Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
(Aku Ingin, Sapardi Djoko Damono)
Toleransi. Kata yang terdengar ideal dan seolah mudah diwujudkan. Namun, realitas masa kini justru semakin jauh dari sikap toleran, terutama dengan hadirnya teknologi yang kian menjauhkan anak-anak muda dari kedekatan nurani. Generasi muda, khususnya yang tinggal di kota metropolitan, sering kali terjebak dalam rutinitas yang serba cepat dan sikap individualisme. Ketika kesibukan kota menggerus ruang dan tenaga, sikap toleran yang seharusnya dipraktikkan sering kali digantikan dengan sikap acuh tak acuh.
Terkadang, kita perlu berani untuk berhenti sejenak dari rutinitas. Ibarat kopi yang baru terasa nikmat setelah ampasnya mengendap, begitu pula hidup kita. Jika terus "mengaduk" kehidupan tanpa memberi waktu untuk mengendap, kita tidak akan menemukan makna dari setiap hal yang dilakukan. Makna toleransi tidak dapat diperoleh hanya dari buku pelajaran, melainkan harus dirasakan dan dialami secara langsung.
Makna toleransi tidak dapat diperoleh hanya dari buku pelajaran, melainkan harus dirasakan dan dialami secara langsung.
Pagi itu, tepat pukul 7 pagi, tas, koper, dan perlengkapan lainnya mulai dimasukkan ke dalam bagasi bus. Para Kanisian (sebutan bagi siswa Kolese Kanisius) berbaris rapi memasuki kendaraan. Mereka hendak pergi untuk "mencicipi" makna toleransi dalam kegiatan ekskursi 2024. Kegiatan ekskursi yang dilaksanakan pada 30 Oktober - 1 November 2024 mengusung tema "Embrace, Share and Celebrate Our Faith". Kegiatan ini bertujuan untuk menyatukan kiprah anak muda Indonesia tanpa terhalang segala bentuk perbedaan, termasuk kepercayaan.
Perjalanan menuju pondok pesantren Amanah, Tasikmalaya memakan waktu selama 7 jam. Setibanya di pondok pesantren, para santri sudah berbaris rapi untuk menyambut kehadiran kami. Tidak butuh waktu lama, tampak keakraban anak-anak santri dengan pendatang baru, siswa Kolese Kanisius di Pesantren Amanah.
Cerminan Nusantara
Gambaran sederhana persahabatan di Pesantren Amanah mencerminkan cita-cita para pemuda pada 28 Oktober 1928. Kesamaan dan tekad untuk bersatu melampaui batas-batas daerah, suku, dan agama. Persatuan ini didasari oleh semangat kebangsaan dan rasa saling menghormati yang menjadi fondasi kuat bagi Bangsa Indonesia untuk merdeka (1).
Cerminan Nusantara tampak melalui berbagai kegiatan yang dilakukan para santri  Pesantren Amanah bersama dengan 22 orang Kanisian. Ikrar Sumpah Pemuda yang dulu diucapkan para tokoh perjuangan seakan bergema kembali selama tiga hari kegiatan ekskursi 2024. Identitas diri sebagai satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa menjadi landasan kokoh dalam memahami keberagaman dan menumbuhkan toleransi. Selama tiga hari tersebut, semangat persatuan tampak menyala dalam dada setiap anak muda.
Melalui berbagai kegiatan, seperti mengaji, olahraga bersama, makan bersama, diskusi bersama, bermain musik bersama, dan belajar bersama, anak muda merangkai momen-momen tersebut menjadi kekuatan kolektif dalam membangun visi untuk negeri. Pengalaman tinggal di Pesantren Amanah membukakan wawasan Kanisian tentang kesederhanaan dan kedisiplinan.