Reformasi pendidikan menuju Indonesia Emas 2045 adalah sebuah keniscayaan. Pemuda-pemudi bangsa yang kreatif dan inovatif harus dilahirkan untuk menghadapi tantangan masa depan. Sekolah-sekolah menjadi ujung tombak dalam menyediakan pendidikan berkualitas demi membentuk pribadi yang tangguh dan berintegritas.
Guru, yang sering kita sebut pelita dalam kegelapan, merupakan kunci untuk menuju Indonesia Emas. Namun, di balik cita-cita selangit, terdapat kisah pilu di dalamnya. Bagaimana tidak, ketika para murid datang ke sekolah menggunakan mobil, para siswa memakai telepon dengan merk-merk tertentu, ada sosok guru honorer yang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sebuah ironi yang menunjukkan kebobrokan sistem pendidikan kita.Â
Alvi Noviardi, guru honorer yang telah mengajar selama 38 tahun, tak kunjung diangkat sebagai guru tetap. Selama berpuluh-puluh tahun, Alvi telah berpindah dari satu sekolah ke sekolah lain untuk mengajar. Penghasilannya sebagai guru honorer tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Alhasil, sepulang mengajar, Ia harus memulung barang bekas untuk menyambung hidup(1).
Tenaga pendidik sering kali dihadapkan pada kepentingan para penguasa yang memanfaatkan pendidikan sebagai alat politik, alih-alih menganggapnya sebagai hak fundamental bagi setiap warga negara. Di balik dinding-dinding kelas, guru honorer yang mendedikasikan hidup mereka untuk mencerdaskan bangsa harus bertahan di tengah kebijakan yang tidak berpihak pada mereka. Mereka dituntut untuk mengajar dengan sepenuh hati, Â bahkan ketika hak-hak mereka tidak diperjuangkan.
Profesi GuruÂ
Guru bukan sekadar profesi dan juga bukan sekadar nama yang terdengar indah di telinga. Di balik tugasnya, seorang guru memikul tanggung jawab besar untuk mencerdaskan generasi penerus. Ketika empati terhadap guru tidak ada dalam diri para pejabat, seolah-olah gaji tinggi hanya menjadi hak mutlak bagi mereka yang duduk di kursi kekuasaan, sementara para pendidik yang sejatinya membangun masa depan bangsa dibiarkan berjuang sendiri.
Beda negara, beda pula nasibnya. Di Finlandia, profesi guru sangat dihargai dan didukung penuh oleh pemerintah. Meskipun persyaratan menjadi guru di sana cukup ketat, yakni harus memiliki gelar S-2, pemerintah memberikan dukungan melalui beasiswa pendidikan. Di sana, guru dianggap sebagai pilar utama yang memiliki peran penting dalam membentuk masa depan bangsa.
Dari segi penghasilan, guru di Finlandia menghasilkan rata-rata 50 juta rupiah/bulan(2). Selain itu, mereka juga mendapat tunjangan kesehatan dan jaminan hari tua oleh pemerintah. Sebaliknya, di Indonesia, gaji guru honorer hanya berkisar 500 ribu sampai 1 juta rupiah/bulan. Status sebagai guru honorer tidak memiliki perlindungan hukum yang membuat mereka rentan diberhentikan kapan saja dan tidak mendapat tunjangan kesehatan ataupun jaminan pensiun(3).Â
Menjadi guru tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tugas ini menuntut kemampuan mengajar, mengobservasi, merefleksikan pengalaman, memahami, dan menganalisis berbagai situasi di dalam kelas. Seorang guru juga harus mampu beradaptasi dengan metode belajar yang berbeda untuk setiap muridnya. Hal itu diperlukan karena setiap siswa memiliki gaya belajar dan kebutuhan yang unik.
Mungkin kita tahu tentang peristiwa sejarah ketika bom atom dijatuhkan oleh Amerika di Hiroshima dan Nagasaki yang memaksa Jepang untuk menyerah kepada sekutu pada 15 Agustus 1945. Namun, tidak semua orang mengetahui peristiwa selanjutnya yang dilakukan oleh Kaisar Hirohito. Saat Jepang menyerah kepada sekutu, Kaisar mengumpulkan para jenderalnya dan bertanya: "Berapa jumlah guru yang tersisa?" Para jenderal pun bingung dan menegaskan bahwa mereka masih bisa melindungi kaisar walaupun tanpa guru.
Kaisar Hirohito mengungkapkan bahwa kegagalan Jepang disebabkan karena tidak belajar dari kesalahan. Jepang memiliki kekuatan militer dan strategi perang yang mumpuni, tetapi tertinggal dalam penguasaan teknologi, seperti bom atom. Oleh karena itu, Ia memerintahkan agar guru-guru yang tersisa dikumpulkan dari seluruh pelosok negeri. Keseriusan Jepang dalam hal pendidikan tercermin sampai saat ini dengan kualitas pendidikannya yang melampaui negara-negara Eropa dan Amerika.
Tujuan Pendidikan
Dalam pendidikan, tujuan utama yang harus dicapai adalah pengembangan karakter setiap insan. Kurang cerdas bisa diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki (Mohammad Hatta). Seorang pemimpin (Leader of Service) tidak hanya kompeten di bidang akademik, melainkan mampu menjadi teladan bagi orang lain.
Ki Hajar Dewantara meletakkan dasar kepemimpinan dalam pilar pendidikan Indonesia berupa Ing Ngarso Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani. Seorang pemimpin tidak hanya mampu menginspirasi orang-orang yang dipimpinnya untuk berani maju dan bertanggung jawab, tetapi juga harus mampu menumbuhkan inisiatif dan kemandirian dalam diri setiap anggotanya. Lebih dari pada itu, pemimpin yang baik adalah sosok yang dapat menjadi contoh dan melaksanakan dengan baik sebagai pemimpin yang bijaksana dan berteladan.
Pendidikan itu ibarat menanam pohon. Benih yang ditanam tidak langsung tumbuh menjadi besar dan kuat, tetapi membutuhkan proses yang panjang. Perlahan tapi pasti, pohon itu akan tumbuh besar dan berbuah. Ketika angin topan melanda, pohon tetap berdiri tegak karena akarnya sudah tertanam kuat di dalam tanah. Seperti halnya menanam pohon, Â belajar membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan konsistensi. Pada akhirnya, perjuangan tersebut akan berbuah manis.Â
Lebih dari pada itu, ilmu yang diperoleh melalui proses belajar seharusnya tidak hanya disimpan untuk diri sendiri. Seperti garam yang memberi rasa pada masakan dan cahaya yang menerangi sekelilingnya, ilmu pengetahuan juga perlu dibagikan agar bisa bermanfaat bagi orang lain. Ibarat kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi, demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di Sorga (bdk Mat 5:13-16).
Pendidikan adalah garda terdepan untuk mewujudkan Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera. Oleh karena itu, implementasi Kurikulum Merdeka Belajar saat ini masih harus diperbaiki dan disempurnakan untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Di tengah transisi pemerintahan yang penuh tantangan, arah kebijakan pendidikan harus menjadi fokus utama pemerintah. Para Menteri di era Kabinet Merah Putih memiliki tanggung jawab besar untuk melanjutkan dan memperkuat program-program yang telah ada. Selain itu, pemerintah juga perlu memperhatikan kesejahteraan guru honorer yang telah mendedikasikan hidupnya untuk mencerdaskan bangsa. Tanpa dukungan yang memadai bagi para pendidik, cita-cita pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan tidak dapat terwujud.
Arah Cita-Cita Pendidikan
Pendidikan karakter untuk membentuk calon pemimpin masa depan sangat penting untuk diintegrasikan dalam sistem pembelajaran. Di tengah kemajuan teknologi yang pesat, generasi muda dihadapkan pada tantangan baru yang memengaruhi sikap, etika, dan moral mereka. Sayangnya, kurikulum yang ada saat ini lebih berfokus untuk menjadikan pribadi yang cerdas daripada membentuk mereka menjadi manusia seutuhnya.Â
Membentuk pribadi seutuhnya dapat dilakukan dengan Cura Personalis. Cura Personalis adalah salah satu ciri khas pendidikan Jesuit yang sering diterjemahkan sebagai "perhatian terhadap seluruh aspek pribadi." Cura personalis berkaitan erat dengan pendidikan holistik yang memperhatikan dimensi spiritual dan moral seseorang, selain pengembangan intelektual. Lebih lanjut, hal ini menandakan pendidikan yang menghormati kebutuhan dan identitas unik setiap siswa.Â
Visi itu tidak dapat terwujud tanpa pola pikir kepemimpinan. Menjadi pemimpin berarti harus memiliki pengetahuan, ketahanan, kebijaksanaan, dan kerendahan hati untuk mengambil tanggung jawab yang melekat dalam peran tersebut. Pendidikan harus mencapai keunggulan manusia, yaitu pengembangan semua kualitas manusia secara maksimal. Ini adalah panggilan untuk berpikir kritis, bertekun, dan panggilan untuk mengembangkan seluruh pribadi (pikiran, hati, intelektual, dan perasaan).
Seorang pemimpin juga harus memiliki integritas. Kejujuran dan integritas, baik secara akademik maupun humaniora, adalah elemen penting untuk membangun komunitas dan mempromosikan keadilan sosial. Berintegritas tidak berarti setiap keputusan yang diambil akan mudah. Namun, melalui masa-masa sulit, kita dapat menunjukkan komitmen dan ketekunan pada kata-kata serta perbuatan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H