tertentu dari penindasan yang ada. Jauh lebih luas dari itu pembebasan dari wahyu juga mencakup bagaimana seorang penerima wahyu dapat terlepas dari keinginannya dan menjalankan apa maksud Entitas Absolut ini sebagai pemberi wahyu itu sendiri.
Wahyu dalam Pluralitas Agama
Selanjutnya, Ward menjelaskan perihal Wahyu yang ada di tradisi semitik yang dibandingkan dengan yang ada di india, dan juga membahas perihal Yesus dan Buddha. Dalam bahasannya, Ward menjelaskan terdapat perbedaan pandangan mengenai kosmik dan Allah dalam masing-masing pandangan tradisi semitik dan tradisi India. Dalam tradisi semitik allah digambarkan melampaui kosmik dan kemudian digambarkan sebagai Allah yang membebaskan umat dari ketidakadilan yang ada dalam kosmik asalkan mengikuti perintahNya. Di sisi lain, tradisi dalam india mengatakan bahwa kosmik adalah wujud dari Brahmana itu sendiri serta setiap kejadian yang ada dalam kosmik adalah kekhasan Brahma pada dirinya sendiri. Perbedaan dalam kedua pandangan ini adalah tentang melihat cara Entitas Absolut bekerja. Dalam penjelasannya ia mengatakan bahwa ada perbedaan signifikan antara Yesus dan Buddha. Walaupun kedua tokoh tersebut adalah pewahyuan akan sosok ideal yang dikagumi dan ingin dicapai oleh manusia, keduanya memiliki corak yang berbeda. Buddha menjelaskan perihal lepas dari kemelekatan untuk mencapai sebuah kondisi nirwana sedangkan Yesus menjelaskan tentang bagaimana mentransfigurasi hal-hal temporal dan membawa kesadaran pada kesadaran akan Sang Ilahi itu sendiri.
Pandangan-pandangan di atas menunjukan bahwa kerangka historis masing-masing kepercayaan menimbulkan pewahyuan yang berbeda-beda. Lantas mana yang benar? Tampaknya, sikap untuk menyatakan mana yang benar dan mana yang salah perlu untuk dihilangkan dan diganti dengan sikap melihat dari berbagai perspektif dan mencoba belajar dari wahyu-wahyu kepercayaan lain. Hal ini kemudian membawa pada pemahaman tentang teologi yang terbuka. Ward menggambarkan pemahaman tentang teologi terbuka dalam enam ciri utama: berusaha menemukan konvergensi ragam keyakinan pada suatu titik bersama serta mengklarifikasi adanya kesepakatan yang mendalam; berusaha mempelajari kepercayaan tradisi agama lain dengan harapan menemukan sebuah pemahaman yang saling melengkapi antar tradisi; bersedia mereinterpretasi kepercayaannya dalam terang baru yang berdasarkan pada fakta-fakta nyata dan sikap saling menghargai; berusaha mengakui sepenuhnya hak eksistensial berbagai sistem kepercayaan sejauh mereka tidak menimbulkan kekacauan dan mengancam kehidupan makhluk yang tak bersalah; mendorong adanya dialog antar tradisi sekalipun bersifat kontradiktif serta bersedia mengkritisi tradisinya sendiri; dan terbuka bagi pengembangan kepercayaan yang lebih bersifat kontekstual atau peka terhadap dinamika konteks sejarah dan budaya.
Dalam pengertian yang sama, Ward memberikan penegasan untuk menghindari cara berteologi tertutup yang bersifat sangat eksklusif. Kendati demikian, Ward juga mengakui bahwa tidak ada teologi yang sepenuhnya terbuka atau sepenuhnya tertutup. Namun, jika kebenaran sejati bersifat universal -- sekalipun dipahami melalui ragam latar belakang budaya -- dan jika setiap tradisi memiliki arah dan tujuan yang sama (Realitas Tertinggi), maka harapan akan adanya konvergensi keyakinan di antara tradisi-tradisi keagamaan sangat mungkin untuk terealisasikan. Membangun teologi yang terbuka sangat penting dalam memulai dialog antara tradisi keagamaan.
Penutup
Eksistensi wahyu ditujukan bagi penggenapan maksud ilahi. Melalui wahyu yang diterima secara langsung dari Sang Ilahi maupun yang disampaikan oleh orang-orang terpilih, umat beragama dapat memahami maksud dan tujuan Sang Ilahi dalam kehidupannya. Oleh karena itu, wahyu juga dapat dipahami sebagai salah satu upaya adanya dialog antara Sang Ilahi dengan manusia sekalipun bentuk pewahyuan selalu di luar kapasitas kognitif manusia. Dengan kata lain, wahyu dihasilkan melalui perpaduan antara imajinasi dan refleksi manusia dengan persuasi kooperatif Sang Ilahi (atau mereka yang terpilih), yang mengarah pada satu nilai atau tujuan tertinggi.
Acuan
Ward, Keith. 1994. Religion and revelation: A theology of revelation in the World's Religions. Oxford: Oxford University Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H