Mohon tunggu...
Johannes De Fretes
Johannes De Fretes Mohon Tunggu... -

Football and Philosophy Lovers \r\nFavorite quotes: You have given me mud and I have made of it gold-Baudelaire-\r\nLife is like football: the adversary is the best teacher -Paulo Coelho-

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Football for Hope

10 November 2011   14:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:49 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

FOOTBALL FOR HOPE

( dimuat dalam Tabloid BOLA no. 2.271 10-11 November 2011, rubrik OPOSAN)

Ketika kick off Indonesia versus Kamboja dimulai, spontan imajinasi membawa saya menuju ke suatu tempat yang indah, sekaligus masih penuh dengan kekerasan dan darah. Ya, Papua. Saya membayangkan berada di tengah-tengah masyarakat Papua menonton tayangan langsung pertandingan itu.

Empat putra daerah Papua: Patrick Wanggai, Oktovianus Maniani, Titus Bonay, dan Stevie Bonsapia menjadi kerangka tim Garuda U-23. Kebanggaan lokalitas ini tidak mermaksud meniadakan kerja keras pemain lain. Tetapi paling tidak, kehadiran pemain Papua membawa harapan bagi kita.

Ya, sepakbola adalah harapan, itu yang dibawa oleh tim nasional U-23. Harapan tak sekadar menang, tetapi harapan bahwa masih ada orang-orang yang bekerja keras demi kemajuan sepakbola Indonesia.

Mengaitkan 'sepakbola' dan 'harapan' bukanlah hal yang sulit. FIFA melalui situs resminya- menyatakan bahwa: "The creation of a Football for Hope Centre begins with identifying both the local challenges as well as a local organisation that successfully uses football-based programmes for social development".

Sepakbola selalu memiliki sinergi dengan masyarakat lokal. Sinergi yang membangun masyarakat dengan pendekatan kemanusiaan serta memberikan harapan kepada masyarakat untuk lebih sejahtera hidupnya. Mungkin bagi kita yang berada di Indonesia, Football For Hope kedengaran sangat utopis, sekadar program yang mengawang-awang, tetapi tidak bagi negara-negara maju, khususnya di Eropa. Sepakbola, bagi mereka, tak sekadar hiburan, tetapi juga adalah cara berempati kepada sesama. FIFA melalui program Football for Hope, menyambangi negara-negara Afrika dengan mengembangkan sepakbola lokal, bagi anak-anak, sekaligus membangun infrastruktur dan menggalang donatur untuk pendidikan dan kesejahteraan masyarakat setempat.

Sepakbola dan Harapan, bagi kita justru menjadi dua hal yang berjarak, tak bersinergi, nggak nyambung. Alih-alih sebagai hiburan, sepakbola ternyata menjadi medan politik yang sangat kejam. Ada politik uang, dan persekongkolan yang saling menjatuhkan. Belakangan kita dihadapkan kembali dengan situasi sepakbola tanpa harapan. Dua kubu yang tadinya bersatu mengusung reformasi sepakbola, tiba-tiba menjadi pihak yang sama-sama arogan,sama-sama  merasa sebagai penjaga statuta yang paling benar.

Mengapa PSSI membangun sepakbola tanpa harapan?

Pertama: secara struktural, kepengurusan PSSI sudah tidak memiliki kewibawaan lagi. Karut-marut- silang pendapat yang tak berujung dan selalu menggunakan jalan pikiran menggulingkan kepemimpinan sebagai cara yang terbaik. Struktur organisasi yang dikelola seperti demikian hanya dimiliki oleh kelompok mafia, yang tak mengenal musyawarah.

Kedua: Lupakan pembinaan sepakbola usia remaja. Karena pengelolaan terhadap tim nasional senior sangat abal-abal. Mendadak ganti pelatih, dan belum usai kita memperdebatkan pergantian pelatih yang sepihak, belakangan PSSI sepertinya menjilat ludah sendiri dengan menaturalisasi beberapa pemain asing.

Ketiga: Teriakan "Garuda di dadaku" oleh pecinta sepakbola Indonesia, sepertinya kalah nyaring dengan teriakan para politisi yang belakangan ikut mengatur sepakbola menjadi kendaraan popularitas mereka. Lengkap sudah keterpurukan masyarakat Indonesia: dijejali janji-janji yang tak ditepati, serta disajikan sepakbola penuh intrik politik.

Setengah lusin gol di laga pamungkas Sea Games XVI, memang belum memperlihatkan apa-apa. Tetapi ada keringat, spirit, dan doa untuk terus mengusung harapan. Kini biarlah PSSI menatap kepongahannya yang perlahan-lahan hancur, tergerus oleh ego pengurusnya sendiri. Tinggal kita: masyarakat pers termasuk  BOLA dan masyarakat pecinta sepakbola, yang harus tetap optimis membangun sepakbola di atas batu karang yang teguh.

Ketimbang mengumpat lebih baik nyalakan lilin kecil. Harapan memberi kehangatan bagi masyarakat Indonesia, dalam hati mereka tersemat doa bagi perjuangan tim nasional U-23! Football For Hope!! Masih ada harapan bagi sepakbola kita!

Johannes S.A. de Fretes

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun