Mohon tunggu...
Joshua
Joshua Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - SMA Kanisius

Seorang siswa SMA yang sedang mempersiapkan studi lanjut di salah satu universitas terbaik di dunia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Di Antara Dedikasi dan Kepenitingan Pribadi dari Gelar Profesor

17 Agustus 2024   10:52 Diperbarui: 17 Agustus 2024   11:44 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Grid.id

Profesor adalah gelar tertinggi untuk seorang pengajar. Dari sana, muncullah individu-individu bertopeng yang ingin berlari kencang tanpa belajar berjalan. 

Gelar profesor, sebagai jabatan tertinggi di bidang akademik, membawa beban tanggung jawab besar yang melampaui sekadar pengakuan ilmiah. Seorang profesor diharapkan untuk tidak hanya menguasai bidangnya, tetapi juga memberikan kontribusi yang berarti dalam pengembangan ilmu pengetahuan, pengajaran, dan pengabdian kepada masyarakat. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, makna dari gelar ini tampaknya semakin terdistorsi, seiring dengan munculnya individu-individu yang mengejar gelar profesor demi keuntungan pribadi dan status sosial, bukan atas dasar prestasi dan dedikasi.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di kalangan akademisi, tetapi juga di antara pejabat tinggi yang seharusnya menjadi teladan bagi masyarakat. Ambisi pribadi dan kepentingan politik seringkali mengaburkan tujuan sejati dari pencapaian akademik, menciptakan kesan bahwa gelar profesor bisa dicapai melalui jalur-jalur pintas yang tidak mencerminkan integritas dan komitmen terhadap ilmu pengetahuan.

Ironis sekali, pejabat yang seharusnya menjadi pelayan publik justru tercemar oleh keinginan semata. Praktik tersebut memperlihatkan kekuasaan yang disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. Mereka membangun lintasan hasil rekayasa dan ilusi, terjerat dalam jaring-jaring ambisi yang palsu. Dalam upaya meraih pengakuan, mereka melupakan makna sejati dari pengetahuan, terperangkap dalam gemerlap kesan yang tidak lebih dari sekadar kedok.

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo sedang mengajukan diri sebagai calon guru besar dari Universitas Borobudur. Akan tetapi, majalah Tempo menyebut riwayat pendidikan Bambang bermasalah. Berbasis penelusuran di pangkalan data pendidikan tinggi kementerian pendidikan, Bambang lulus S-2 sebelum lulus S-1.  Bambang tercatat lulus S-2 di Institut Management Newport Indonesia pada 1991, padahal ia baru menyelesaikan studi S1 pada 1992. Bambang juga belum memenuhi kuota minimum mengajar sebagai dosen, yakni 10 tahun (1).

Kasus yang melibatkan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo adalah contoh nyata bagaimana proses pengangkatan profesor bisa dipertanyakan. Dalam kasus ini, riwayat pendidikan Bambang yang bermasalah menunjukkan adanya celah dalam sistem yang memungkinkan individu untuk memanipulasi jalur akademik demi mencapai gelar yang diinginkan. Meskipun ia telah menjabat dalam posisi politik yang tinggi, kualifikasi akademiknya justru menunjukkan ketidaksesuaian yang seharusnya menjadi perhatian serius dalam proses seleksi profesor.

Selain ketua MPR RI, ada beberapa daftar nama pejabat tinggi di Indonesia yang sudah terlebih dahulu menyabet gelar profesor. Mereka adalah Wakil ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad dan Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Reda Manthovani. Sufmi Dasco Ahmad dikukuhkan sebagai profesor ilmu hukum Universitas Pakuan, sedangkan Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Reda Manthovani mengajukan loncat jabatan dari lektor ke guru besar menggunakan International Journal of Cyber Criminology. Setelah ditelusuri, ternyata jurnal tersebut bermasalah karena ditengarai predator (2).

Di satu sisi, kondisi ini dipicu oleh kebutuhan mendesak untuk meningkatkan jumlah profesor di Indonesia. Data menunjukkan bahwa dari sekitar 300.000 dosen yang tersebar di 4.400 perguruan tinggi, hanya 5.463 orang yang memiliki gelar profesor. Ketimpangan ini mencerminkan betapa sedikitnya jumlah profesor dibandingkan dengan total dosen. Hal itu pada akhirnya mendorong pemerintah dan perguruan tinggi untuk mempercepat pengangkatan profesor baru. Namun, langkah ini seringkali dilakukan tanpa mempertimbangkan kualitas dan kelayakan kandidat yang justru merusak standar akademik.

Gelar profesor tidak hanya membawa prestise, tetapi juga keuntungan finansial yang signifikan. Dengan penghasilan yang bisa mencapai 40 juta rupiah per bulan, tidak heran jika gelar ini sangat diminati. Bagi sebagian orang, gelar profesor menjadi simbol status sosial yang dapat membuka peluang lebih besar dalam karier dan kehidupan pribadi. Namun, ketika ambisi ini mengarah pada tindakan tidak etis, seperti manipulasi data akademik atau penggunaan jalur pintas, makna sejati dari gelar profesor menjadi terdistorsi.

Terlepas dari masalah tersebut, orang-orang yang mengincar gelar profesor dengan ambisi tertentu ibarat burung pelikan yang sedang mencari makan.  Kantong di paruhnya yang mampu untuk menampung makanan dalam jumlah besar seringkali membuatnya tidak pernah merasa cukup. Kadang kala, mereka yang sudah memiliki jabatan dan posisi di pemerintahan merasa tidak puas dan ingin lebih. Dalam konteks akademis, gelar profesor dapat menjadi simbol dedikasi, tetapi juga bisa mengarah pada rasa lapar akan pengakuan yang tidak berujung. Hal itu bisa berarti mengorbankan integritas demi memperoleh gelar yang lebih tinggi. Dalam jangka panjang, sikap ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap institusi akademik dan mengurangi nilai dari gelar profesor itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun