Ilustrasi hasil survei politik (KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN)
Pilkada serentak periode ke-2 di tahun 2017 sudah di ambang pintu. Partai politik mulai menimang-nimang calonnya, siapa yang akan dimajukan, dan bagaimana cara memenangkan calonnya. Berbagai macam usaha pun dilakukan oleh calon, dan salah satu cara untuk memprediksi kemenangan adalah menggunakan survei.
Ya, survei bukan sembarang survei tentunya, tetapi survei politik. Sebuah survei yang mampu mengukur apa yang harus diukur dan biarpun di aplikasikan pada populasi yang bebeda, menghasilkan hasil yang konsisten. Survei yang mempunyai ketepatan prediksi siapakah gerangan yang calon yang menang, dan survei dengan tingkat kepercayaan yang tinggi.
Membaca Hasil Survei Politik
Survei yang bagaimanakah yang paling akurat? Survei yang paling akurat adalah mengadakan survei ke semua pemilik suara yang terdaftar. Inilah metode yang paling akurat. Masalahnya adalah berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan wawancara terhadap semua pemilik suara yang terdaftar. Apakah ada sebuah metode survei yang kira-kira bisa memprediksi dan memotret realitas dalam masyarakat?
Prinsip dari survei adalah semakin banyak jumlah responden yang disurvei, maka akan semakin tepatlah dalam memprediksi hasil sebuah pemilihan umum, baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden atau pilkada.
Membaca hasil survei politik gampang-gampang susah. Hal pertama yang paling harus diingat dalam membaca hasil survei politik adalah siapa yang melakukan survei politik tersebut. Survei politik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang terpercaya dan mempunyai sejarah dan integritas keilmuan yang panjang adalah yang paling utama dalam membaca sebuah survei politik untuk dipercayai.
Hal yang kedua, hasil survei politik harus dibarengi dengan cara bagaimana lembaga tersebut melakukan survei atau metodologi survei harus dijelaskan oleh lembaga survei tersebut. Dalam metodologi survei, pembaca akan disuguhi berapa narasumber atau responden yang disurvei, bagaimana cara melakukan survei, apakah dengan digital survey (on line survey, mobile phone survey), atau analog survey (dengan teknik wawancara, atau mengisi kuisioner) atau gabungan dari cara-cara tersebut.
Lalu ada istilah yang selalu dikatakan oleh peneliti, yaitu tingkat kesalahan atau margin or error dan taraf kepercayaan atau confident interval. Kedua istilah tersebut selalu diucapkan berulang-ulang dalam setiap pemaparan hasil survei. Prinsipnya semakin kecil margin error, maka akan semakin besar jumlah sampel yang disurvei dan akan semakin akurat hasil survei tersebut. Lalu berapakah jumlah sampel yang harus disurvei dan berapakan margin error yang hendak dipakai?
Rumus yang bisa dipakai untuk memprediksi berapa jumlah sampel yang akan disurvei dapat bermacam-macam. Ada banyak buku statistik yang menerangkannya. Tetapi gampangnya, jumlah sampel yang akan disurvei ditentukan dengan margin error dalam survei tersebut sama dengan 1 dibagi akar dari jumlah sampel. Sebagai contoh, untuk margin error 2.5% maka jumlah sampel yang harus disurvei dengan rumus tersebut adalah 1600. Itu adalah jumlah yang sangat bagus dan secara statistik tidak salah untuk sebuah survei.
“Dengan margin of error 2.5% dan confident interval 95%, maka Jokowi Ahok akan mengalahkan Foke sangat tipis, yaitu dengan perbedaan elektabilitas suara hanya 2% saja”. Benarkah pernyataan tersebut di atas?
Jika ada peneliti yang mengatakan seperti itu, layakkah untuk dipercaya? Jika perbedaan elektabilitas suara hanya 2% dengan margin error 2.5% dan confident interval 95%, maka akan sangat sulit mengatakan Jokowi Ahok akan menang. Untuk menjadikan kemungkinan menang, maka Jokowi Ahok harus mempunyai perbedaan elektabilitas lebih dari 5% atau dua kali margin error pada confident interval 95%.
Margin error dalam survei poilitik sebenarnya adalah margin sampling error, yang prakteknya adalah sebuah persamaan matematik yang gunanya untuk menghitung jumlah responden dalam suatu survei. Sebagai contoh, jika populasi yang akan disurvei adalah 100, maka margin error dalam survei tersebut adalah plus-minus 10, yang tentu saja terlalu besar untuk sebuah survei.
Jika jumlah responden dinaikkan menjadi 1000 responden, maka margin error dalam survei tersebut menjadi plus minus 3. Untuk mencapai margin error plus minus 1 maka jumlah responden yang harus disurvei adalah 5000. Jadi margin error tidak ada hubungannya dengan akurasi ketepatan sebuah survei. Karena sebuah margin error yang bener-bener margin error dalam suatu survei politik hampir mustahil untuk dihitung, mengingat margin error dalam survei potitik adalah tergantung kepada banyak faktor seperti pertanyaan dalam kuisioner yang bias, bias responden, analisis yang bias, atau bahkan kesalahan pemodelan atau kesalahan perhitungan statistik.
Semoga dengan penjelasan singkat di atas masyarakat dapat mengerti bagaimana membaca survei politik yang akan bertubi-tubi ditemui di media massa dan di media sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H